tirto.id - Berwajah lebar, berambut lebat berombak, dan bermata coklat gelap. Postur tubuhnya juga lebih pendek dengan badan gempal yang kuat. Ciri-ciri fisik ini membedakan suku Ainu dengan orang Jepang pada umumnya. Tapi perbedaan antara keduanya tak berhenti di situ. Selama 100 tahun lebih, nasib orang Ainu juga berbeda dari etnis dominan yang ada di Jepang.
Menurut ainu-museum.or.jp, orang Ainu merupakan suku asli yang tinggal di pulau sebelah utara Jepang, tepatnya di Hokkaido dan kepulauan Kurile dan Sakhalin. Meski begitu, sebagian besar orang Ainu saat ini tinggal di Hokkaido dan hanya segelintir manusia yang menetap di Sakhalin. Menurut data The Ainu Museum, terdapat 24.000 orang Ainu di Hokkaido dan 2.700 orang tinggal di Tokyo.
Sebagaimana suku asli pada umumnya, masyarakat Ainu memiliki kepercayaan yang khas. Orang Ainu menganggap hal-hal yang berguna atau yang tak dapat dikontrol oleh mereka sebagai “kamuy” atau dewa. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berdoa dan melakukan berbagai upacara untuk para dewa.
Terdapat banyak dewa menurut kepercayaan orang Ainu, antara lain dewa “alam” (api, air, angin, dan petir), dewa “binatang” (beruang, rubah, burung hantu, dan grampus), dewa “tumbuhan” (aconite, jamur, dan tanaman Baru Cina), dewa “benda” (perahu, periuk), serta dewa yang melindungi rumah, gunung, dan danau.
Suku Ainu bertahan hidup dengan cara berburu, menangkap ikan, mengumpulkan bahan makanan, dan berkebun. Orang Ainu biasa berburu pada akhir musim gugur hingga awal musim panas. Mereka berburu di wilayah perburuan bersama beberapa desa (iwor) atau daerah berburu sebuah kampung Ainu. Hewan-hewan yang mereka buru bermacam-macam, mulai dari beruang rusa, kelinci, rubah, rakun, dan lainnya.
Selain berburu, orang Ainu bergantung pada aktivitas menangkap ikan untuk bertahan hidup. Suku Ainu kerap mencari ikan trout di musim panas dan salmon di musim gugur. Ikan jenis huchen dan dace tak luput dari tangkapan orang Ainu. Orang Ainu menggunakan tombak atau memakai metode membendung sungai atau perangkang keranjang untuk menjerat ikan. Selain menangkap ikan di sungai, orang Ainu juga memancing di laut untuk memburu ikan tuna, todak, dan mamalia laut (anjing laut, lumba-lumba, dan ikan paus).
Menurut Mitsuharu Vincent Okada dalam “The Plight of Ainu, Indigenous People of Japan” (2012), orang Ainu menghadapi masalah di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial akibat dari kebijakan asimilasi dan diskriminasi. Hal ini membuat orang Ainu kesulitan mempertahankan cara hidup tradisional, identitas, keyakinan, bahasa, budaya, dan lahan mereka.
Richard M. Siddle dalam “The Ainu: Indigineous People of Japan” (2009) mengatakan hal yang sama. Di tengah masyarakat Jepang yang mayoritasnya adalah orang Yamato, masyarakat Ainu dipandang sebagai warga kelas dua, layaknya penduduk asli Amerika, orang Aborigin di Australia, dan lain sebagainya. Secara ekonomi pun mereka terpinggirkan.
Menurut perolehan survei Ainu Association of Hokkaido tahun 2013 terhadap 16.786 orang Ainu yang bermukim di Hokkaido, sebanyak 36,0% orang Ainu bekerja di industri primer seperti pertanian dan perikanan. Ada pula yang menjadi karyawan di industri sekunder (manufaktur dan konstruksi) dan menjalankan bisnis kecil dan menengah di industri tersier. Menurut asosiasi tersebut, kebanyakan bisnis yang dijalankan orang Ainu skalanya tak signifikan.
Selain itu, sekitar 77,6% warga Ainu mengatakan bahwa hidup mereka “sangat sulit” atau “terkadang sulit”. Jumlah orang Ainu yang menerima bantuan kesejahteraan pun lebih banyak 1,6 kali daripada penduduk Hokkaido pada umumnya.
Di bidang pendidikan, persentase anak-anak Ainu yang masuk sekolah menengah atas masih di bawah rata-rata angka nasional, yakni 92,6% berbanding 98,6%. Hal serupa juga terjadi pada angka orang Ainu yang melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Jumlah mereka yang mengenyam bangku kuliah adalah 25,8%, lebih rendah dibandingkan rata-rata angka nasional 42,0%.
Soal diskriminasi juga menjadi sorotan Ainu Association of Hokkaido. Sebanyak 23,4% responden menyatakan mengalami diskriminasi sejak mereka bisa mengingat. Sementara itu, 9,6% mengatakan mereka tidak mengalaminya tapi mengetahui orang lain mendapat perlakuan diskriminasi.
Asosiasi tersebut menjelaskan bahwa diskriminasi yang diperoleh orang Ainu terjadi di tempat kerja serta sekolah. Tak hanya itu, mereka pun mengalami perlakuan tak adil saat mencari kerja dan ketika berelasi dengan orang lain dalam hubungan romantis dan pernikahan. Tapi, data Ainu Association of Hokkaido menunjukkan orang Ainu paling banyak mendapatkan diskriminasi ketika berhadapan dengan petugas administratif (50%).
Mitsuharu Vincent Okada menjelaskan perlakuan diskriminatif pada suku Ainu tak lepas dari kebijakan yang diskriminatif pula. Semua bermula, menurutnya, dari manuver politik antara Jepang dan Rusia pada akhir abad 19. Saat itu, Rusia berniat untuk memperpanjang kepemilikan terhadap wilayah yang belum dikembangkan. Hal ini mendorong negosiasi antara Jepang dan Rusia untuk menetapkan batas teritorial yang baru.
Akhirnya, mereka sepakat bahwa garis batas tersebut membentang di wilayah Urupu dan Etorofu di Kepulauan Kuril sesuai dengan Perjanjian Shimoda (1855). Menurut perjanjian itu, kepulauan Sakhalin disepakati menjadi tanah bersama kedua negara.
Pada 1869, Jepang memasukkan wilayah Ezo yang kelak berubah nama menjadi Hokkaido ke dalam wilayah kekuasaannya. Enam tahun kemudian, kedua negara tersebut kembali berunding dan hasilnya dikukuhkan dalam Perjanjian St. Peterburg. Isi perjanjian tersebut adalah Rusia bakal mengontrol kepulauan Sakhalin dan Jepang akan mengklaim Kepulauan Kuril. Di titik ini, orang Ainu harus memilih kewarganegaraan yang berakibat pada paksaan untuk meninggalkan tanah kelahiran.
Setelah itu, regulasi demi regulasi yang mengakibatkan peminggiran orang Ainu dikeluarkan. Pada 1869 hingga 1882, misalnya, pemerintah Jepang mendirikan Komisi Pembangunan Hokkaido. Rencana pembangunan yang digagas oleh komisi tersebut tidak menghiraukan tradisi dan budaya masyarakat Ainu sebagai suku asli wilayah itu.
Ada pula aturan registrasi sensus pada tahun 1871 yang mengharuskan orang Ainu mendaftarkan diri dan dipaksa menggunakan nama belakang Jepang. Pada saat yang sama, mereka juga dipaksa berasimilasi seiring dengan munculnya larangan menggunakan bahasa dan tradisi orang Ainu.
Selain itu, Okada menjelaskan sejak tahun 1896 sampai 1890an pemerintah Jepang mengeluarkan aturan yang berdampak pada pengambilan alih lahan yang selama ini dikelola oleh masyarakat Ainu. Pada 1899 sampai 1997, pemerintah Jepang juga memberlakukan UU Perlindungan Bekas Masyarakat Asli Hokkaido. Meski regulasi ini bertujuan untuk melindungi masyarakat Hokkaido, ketentuan di dalamnya justru membatasi aktivitas orang Ainu.
Aturan tersebut mendorong orang Ainu untuk bertani, padahal mereka sangat bergantung pada kegiatan menangkap ikan dan berburu. Hal ini menyebabkan banyak orang Ainu gagal menjadi petani dan malah jadi buruh murah di pabrik. Undang-undang ini juga menjamin pendidikan anak-anak Ainu. Namun, kurikulum dan bahasa pengantar yang digunakan dalam proses pembelajaran tidak ramah pada budaya orang Ainu.
Kehidupan orang Ainu memasuki babak baru ketika UU Pemajuan Budaya, Penyebaran dan Advokasi Pengetahuan Ainu disahkan pada 1997. UU ini menyatakan Jepang sebagai negara multikultural. Setelah aturan ini diresmikan, UU Perlindungan Bekas Masyarakat Asli Hokkaido tidak lagi berlaku. Dengan demikian, pemerintah bukan lagi bertugas melindungi tapi justru mempromosikan budaya Ainu.
Sepuluh tahun berselang, Jepang ikut mendukung Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli. Tindakan pemerintah Jepang ini mengisyaratkan komitmen untuk menetapkan standar perlakuan masyarakat adat, mengusut pelanggaran HAM, serta memberantas diskriminasi.
Menurut Osaka, hal inilah yang kemudian mendorong Jepang pada 2008 secara resmi mengakui Ainu sebagai masyarakat adat dan berjanji membuat undang-undang baru untuk mendukung kehidupan mereka.
Bertahun-tahun setelah pengakuan tahun 2008, kehidupan orang Ainu terus berubah. Menurut The Washington Post, upaya yang signifikan telah digencarkan untuk menjaga kebudayaan dan bahasa suku Ainu. Pemerintah Jepang bahkan berencana membangun fasilitas yang mengangkat budaya Ainu pada Olimpiade Musim Panas tahun 2020 kelak.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf