tirto.id - Prefektur Okinawa mempunyai keindahan alam yang berbeda dengan wilayah bagian tengah dan utara Jepang. Para pelancong bisa menikmati pemandangan pantai lengkap dengan pasir putih berikut berbagai macam kehidupan laut. Selain itu, kamera wisatawan dapat mengabadikan keindahan bunga-bunga tropis jenis bakung paskah, bugenvil, dan tabebuya yang bermekaran sepanjang tahun.
Suhu senantiasa hangat layaknya musim semi di Tokyo dan Osaka saat musim dingin, membuat siapapun yang sedang berlibur tetap bisa beraktivitas di luar. Berbagai macam festival dan acara seperti olahraga dan pertunjukan seni turut digelar di Okinawa. Tak heran, prefektur Okinawa menjadi salah satu tujuan wisata yang dipromosikan oleh pemerintah Jepang melalui Japan National Tourism Organization (JNTO).
Tidak hanya keelokan alam, Okinawa juga dikenal sebagai "Negeri Orang Berumur Panjang" atau "Land of Immortals". Sebagaimana yang dilansir Washington Post, rata-rata harapan hidup penduduk Okinawa tertinggi di dunia, yakni 81,2 tahun. Angka tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan prefektur lain di Jepang yang rata-rata 79,9 tahun. Selain itu, sebanyak 400 warga berumur 100 tahun lebih tinggal di Okinawa.
Data di atas ditulis Washington Post di artikel yang dirilis pada 2001. Pada 2005, angka-angka tersebut belum berubah. Menurut Dan Buettner dalam The Blue Zones: Lessons For Living Longer From The People Who’ve Lived The Longest (2008), angka harapan hidup penduduk Okinawa tergolong tinggi di dunia (78 tahun untuk laki-laki dan 86 tahun untuk perempuan). Kehidupan warga wilayah tersebut juga dinilai paling sehat. Rasio orang berusia 100 tahun lebih di Okinawa pun paling tinggi (5 dari 10.000 orang).
Tahun 2015, angka harapan hidup penduduk perempuan Okinawa 87,44 tahun. Sementara itu, harapan hidup warga laki-laki Okinawa adalah 80,27 tahun. Secara keseluruhan, masyarakat Jepang (PDF) memiliki angka harapan hidup 80,79 tahun (laki-laki) dan 87,05 tahun (perempuan). Hal ini membuat Jepang berada di peringkat satu dibandingkan negara lain seperti Swiss, Perancis, Swedia, dan Amerika Serikat.
Bagaimana orang Okinawa bisa berumur panjang? Lewat bukunya, Dan Buettner menceritakan rahasia dibalik umur panjang warga di pulau paling selatan Jepang tersebut. Isi buku itu sebelumnya pernah dimuat di National Geographic.
Ia menemui sejumlah orang yang berusia lebih 100 tahun, salah satunya adalah Kamada Nakazato. Perempuan yang tinggal di Semenanjung Motobu itu berumur 102 tahun. Kamada adalah seorang pendeta perempuan atau noro. Jabatan ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya ke keponakan, anak, atau cucu perempuan. Pendeta perempuan pertama di keluarga Kamada hidup 400 tahun lalu. Di Okinawa, noro telah menjadi bagian dari struktur politik masyarakat. Mereka ditunjuk oleh pengadilan dan ditugaskan ke desa-desa.
Selain Kamada, Buettner berjumpa dengan Ushi Okushima, warga Desa Ogimi. Ia menemui Ushi di rumahnya. Saat itu, perempuan berusia 104 tahun tersebut sedang berkumpul dengan Kikue, putrinya yang berumur 77 tahun dan kedua temannya, yakni Setzu Taira (90 tahun) dan Matsu (96 tahun). Buettner bertanya apa tujuan hidup Ushi. “Umur panjangnya sendiri,” kata Kikue. “Ia membawa kebanggaan bagi keluarga kami dan desa ini, dan sekarang ia merasa harus tetap hidup meskipun sering kelelahan.” Buettner pun menoleh ke arah Ushi untuk meminta klarifikasi. “Ikigai saya ada di sini,” ujar perempuan itu sembari membuat gerakan halus menunjuk Setzu, Matsu, dan hal-hal kecil yang ada di sekitarnya. “Jika ini hilang, saya akan bertanya-tanya mengapa saya masih hidup.”
Soal ikigai turut dilontarkan Makoto Suzuki, peneliti centenarian (orang berumur 100 tahun lebih) Okinawa ketika Dan bertanya soal vitalitas Kamada Nakazato. “Saya pikir kenyataan bahwa ia masih menjalankan perannya sebagai noro sangatlah penting,” katanya. “Peran seseorang dianggap sangat penting di Okinawa. Mereka menyebutnya ikigai,” ujarnya.
Di bukunya, Buettner memasukkan ikigai (singkatnya berarti makna dan tujuan hidup yang harus dijalani) sebagai salah satu alasan mengapa orang Okinawa berumur panjang. Ia mengatakan orang berusia lanjut di sana tidak kesulitan mengutarakan alasan mereka bangun di pagi hari. Kehidupan mereka yang dijiwai oleh tujuan itu memberikan peran serta tanggung jawab sehingga para orang tua merasa dibutuhkan hingga usia 100-an.
Kaitan ikigai dan harapan hidup dibenarkan lewat riset survei “Sense of Life Worth Living (Ikigai) and Mortality in Japan: Ohsaki Study” yang dilakukan oleh Toshimasa Sone, dkk. Penelitian ini berlangsung sejak 1994 hingga 2001 dan melibatkan 43.391 responden pengguna Ohsaki National Health Insurance (20.625 laki-laki dan 22.766 perempuan) berumur 40 hingga 79 tahun yang tinggal di sekitar Ohsaki Public Health Center (PHC). Untuk pengambilan data, kuesioner yang berisi pertanyaan terkait 10 aspek, termasuk ikigai, dibagikan. Ikigai dinilai melalui respons subjek penelitian terhadap pertanyaan, ”Apakah anda memiliki ikigai dalam hidup anda?” Mereka diminta menjawab dengan memilih di antara tiga jawab: “ya”, “tidak pasti”, atau “tidak”.
Hasilnya, 25.596 (59,0%) menyatakan sudah menemukan ikigai, 15.782 (36,4%) mengatakan tidak yakin, dan 2.013 (4,6%) tidak menemukan ikigai. Dibandingkan yang memiliki ikigai, responden tanpa ikigai cenderung tidak menikah, tidak bekerja, berpendidikan rendah, tidak sehat, mempunyai tingkat stres tinggi, kurang bisa berjalan, memiliki keterbatasan fungsi fisik, dan mengalami nyeri tubuh yang sedang atau parah.
Mereka yang tidak menemukan ikigai juga berisiko terkena penyakit yang bisa mengakibatkan kematian seperti jantung (terutama stroke).
Akihiro Hasegawa, psikolog klinis dan profesor di Toyo Eiwa University, mengatakan ikigai terdiri dari dua kata: iki yang berarti kehidupan dan gai yang menggambarkan nilai. Seperti yang dilansir BBC, Menurut Hasegawa kata ikigai berasal dari zaman Heian (tahun 794 sampai 1185). “Gai berasal darikata kai (cangkang dalam bahasa Jepang) dianggap bernilai tinggi, dan dari sana ikigai menjadi kata yang berarti nilai dalam hidup,” ujarnya.
Selain ikigai, terdapat kata lain yang juga menggunakan “kai”, yakni yarigai yang berarti nilai melakukan sesuatu dan hatarakigai atau nilai dalam bekerja. Ikigai, dalam hal ini, merupakan sebuah konsep komprehensif yang menggabungkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan.
Hasegawa menekankan jika kata kehidupan dalam bahasa Inggris mempunyai makna "seumur hidup" dan "keseharian". Walhasil, percakapan tentang tujuan hidup terdengar berat, jauh, dan mengawang-awang. Sementara itu, masyarakat Jepang mengenal dua kata berbeda yang berkaitan dengan kehidupan, yakni jinsei (seumur hidup) dan seikatsu (sehari-hari). Konsep ikigai, menurut Hasegawa, lebih dekat dengan seikatsu. Penelitian yang ia lakukan mengungkapkan orang Jepang percaya jumlah kebahagiaan kecil dalam kehidupan sehari-hari menghasilkan kehidupan yang utuh dan memuaskan.
Masih menurut BBC, masyarakat barat kerap menghubungkan konsep ikigai dengan diagram yang menggambarkan empat hal: apa yang kamu sukai, apa yang kamu kuasai, apa yang dibutuhkan dunia, dan apa yang membuatmu layak diupah. Sementara orang Jepang tidak selalu menemukan ikigai dari penghasilan. Nilai kehidupan bisa saja berupa pekerjaan, tapi ada hal lain yang bisa dipatok sebagai ikigai.
Hasegawa menjelaskan ikigai terdiri dari dua bagian, yakni objek dan perasaan Ikigai. Objek ikigai terbagi menjadi tiga bagian: masa lalu (pengalaman, ingatan, peranan, dan sebagainya), masa kini (kesehatan, hobi, keluarga, teman, peranan sosial, dan sebagainya), serta masa depan (keluarga besar, imajinasi, kejadian, dan sebagainya). Sementara itu, perasaan ikigai menimbulkan realisasi diri dan kehendak, rasa pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari, motivasi untuk hidup, eksistensi, kontrol, dan lain-lain.
Menurut Telegraph, Profesor Antropologi pada Chinese University of Hong Kong Gordon Mathews, mengatakan konsep ikigai cenderung berkutat di sekitar dua ide, yakni ittaiken dan jiko jitsugen. Ittaiken berarti rasa bersatu dengan atau berkomitmen untuk kelompok atau peran tertentu. Sementara itu jiko jitsugen lebih berhubungan dengan realisasi diri.
Gordon mengatakan ikigai bukanlah prinsip yang digunakan untuk hidup atau alasan mengapa seseorang bangun kala pagi hari. “Ini sesuatu yang jauh lebih khusus dan nyata buat Anda,” katanya.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf