tirto.id - Sodimedjo alias Mbah Gotho tak kenal Pete Townshend, begitu pula sebaliknya. Tapi apa yang dirasakan oleh Mbah Gotho sudah ditulis oleh Townshend pada 1965. Saat itu, Townshend, gitaris The Who, menciptakan lagu "My Generation". Lagu itu punya selarik lirik yang menggambarkan kemarahan anak muda terhadap generasi tua.
"I hope I die before get old," begitu tulis Townshend.
Namun dalam kasus Mbah Gotho, ia ingin meninggal karena sudah terlalu lama hidup. Dalam Kartu Tanda Penduduknya, Mbah Gotho disebut lahir di Klaten, 31 Desember 1870. Jika itu benar, maka umurnya Desember tahun ini adalah 147 tahun. Ingatan akan umurnya berpatokan pada dua hal. Pertama, ia datang ke peresmian Pabrik Gula Kedung Banteng yang terletak di Gondang, Sragen. Pabrik gula ini diresmikan pada 1880. Kedua, Gotho ingat sudah membantu ayahnya di titimangsa bersamaan dengan berdirinya pabrik gula itu. Bocah desa sepertinya, ujarnya, sudah membajak sawah sejak melewati umur 10 tahun.
Di masa hidupnya, ia menyaksikan bagaimana Indonesia mengalami gejolak dan perubahan sejarah besar. Ia pernah mengalami masa penjajahan Belanda, Jepang, juga kemerdekaan. Pernah jadi saksi Soekarno dilantik, menyaksikan Soeharto tumbang, hingga Jokowi jadi Presiden.
Pada 1992, Mbah Gotho membuat nisan. Ia sudah amat siap untuk meninggal dan dikubur. Tapi itu tak kunjung datang. Nisan yang dipesannya disimpan dengan baik. "Kematian itu hal yang saya inginkan. Nisan itu untuk jaga-jaga," kata Mbah Gotho pada BBC, tahun lalu.
Keinginan itu akhirnya terwujud pada 30 April 2017. Pada 12 April, ia sempat masuk rumah sakit karena kondisi tubuh yang lemah. Tapi kemudian ia memaksa pulang setelah 6 hari dirawat. Menurut cucunya, Suryanto, Mbah Gotho tak mau makan. Ia hanya menyantap satu dua sendok bubur sumsum.
Jika ingatannya tak berkhianat, maka Mbah Gotho adalah orang tertua di dunia. Namun untuk membenarkan klaim sebagai manusia tetua seperti yang dilakukan oleh Gerontology Research Group, diperlukan validasi berupa dokumentasi bukti lahir. Masalahnya warga Nusantara sebelum era 1920-an masih banyak yang tak tahu tanggal dan tahun lahirnya. Biasanya yang jadi penanda adalah kejadian alam, atau ada peristiwa besar.
Para Manusia Berumur Panjang
Umur panjang selalu jadi perbincangan yang menarik. Hidup lama, atau malah abadi, kerap menjadi obsesi banyak manusia. Hidup abadi bisa melahirkan perasaan sejajar seperti Sang Pencipta. Entah tuhan, entah dewa. Kisah tentang pencarian rahasia hidup abadi ini sudah tercatat sejak ribuan tahun lalu. Epic of Gilgamesh, puisi epik dari Mesopotamia yang diperkirakan diciptakan 2100 Sebelum Masehi, menceritakan tentang raja Gilgamesh yang berpetualang untuk mencari rahasia hidup abadi.
Begitu pula apa yang termaktub di Rigveda, kitab suci cikal bakal Weda. Di sana dikisahkan tentang Amrita, minuman yang bisa membuat manusia hidup abadi. Dalam kultur Hindu dan India, Amrita juga disebut sebagai Soma. Indra dan Agni, dewa surga dan dewa api, meminum Amrita dan menjadi abadi.
Sedangkan James Hilton, pengarang Inggris yang menulis Lost Horizon, mengisahkan tentang Shangri-La: sebuah tempat mistis di Himalaya yang penduduknya hidup nyaris abadi. Tempat ini dianggap terinspirasi oleh Shambala, kerajaan mistik dalam tradisi Buddha Tibet.
Sedangkan bagi orang Indonesia, keinginan itu tercerminkan dalam seruan Chairil Anwar dalam puisi "Aku". Di sana Chairil, sang maestro flamboyan itu, berteriak "Aku ingin hidup seribu tahun lagi!" Kita tahu dan memahami teriakan Chairil di bagian akhir itu serupa seruan putus asa. Sebab ia paham, keinginan itu mustahil. Dan benar, Chairil meninggal pada usia ke 26, amat jauh dari usia 1.000 tahun. Mencapai usia Mbah Gotho pun ia tak bisa.
Mbah Gotho adalah apa yang disebut sebagai centenarian. Istilah ini dapat diartikan sebagai manusia berumur 100 tahun atau lebih. Ada juga istilah supercentenarian, merujuk pada mereka yang hidup melampaui usia 110 tahun. Karena angka harapan hidup manusia rata-rata di bawah 100 tahun, maka centenarian adalah kasus langka.
Pada 2012, Persatuan Bangsa-Bangsa pernah merilis survei tentang centenarian. Saat itu PBB memperkirakan ada 316.600 centenarian di seluruh dunia. Pada 2015, Amerika Serikat adalah negara dengan centenarian terbanyak di dunia, mencapai 72.000 orang. Diikuti Jepang dengan 61.000 orang.
Jepang kemudian menjadi negara yang kerap dijadikan contoh bagaimana manusia bisa berumur panjang. Sebab, meski Jepang kalah oleh Amerika dalam jumlah keseluruhan centenarian, mereka unggul dalam hal proporsi. Per 100.000 orang di Jepang, ada 48 centenarian. Ini proporsi tertinggi di dunia.
Kawasan Jepang yang dikenal paling banyak berisi orang panjang usia adalah Ogimi, sebuah desa di prefektur Okinawa. Desa ini dijuluki Desa Panjang Umur, saking banyaknya penduduk berumur panjang di sana. Pada 23 April 1993, penduduk desa berusia lanjut yang tergabung dalam Ogimi Federation of Senior Citizen Clubs membuat deklarasi, yang kalau diterjemahkan bebas seperti ini:
Di usia 80 tahun, aku masih anak-anak. Kalau aku menemuimu di usia 90, biarkan aku menemuimu lagi saat usia 100.
Mari tetap kuat seiring usia yang bertambah, dan tidak terlalu banyak tergantung pada anak-anak kita di usia tua.
Datanglah ke desa kami di usia lanjutmu, kami akan menyediakan berkah dari alam dan mengajarimu rahasia panjang umur. Kami warga usia lanjut di Ogimi bangga mendeklarasikan diri sebagai desa paling panjang umur di Jepang.
Apa rahasia sehingga orang Jepang, dalam hal ini Okinawa, bisa panjang umur?
Dr. Craig Willcox yang bertahun-tahun meneliti usia panjang warga Okinawa dan ikut menulis buku The Okinawa Program, menyebutkan bahwa salah satu kuncinya ada pada pola makan. Warga Okinawa punya kebiasaan makan yang sekarang dijuluki sebagai Okinawa Diet.
Polanya adalah makanan mengandung paling tidak 30 persen sayuran hijau dan kuning. Selain itu, jumlah nasi lebih sedikit ketimbang kebiasaan makan orang Jepang lain. Seringkali nasi diganti oleh ubi manis ungu Okinawa. Ubi manis ungu ini kaya flavonoids, carotenoids, vitamin E, dan lycopene. Makanan ala Okinawa juga hanya mengandung 30 persen gula. Selain itu mereka juga sering menyantap goya, alias ketimun pahit ala Okinawa, yang bisa merendahkan kadar gula.
"Para warga Okinawa punya risiko rendah terkena arteriosclerosis dan kanker perut, dan sangat rendah risiko terkena kanker payudara atau prostat," ujar Craig pada The Guardian.
Menurut Craig, warga Okinawa menyantap ikan tiga kali dalam seminggu. Lebih banyak tahu dan lebih banyak rumput laut konbu ketimbang semua orang di seluruh dunia. Selain itu Okinawa yang berbentuk kepulauan memudahkan warganya menyantap hidangan laut seperti cumi-cumi dan gurita yang kaya kandungan taurin, bisa merendahkan tingkat kolesterol dan tekanan darah.
Craig juga menyebutkan bahwa centenarian bisa ditentukan oleh banyak hal. Misalkan DNA, lalu kegiatan sehari-hari, juga pergaulan dengan orang lain. Dalam A Topical Approach to Life-Span Development (1983), John Santrock menyebutkan bahwa ada 5 faktor penentu usia panjang umur warga di Okinawa.
Pertama adalah soal makanan yang sempat dibahas oleh Craig, jarang maka daging dan produk ternak seperti telur atau susu. Kedua adalah gaya hidup rendah stress. Ketiga adalah adanya komunitas yang perduli, yang merawat warga berusia lanjut, dan tidak mengasingkan. Keempat adalah tingginya tingkat aktivitas: orang tua yang masih beraktivitas semisal berkebun atau jalan kaki rutin punya umur lebih panjang ketimbang yang tidak.
Terakhir adalah: spiritualitas. Santrock menyebut spiritualitas membuat seseorang merasa punya tujuan hidup, dan berdoa bisa meringankan beban pikiran. Hal senada juga pernah disebut oleh T.M Luhrman, profesor Antropologi di Stanford dan penulis buku When God Talks Back: Understanding the American Evangelical Relationship With God.
Yang juga dianggap sebagai faktor panjang usia adalah jenis kelamin. Ini perlu penelitian lebih lanjut. Namun menurut daftar yang dirilis oleh Gerontology Research Group tentang para supercentenarian, 10 manusia tertua di dunia adalah perempuan. Yang tertua adalah Violet Brown asal Jamaika, yang per 24 April 2017 berusia 117 tahun 53 hari. Dari 10 orang tertua itu, 5 berasal dari Jepang. Jika memakai kacamata yang lebih luas, saat ini ada 43 orang supercentenarian di seluruh dunia, 42-nya adalah perempuan.
Tentu saja menjalani hidup seperti orang Okinawa semakin susah. Sebab sekarang manusia makin mudah stress. Begitu pula soal pola makan. Dunia dikelilingi bahan pangan yang disemprot pestisida. Di kota besar, penghuninya harus berhadapan dengan stres, polusi udara.
Namun apa benar kita semua ingin hidup panjang hingga 100 tahun? Entahlah. Namun satu yang pasti: sedang-sedang saja adalah pilihan yang terbaik. Menjadi terlalu tua seringkali serupa kutukan. Kita dihadapkan dengan kebosanan, apalagi saat orang-orang terkasihmu sudah meninggal lebih dulu. Saat kamu berkeinginan hidup 1.000 tahun lagi, ingat-ingatalah dengan baik ucapan Mbah Gotho.
"Kematian itu hal yang saya inginkan."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti