Menuju konten utama

Budaya Bersih-bersih Suporter Tim Nasional Jepang

Kebiasaan suporter tim samurai biru bersih-bersih tribun stadion merupakan buah dari pendidikan kebersihan di sekolah. Dipengaruhi ajaran Shinto dan Buddha di Jepang.

Budaya Bersih-bersih Suporter Tim Nasional Jepang
Para Suporter Jepang memunguti sampah setelah pertandingan babak 16 besar Piala Dunia 2018 antara Jepang melawan Belgia di Rostov Arena (2/7/18). AP/Pavel Golovkin

tirto.id - “Ketika tim kami memimpin, saya pikir kami akan menang,” kata Nao Okada, mahasiswa berumur 21 tahun yang menangis di sebuah bar kepada Independent. “Ini menyakitkan tapi pertandingan itu sangat bagus dan saya merasa terharu. Saya ingin Jepang terus bermain dengan keras di kesempatan berikutnya.”

Okada tidak sendirian. Pendukung tim nasional Jepang lainnya ikut bersedih kala negara matahari terbit harus tereliminasi dari Piala Dunia 2018 di Rusia. Kenichi Okegami dan Kenta Saito adalah dua dari suporter Jepang yang menyesali kekalahan tim samurai biru.

“Kerja sama dan kemampuan teknik mengumpan serta mencetak gol mereka—ini tim yang sangat bagus. Saat skor 2-2, saya kira tim kami akan adu penalti. Ini menyedihkan,” kata Okegami yang berprofesi sebagai penata rambut.

Kenta Saito (61), seorang pelatih sepak bola sekolah dan wasit, mengatakan tim Jepang memiliki peluang saat akhir pertandingan tapi mereka gagal memanfaatkannya. “Tinggal sedikit lagi. Ini hasil yang tragis,” ujarnya.

Seperti yang dilaporkan Independent, Jepang takluk saat bertanding melawan Belgia di babak 16 besar Piala Dunia 2018 pada Selasa, (02/07/18). Kekalahan yang dialami tim samurai biru sungguh pahit sebab mereka sempat memimpin pertandingan berkat gol yang diciptakan Genki Haraguchi dan Takashi Inui. Jepang pun unggul hingga menit ke-25 sebelum kompetisi berakhir. Tapi, Belgia menyerang balik lewat gol dari Jan Vertonghen dan Marouane Fellaini. Harapan Jepang untuk menang kemudian pupus setelah Nacer Chadli berhasil membobol gawang yang dikawal kiper Eiji Kawashima.

Ribuan suporter yang melihat langsung pertandingan tersebut di Rostov Arena sedih dan tak kuasa menahan tangis. Tapi kesedihan tersebut tidak menghalangi mereka untuk tetap melakukan “ritual” membersihkan tribun stadion. Tindakan ini kemudian menuai pujian dan diikuti oleh suporter dari negara lain.

Selama empat kali bertanding di Piala Dunia 2018, pendukung negara sakura itu selalu membersihkan tribun stadion. Seperti yang dilaporkan Telegraph, publik pertama kali mengetahui kebiasaan tersebut dari rekaman video viral suporter Jepang yang sedang memungut plastik, botol, serta sampah lainnya kala negara mereka bertanding melawan Kolombia. Warganet memuji perilaku suporter Jepang, tak terkecuali pendukung Kolombia. Pada Piala Dunia 2014, menurut Telegraph, pendukung tim samurai biru juga membersihkan sampah saat Jepang berhadapan dengan Pantai Gading.

Kepada BBC, jurnalis sepakbola yang bekerja di Jepang Scott McIntyre mengatakan kebiasaan membersihkan stadion tidak hanya berhubungan dengan budaya sepak bola negara sakura. “Anda sering dengar orang bilang bahwa sepakbola adalah refleksi sebuah kebudayaan. Hal penting dalam masyarakat Jepang adalah memastikan semuanya bersih, termasuk dalam acara olahraga dan sepak bola,” katanya.

Ia mengatakan bahwa orang asing yang menonton pertandingan sepak bola di Jepang akan ditegur jika membuang sampah sembarangan. “Mereka mungkin meninggalkan botol atau kemasan makanan di tanah dan biasanya orang Jepang akan menepuk bahu untuk memberitahu kalau sampah harus dibuang atau dibawa ke rumah,” ujar Mcintyre.

Sementara itu, profesor sosiologi dari Osaka University Scott North mengatakan, kebiasaan bersih-bersih merupakan buah dari pendidikan pada anak-anak Jepang. “Bersih-bersih setelah pertandingan sepak bola adalah lanjutan dari perilaku dasar yang diajarkan di sekolah di mana anak-anak membersihkan ruang kelas dan aula, “ katanya kepada BBC. “Karena selalu diingatkan sejak kecil, perilaku ini menjadi kebiasaan banyak orang di Jepang.”

Infografik jepang kalah bersih bersih pulang

Menurut James J. Shields dalam Japanese Schooling: Patterns of Socialization, Equality, and Political Control (1993), siswa SD hingga SMA di Jepang biasa membersihkan ruang kelas, toilet, dan aula secara bergantian. Setiap sekolah memiliki aturan masing-masing soal kapan siswanya harus melakukan kegiatan bersih-bersih. Ia mengatakan, pendidikan tersebut berkaitan dengan cara hidup yang berorientasi pada kelompok. Anak-anak Jepang dididik untuk bertanggung jawab terhadap anggota grup dan lingkungannya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Edith W. King. Dalam bukunya Lives of Children: A Worldwide View (1999). kegiatan bersih-bersih sekolah (atau dalam bahasa Jepang disebut osoji atau gakko soji) dipandang sebagai pengalaman penting untuk siswa. Pasalnya, aktivitas tersebut mendorong anak mengasah kemampuan bertanggung jawab, kerja sama, menjaga kebersihan, bersosialisasi, dan mengerjakan tugas untuk masyarakat.

Menurut King, kebiasaan menjaga lingkungan komunitas agar tetap bersih telah menjadi salah satu tugas moral yang penting bagi orang Jepang. Hal tersebut berkembang dari kearifan masyarakat agraris primitif Jepang ribuan tahun lalu di mana terdapat aturan yang mengharuskan petani menetap di lokasi tertentu untuk mengendalikan hama dan mencegah penyebaran penyakit yang berbahaya.

Lebih lanjut, Shields menuturkan bahwa munculnya ajaran soal kebersihan di sekolah tak terlepas dari pengaruh agama Shinto dan Buddha di Jepang. Kegiatan bersih-bersih mempunyai arti menjaga pikiran dan badan serta lingkungan agar tidak kotor. Tak hanya itu, situs jpninfo.com menjelaskan bahwa budaya bersih-bersih masyarakat Jepang secara umum terbentuk karena ajaran kedua agama tersebut.

Pengaruh Shinto dan Buddha memang besar sebab keduanya merupakan agama yang banyak dianut di Jepang. Menurut data Statista, sebanyak 79,2 persen dari total populasi di negara matahari terbit tersebut beragama Shinto pada tahun 2017. Sementara itu, 66,8 persen responden mengaku menganut agama Buddha. Pada tahun yang sama, jumlah populasi Jepang mencapai 127.484.450 orang.

Menurut Shoukei Matsumoto, biarawan Buddha di Wihara Komyoji di Tokyo, kegiatan bersih-bersih adalah praktik dasar agama Buddha di Jepang. Kepada Guardian, ia berkata bahwa jika seseorang ingin mengejar spiritualitas lewat ajaran Buddha, maka yang harus dilakukan adalah bersih-bersih.

Praktik bersih-bersih seperti menggosok, menyapu, dan menyuci adalah satu langkah menuju kedamaian dalam diri (inner peace). Ajaran Buddha di Jepang, menurut Matsumoto, tidak memisahkan manusia dari lingkungannya. Bersih-bersih adalah cara mengekspresikan rasa hormat dan bersatunya seseorang dengan lingkungan sekitar.

Serupa dengan meditasi, Matsumoto berkata tidak ada kata akhir untuk praktik bersih-bersih. “Setelah saya puas dengan taman yang bersih karena saya sapu, daun jatuh dan debu mulai menumpuk. Serupa dengan hal itu, ketika saat merasa damai dengan pikiran yang jauh dari ego, kemarahan dan kekhawatiran mulai masuk dan mengubah pikiran saya. Ego tersebut tidak berhenti memenuhi pikiran saya jadi saya harus tetap membersihkannya untuk kedamaian dalam diri. Jika saya tidak membersihkan maka saya tidak akan hidup,” katanya.

Kebersihan pun menjadi perhatian agama Shinto di Jepang. Berdasarkan ajaran Shinto, dewa akan memberkati seseorang yang mempunyai hati yang tulus lagi ikhlas serta badan yang bersih. Fisik yang kotor identik dengan moral yang tak baik dan hal ini dibenci oleh dewa. Keyakinan agama ini pun memengaruhi tradisi memelihara kebersihan orang Jepang di semua aspek kehidupan.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf