tirto.id - Ananto Mahardika mengenang kembali masa-masa saat ia menggemari musik Jepang beberapa waktu silam. Pegawai salah satu bank swasta di Yogyakarta itu mengaku, kecintaannya akan hal-hal berbau Jepang dimulai lewat kartun-kartun yang rajin berseliweran di depan televisinya.
“Awalnya aku memang suka musik Jepang atau J-Pop gitu, kepengaruh dari anime pas jaman kecil. Kalau dengar lagu J-Pop rasanya udah kayak hari Minggu aja,” ujarnya kepada Tirto.id.
Kecintaan akan musik Jepang kemudian mengantarkannya kepada grup idol Indonesia rasa Jepang bernama JKT 48. Grup ini merupakan hasil waralaba dari grup serupa yang bernama AKB48 atau Akihabara 48, mengacu kepada nama sebuah daerah dimana grup ini pertama kali dibentuk.
“Kalau JKT48 itu aku pertama kali dengar gara-gara iklan salah satu produk minuman isotonik. Eh, kok lagunya enak. Aku cari di internet, eh, ternyata itu lagunya AKB48. Pas itu aku tahunya baru AKB48,” kenang pria yang biasa dipanggil Dika itu. “Aku searching lagi, ternyata kok lagunya enak-enak. Orangnya juga lucu-lucu,” imbuhnya.
Ketika ditanya lebih lanjut tentang apa yang dia maksud dengan “lucu” itu, Dika menimpali setengah berseloroh.
“Kawaii itu kejepang-jepangan, cute, remaja-remaja lucu tapi nggak alay. Natural,” ujarnya.
Kecintaan Dika kepada JKT48 tidak main-main. Ia tidak hanya membeli CD atau mengoleksi hampir seluruh pernak-perniknya, tapi juga membentuk sebuah band bernama Rookie Boom yang khusus membawakan lagu-lagu JKT48 dan AKB48.
Hasilnya tidak main-main: video penampilan Rookie Boom yang diunggah ke Youtube rata-rata ditonton oleh 150 ribu orang. Beberapa video mereka juga dipuji langsung oleh anggota JKT48. Membludaknya penggemar Rookie Boom bahkan sampai mengantarkan mereka menjadi salah satu band pembuka konser JKT48 di GOR Universitas Negeri Yogyakarta pada April 2013 silam.
Hingga saat ini, Dika mengaku masih menyukai segala hal yang berbau Jepang, meskipun kesibukan membuatnya tidak bisa seantusias dulu lagi. “J-Pop punya banyak keunggulan dari K-Pop. Menurutku, artis K-Pop itu cantik-cantik, tapi kalo Jepang lebih ke imut-imut. Jadi kawaii di jejepangan itu jadi karakter pembeda yang sangat kuat,” bebernya.
Dika menjabarkan beberapa karakter khas yang terkandung ke dalam “kawaii” ala Jepang. “Imut/seperti anak kecil, polos, tingkahnya kekanak-kanakan, natural seperti misalnya gigi gingsul pipi chubby, minim make-up, dan polos. Lebih ke energik mungkin ya,” pungkasnya,
Lintasan popularitas kawaii culture
Budayaa “kawaii” adalah ciri khas yang sangat melekat di dalam produk populer Jepang. Ia bahkan telah menjelma sebagai salah satu ujung tombak dari budaya populer Jepang di mata dunia.
Secara umum, kata “kawaii” diterjemahkan secara bebas sebagai “imut” atau “kekanak-kanakan”.
Collins Dictionary mendefinisikan kawaii sebagai “gaya artistik dan kultural Jepang yang menonjolkan kualitas keimutan, dengan menggunakan warna-warna cerah dan karakter dengan penampilan kekanakan.”
Sharon Kinsella,pengajar studi visual Jepang di University of Manchester, dalam tulisannya “Cuties in Japan” menjabarkan lebih detil tentang unsur-unsur yang biasanya muncul dalam budaya kawaii: manis, polos, murni, sederhana, orisinal, lembut, lemah, rapuh, dan tak berpengalaman.
Sebelum budaya kawaii muncul, Jepang sendiri sudah mengenal karya-karya seni yang menonjolkan sisi feminin perempuan. Manami Okazaki, penulis buku Kawaii, the Culture of Cute berpendapat bahwa unsur kawaii dalam perempuan bsa ditemukan pada masa Taisho yang merentang antara 1912 hingga 1926. Saat itu, seorang perancang busana bernama Takehisa Yumeji mulai membuat pakaian dan aksesoris khusus untuk para gadis remaja.
Ekspresi keimutan yang disebut dengan budaya “kawaii” pertama kali tumbuh pada dekade 1970an. Menurut Sharon Kinsella, budaya kawaii awalnya muncul dari kebiasaan anak-anak usia sekolah di Jepang dalam memakai gaya menulis kanji yang informal, penuh aksesoris, imut, serta cenderung kekanak-kanakan.
Kebiasaan anak-anak Jepang ini, khususnya para perempuannya, muncul sebagai protes atas kekangan yang mereka terima di masyarakat, khususnya, tuntutan untuk menjadi dewasa. Menjadi dewasa dalam alam budaya Jepang berarti harus tunduk pada serangkaian norma sosial yang mengatur kepantasan dalam berperilaku.
Akibatnya, generasi muda Jepang saat itu melakukan perlawanan kecil-kecilan dalam bentuk “menjadi anak-anak”. Mereka menolak menjadi dewasa dan seakan ingin menghentikan waktu lewat lelaku kekanak-kanakan. Menjadi anak-anak, bagi mereka, sama artinya dengan mempertahankan kebebasan.
“Kawaii adalah sebentuk pemberontakan tanpa kata, tetapi dengan busana,” tandas Sebastian Masuda, seorang pekerja seni yang mengklaim diri sebagai “duta besar kawaii” kepada Financial Times. “Kawaii menunjukkan penentangan terhadap struktur masyarakat kontemporer yang diciptakan oleh orang dewasa....sebuah dunia buatan nirwarna yang menjijikkan,” imbuhnya.
Fenomena budaya kawaii sebagai simbol kebebasan masih digunakan bahkan sampai saat ini. Kolomnis Karen Yosman dari Vice menyebutkan bahwa generasi milenial Jepang, yang dikenal sebagai “yutori-sedai” (generasi bebas-tekanan), khususnya para perempuan, seringkali hanya menghabiskan waktunya di rumah hingga saat mereka menikah.
Kondisi ini memberi kesempatan bagi mereka untuk membeli dan mengoleksi benda-benda berlabel kawaii seperti pakaian, boneka, aksesoris, perhiasan, dan benda-benda imut lainnya. Pada akhirnya, mereka mengidentikkan diri mereka dengan barang-barang tersebut. Ujung-ujungnya, mereka akan membelinya.
Pohon bisnis yang terus berbuah
Berkembangnya budaya kawaii pada era '70an salah satunya didorong oleh
Budaya kawaii memang telah menjelma menjadi pohon bisnis yang sangat menggiurkan. Selayaknya pohon, ia melesakkan cabangnya ke berbagai komoditas, mulai dari busana, aksesoris, mainan, kosmetik, makanan, komik, serial televisi, bahkan perlengkapan elektronik.
Kunci dari berkembangnya budaya kawaii terletak dari pertaliannya dengan industri. Momentum ini dimulai pada dekade 1970an ketika perusahaan Sanrio meluncurkan karakter Hello Kitty. Karakter yang awalnya dikira sebagai kucing—tetapi baru dibantah Sanrio beberapa waktu lalu—ini tampil dalam berbagai produk, mulai dari boneka, hingga penyedot debu.
Popularitas budaya kawaii kemudian menyeberang dengan sukses ke televisi lewat kemunculan seorang idola bernama Seiko Matsuda pada dekade '80an. Matsuda, seorang penyanyi dan aktris serba bisa yang dijuluki sebagai “Idol Abadi”, tampil dengan gaya unik yang disebut sebagai “gaya burikko”. Gaya tersebut segera menjadi cetak biru bagi anak-anak muda Jepang yang ingin tampil keren.
Peran media massa sangatlah penting dalam mengerek popularitas budaya kawaii. Pada dekade '90an, budaya kawaii mulai keluar kandang untuk merintis popularitasnya di berbagai penjuru dunia. Ia menunggangi berbagai kendaraan yang dirakit dari pabrik budaya populer Jepang: anime (serial kartun), dorama (serial drama), manga (komik), permainan video game, mainan/action figure, dan film.
Belakangan, seiring kemunculan internet, popularitas budaya kawaii semakin melesat, seperti terlihat dari menjamurnya waralaba “idol group” seperti AKB48 dan JKT48 di penghujung dekade 2000an. Identitas kawaii tidak lagi menjadi milik Jepang, karena ia telah menyebar, ditiru, dan dimodifikasi oleh banyak negara, mulai dari Korea Selatan (yang melahirkan “Hallyu” atau “Korean Waves”) hingga Indonesia.
Budaya kawaii, yang awalnya hanya tumbuh sebagai sebuah subkultur kecil di Jepang, akhirnya menjadi bagian dari budaya arus utama Jepang, bahkan menyebar lewat arus globalisasi sehingga turut mempengaruhi budaya dunia.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani