tirto.id - Kisah hidup Fanly Tanto amat menarik. Sebagai Country Director Google Cloud Indonesia, karier awal perempuan lulusan University of East London Malaysia ini justru dimulai dari dunia seni: menjadi penjaga sebuah galeri di Jakarta.
Dalam wawancaranya dengan Astra Digital, dia menyebut pekerjaannya ketika itu bisa dibilang palugada. Tuntutannya jelas, orang tua tidak akan memberi uang saku setelah dia lulus kuliah. Dia harus bekerja secepatnya. Menyapu, membersihkan galeri, hingga menjual lukisan, adalah lingkup pekerjaan yang dia lakukan setiap hari.
Dengan pengalamannya bertungkus lumus di dunia seni, saya jadi paham kenapa Fanly memberi posisi terhormat untuk para seniman. Untuk acara perayaan ulang tahun Google Cloud Indonesia kelima, Fanly mengajak beberapa seniman untuk membuat mural secara langsung di tiga lokasi di Jakarta.
“Kolaborasi ini menarik banget! Karena nanti para seniman ini akan berkolaborasi juga dengan kecerdasan buatan dalam proses pengkaryaannya,” ujar Fanly dengan mata berbinar, ketika kami makan siang di acara Google Cloud Next 25 di Las Vegas, beberapa waktu lalu.
Dalam ketegangan antara dunia seni dan kecerdasan buatan yang semakin menguat belakangan ini, mungkin ini adalah napas yang segar sekaligus diperlukan –dan bukan tak mungkin kelak bisa mengubah arah diskursus terkait seni dan kecerdasan buatan.
Yang juga patut diperhatikan dalam perjalanan karier Fanly yakni dunia sales sekilas berbeda, tapi pada dasarnya perlu pondasi sama: pengetahuan akan produk.
Kemampuan melego lukisan perlu pengetahuan mendalam, tak hanya tentang produk an sich, tapi hingga ke konteks. Dengan kata lain: seorang sales yang baik harus mengetahui produknya hingga ke tulang sumsum.
Keahlian ini ia tentang dan dipertajam di beberapa perusahaan teknologi sebelum mendarat di Google Cloud Indonesia. Jika dulu Fanly menjual lukisan, sekarang yang dijual adalah teknologi. Mulai dari kemudahan, kepraktisan, dan tentu saja kecanggihan.
Di antara ratusan panel di ajang Google Cloud Next dan kesibukan wawancara yang berderet, Fanly menyempatkan diri meluangkan waktunya untuk ngobrol dengan Tirto.id. Kami banyak bicara tentang peran kecerdasan buatan, hobinya maraton, hingga apa yang bisa Google Cloud lakukan untuk membantu bisnis dan perusahaan agar jadi lebih sangkil dan mangkus.
Berikut cuplikannya.
Jadi gimana momentum Google Cloud Indonesia nih, Bu?
Jadi memang benar, kalau saya lihatnya justru strong momentum banget di kami gitu ya, di mana tuh product innovation strategy, terus habis itu go to market kami, itu resonate positively ke para konsumen. Contohnya, kami tuh dari Q4 result revenue itu naik 30% year on year. Terus Vertex AI itu lima kali lebih banyak penggunaannya dari sisi customer dibandingkan tahun lalu. Jadi 5 kali customer-nya lebih banyak. Terus ada 20 kali usage increase.
Terus selain itu kami juga lihat penambahan dari sisi di data center, kami juga punya 3 data center di Indonesia dan kami tetap nambah- nambahin gitu ya, dari 8 kali Google Cloud computing capacity sama AI workloads, dibandingkan dengan di 18 bulan yang lalu.
Jadi gak mengherankan ya kalau di Indonesia kayaknya transformasi digital kan semakin cepat, ya? Lalu sektor-sektor apa saja yang menjadikan Google Cloud sebagai tulang punggung operasional mereka?
Di Indonesia, sevenout often big bank di Indonesia itu menggunakan Google Cloud. Terus semua telco juga menggunakan Google Cloud. Retailer juga, mulai dari Alfamart, Era, Salim Group. Kemudian di sektor publik juga menggunakan. Ada Kementerian Kesehatan, ada Kemendikbud.
Nah kayak Kemendikbud gitu, ya, kami gunakan AI itu untuk bantu guru. Menganalisis data. Terus juga bisa membantu membuat soal untuk anak murid. Selain itu juga bisa bikin (kelas lebih) interaktif. Jadi AI bagaimana membuat cara pengajaran itu supaya lebih lebih up to date.
Digital native juga banyak tuh. Ada Kredivo, lalu Kopi Kenangan, Blibli, Traveloka gitu.
Tapi sebenarnya kalau untuk pangsa pasar cloud di Indonesia sendiri, ketat gak sih persaingannya?
(Tertawa). Kami gak bisa share percentage-nya, tapi kami largest market share di Indonesia. Google Cloud is number one untuk layanan cloud di Indonesia.
Dari beberapa diskusi, sering sekali tercetus bahwa Indonesia adalah unique market untuk Google Cloud. Menurut Bu Fanly sendiri, apa yang menarik dan unik dari pasar Indonesia ini?
Kalau kami melihatnya, pasar Indonesia ini unik karena kami banyak membantu Indonesian customers dari our day to day activities aja gitu. Kayak misalnya kita butuh layanan perbankan gitu, bisa ke Bank Jago, Bank Jago Syariah. Terus abis itu misalnya kita lagi mau pinjam kredit gitu kita ke Kredivo. Terus misalnya kita lagi traveling, saya paling seneng traveling gitu ya saya pake My Telkomsel App. Saya tinggal cari roaming, tulis Amerika Serikat gitu, nanti keluarnya relevan pasti untuk roaming gitu.
Terus saya juga kalau lagi nonton nonton video, dapet rekomendasi gitu. Nah terus misalnya saya mau ke minimarket atau saya lagi mau belanja tapi gak sempat, saya belanja lewat e-commerce gitu ya di Alfamart.
Jadi yang kami lakukan ini bagaimana kami impacting our Indonesian enterprise dan bisa membantu Indonesian customers.
Dan tentunya lagi dengan banyaknya teknologi yang diluncurkan di Google Next ini itu lebih bagus lagi. Contohnya ini, Gemini 2 .5 Pro untuk yang perlu thinking and complex reasoning. Terus ada juga yang Gemini 2 .5 Flash, di mana lebih ke cost efficience dan ini sangat bisa digunakan di customer care. Jadi kalau misalnya customer care butuh menjawab pertanyaan dari dari customer-nya, dia bisa cepat.
Terus ada lagi di Imagen 3, ini text to image. Terus ada Chirp, itu dia ambil voice, terus dari voice itu bisa untuk branding, kan. Jadi misalnya kita bikin iklan terus setelah itu kita bisa humanize suara dari robot. Saya sendiri paling seneng Veo 2, membuat video. Kebayang gak sih kalau kita bikin iklan, atau untuk bantuin media dengan menggunakan video ini.
Gak cuma itu, kami juga mendengarkan banget input para customer. Karena kemarin juga kamu liat yang The Sphere partnership kan, ya? itu kan dahsyat, ya. Film tahun 1930 -an yang black and white gitu, bisa jadi kayak kayak super resolution.
Dulunya pas ada ide itu, dari tim produk bilang “oh itu gak ada di feature yang kita punya” gitu. Tapi kemudian kami kembangkan bareng-bareng gitu dengan partnership tersebut.
Ini juga berlaku kalau misalnya kita punya customer, lalu ada fitur yang mereka inginkan atau misalnya fitur yang mungkin di servisnya Google Cloud belum ada, itu bisa kami masukkan sebagai part of our innovation.
Karena kami ini dengerin banget. Saya kan hosting customer nih di Google Next, nah waktu ada customer engagement, dan customernya berbagi, “eh kayaknya bagus deh kalau ada ini,”, nah, kami note it down. Dan kami kembalikan saran ini ke tim produk kami, ke tim engineering.
Dan fitur yang kami lihat itu bermanfaat akan kami apply kembali untuk seluruh customer.
Ah, I see. Jadi fitur bermanfaat ini bisa jadi pondasi buat layanan yang digunakan konsumen dan nantinya bisa dicustom sesuai kebutuhan klien?
Iya. Contoh, misalnya kami bikin anti money laundering partnership dengan HSBC. Nah begitu selesai ya kami bisa gunakan komponen-komponen di anti money laundering itu dengan bank lain, yang kemudian disesuaikan, di-custom untuk si bank tersebut gitu loh. Cuma dasarnya, foundation-nya udah ada gitu.
Cotohnya Agentspace yang punya fitur multi agent ya, jadi dari satu agent ke agent lain.
(Catatan penulis: secara sederhana, agent yang dimaksud adalah sistem piranti lunak berbasis kecerdasan buatan yang bisa berjalan otomatis, berinteraksi dengan pengguna, hingga menyelesaikan pekerjaan. Semua atas sepengetahuan dan seizin pengguna. Dalam situs Google Cloud, mereka menyebut agent AI ini, "...bisa menunjukkan alasan/ argumentasi untuk keputusannya, melakukan perencanaan, mengingat, dan bisa punya otonomi untuk membuat keputusan, belajar, dan beradaptasi).
Dan itu bisa, nggak harus dengan teknologi Google Cloud. Jadi kami open itu yang diinginkan, no vendor login. Jadi kalau misalnya dari saya bikin satu agen dan berbicara dengan agen lain dari teknologi yang berbeda, itu mereka bisa bicara tuh, agent to agent. Ini teknologi yang pertama nih di dunia nih, agent to agent, open source.
Bagaimana memastikan teknologinya bisa kompatibel dari satu agent ke agent lain?
Selalu kalau misalnya dari sisi customer, sebelum mereka going to production, pasti akan testing dulu, apakah ini sudah relevan sebelum dilepas, apakah agent to agent bisa pas. Terus setelah itu, agennya itu bisa lihat dari agent garden tuh, Mas.
(Catatan penulis: agent garden adalah sebutan untuk sebuah "tempat" yang berisi berbagai agen AI dan juga piranti yang mendukung pembuatan/ pembangunan aplikasi berbasis kecerdasan buatan)
Jadi misalnya mas lagi butuhnya agen yang mana, itu kita bisa searching perlu agen yang mana.
Google Cloud sudah dipakai di mayoritas telekomunikasi, banking, hingga retail. Untuk bisnis di Indonesia sendiri, Google Cloud akan menargetkan sektor apa lagi?
Sektor-sektor kami itu di public sector, kan ya. Tadi saya sudah menyebut mengenai Kementerian Kesehatan. Lalu Kemendikbud juga. Saya juga melihat dari telco dan perbankan itu selalu our first priority. Kami juga melihat di area retail dan manufacturing, karena banyak sekali hal-hal yang kami bisa dukung di dunia retail.
Misalnya: apa sih rekomendasi untuk si customer, apa saja produk-produk yang bisa disarankan berdasarkan previous history-nya mereka dan orang -orang yang serupa dengan si personil tersebut. Itu di retail kami melihatnya juga banyak. Terus di digital native itu kayak Traveloka, Tiket .com.
Ada juga customer yang mau untuk keeping on premise. Kami juga ada yang namanya Google Distributed Cloud, GDC. Kemarin Mas Nuran sempat lihat dan jalan-jalan di Expo kan ya? Nah di situ ada Google Distributed Cloud. Jadi dengan sovereignity dan regulated, mereka bisa taruh Google server di data centernya mereka, itu kan sudah 3 tahun tuh umurnya Google Distributed Cloud.
Nah, yang menarik itu kami launch Gemini di Google Distributed Cloud. Jadi dulunya mungkin pakainya open source gitu ya, ini tapi selalu customer bolak-balik nanya, "bisa gak ada Gemini di GDC?"
Akhirnya sekarang kami launch tuh Gemini AI di Google Distributed Cloud, jadi kebayang gak itu, di data centernya customer sendiri gitu loh.
Memang menarik ya, ini. Dan lagi-lagi, ini disebut akan membuat pekerjaan serta bisnis jadi lebih efektif dan efisien?
Betul. Ada our 7th version of TPU (Tensor Processing Unit). Ironwood. Ini disebut dua kali lebih cepat ketimbang Trillo (aplikasi manajemen data) dan 30 kali lebih cepat dari super komputer.
Untuk enterprise, Google Cloud sudah terbukti lah ya, bisa lebih efektif, juga cost efficient. Tapi bisa nggak sih efisiensi ala enterprise, ala perusahaan ini diterapkan di transformasi digital birokrasi pemerintahan Indonesia?
Justru saya melihatnya sebagai opportunity ya. Jadi di mana kami bisa membantu pelayanan publik dengan lebih baik lagi gitu. Justru kami sekarang justru mulai ngobrolin nih kerjasama-kerjasama apa lagi gitu ya. B2G antara Google Cloud dengan government. Di mana kami bisa melihat dan misalnya untuk membantu pelayanan ke masyarakat lebih baik lagi.
Saya ada ngobrol dengan salah satu government agencies, ya. Jadi yang menarik adalah mereka ini punya mindset: kami di pelayanan harus tetap selalu melakukan inovasi. Harus tetap menambah kualitas. Jangan karena government harus duduk saja, diam saja.
Tapi yang saya senangnya, government di Indonesia itu selalu tetap mau pacing up with the transformation. Amaze banget saya ketika kami hosting customer, mereka rajin banget datangin rangkaian acara di Google Next, semua session yang menarik mereka hadiri. Dan mereka merasa penting untuk belajar bagaimana pengembangan digital transformation di negara kita bisa lebih baik lagi.
Saya pernah nonton video wawancara Ibu. Di video itu, Bu Fanly ngomong bahwa “untuk jualan price is important, but understanding the customer's pain and the solution is also another important point.” Dari Ibu sendiri sebenarnya apa yang Ibu lihat dari consumer pain atau masalah terbesar yang ada di perusahaan sehingga mereka perlu melakukan transformasi digital.
Kami biasanya cari tahu dulu nih si customernya seperti apa gitu, ya. Dan sekarang dengan adanya AI saya biasa pakai Notebook LM gitu ya. Dengan Notebook LM, saya lihat dokumen-dokumen tentang perusahaannya yang di public information. Dan biasanya akan diceritakan insight-nya tuh apa sih. Terus mereka kendalanya tuh apa sih, challenge -nya apa.
Nah dari situ ketika kami ketemu dengan customer mereka akan tahu bahwa kami sudah tahu oh kamu udah tau background mereka. Mereka akan tahu kalau we are not coming with a zero background.
Kemudian the trust is built, gitu, ya. Lama-lama kami sebagai outsider juga bisa melihat bagaimana penggunaan Google Cloud Technology, AI dari Google Cloud bisa membantu perusahaan serupa seperti perusahaan tersebut.
Dari situ mereka akan resonate. Kami juga bisa memahami apa prioritas mereka. Oh sepertinya number one priority misalnya growth. Atau number one priority adalah cost saving.
Nah setelahnya kami akan pilah-pilah tuh. Biasanya kami ada yang namanya AI immersion workshops, di mana kami melihat sebenarnya value kamu menggunakan AI Itu untuk apa sih? Jadi enggak semata -mata pakai AI hanya untuk pakai AI, tapi harus ada value-nya, dan ini harus kami gali.
Jadi kami biasanya deep dive dengan customer, dengan pengguna, kami akan bertanya sebenarnya kamu tuh value-nya, priority kamu tuh apa. Lantas kami akan bikinin matriks, apa yang nice to have, sama what is a must have gitu. Nah dari situ kami melihat iteration-iteration dan kami bilangnya ini namanya quick win, apakah itu berguna atau enggak. Jadi di pilotnya, kalau misalnya berguna, ya production.
Nah gunanya cloud apa? Coba bayangkan kalau misalnya harus tunggu beli server, itu butuh berapa lama sekarang? Bisa 3-6 bulan untuk shipment dan segala macam. Sementara kalau misalnya kita mau coba di cloud, hari ini mau coba, saat ini juga bisa langsung coba, bisa go online.
Apa benang merah dari perusahaan-perusahaan yang melakukan transformasi digital ini, dan apa masalah terbesar mereka?
Kalau kami melihat tuh benang merahnya di sisi talent ya. Karena itu Google bersama-sama dengan customer juga bikin banyak program yang namanya cloud skill boost gitu. Kami memberikan training gitu ya, enablement kepada customer kita baik online maupun offline.
Lalu kami juga ada yang namanya Jago dan juga JuaraGCP (program belajar mandiri Google Cloud secara online yang dirancang khusus untuk developer di Indonesia). Kami sudah bikin 11 kali nih. Dan yang mendaftar itu lebih dari 10 ribu orang. Di program ini, ada kurikulum AI, dan peserta harus mengikuti berbagai kurikulum ini buat lulus.
Dengan program ini, ayo bersama -sama tuh untuk bisa increase our talent di Indonesia. Dari Indonesia untuk Indonesia.
Editor: Nuran Wibisono
Masuk tirto.id


































