tirto.id - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menyatakan, impor gula yang dilakukan pemerintah cenderung menguntungkan perusahaan dan politikus.
Sebab, kata Faisal, selama ini adanya perbedaan harga jual gula dalam negeri yang terpaut jauh lebih dari 3 kali lipat dibanding harga internasional.
Dari perbedaan harga itu, Faisal menuturkan sejumlah pengusaha memanfaatkan izin impor gula berjenis raw sugar untuk produksi gula rafinasi bagi industri. Namun, pada praktiknya gula itu dijual dalam label gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat.
“Keuntungan yang didapat bukan menjual gula rafinasi ke industri, tapi selisih harga terjadi antara gula eceran dan dunia,” ucap Faisal dalam konferensi pers di ITS Tower pada Senin (14/1/2019).
Faisal menjelaskan, masyarakat terpaksa menanggung harga jual kelewat mahal terutama saat pemerintah mengenakan kuota impor. Sementara itu, kelebihan harga yang melampaui harga internasional menjadi bagian pemegang lisensi impor dan politikus yang memberi izin.
“Ini ada basisnya saya menuduh. Dengan teori ekonomi ini cukup,” ucap Faisal.
Faisal menilai hal ini terjadi lantaran pemerintah membuka pembeda antara gula rafinasi dan GKP. Padahal, menurut dunia internasional telah lama menghapus dikotomi itu.
Alasan itu, kata Faisal, menjadi pintu masuk agar perusahaan dapat mengimpor gula dunia yang harganya relatif lebih murah dibanding eceran. Namun, karena gula yang dapat diimpor hanya untuk konsumsi dan kepentingan stabilisasi harga, ia menilai di situlah peran istilah raw sugar.
Padahal, kata Faisal, pembuatannya dicampurkan dengan bahan kimia untuk menurunkan kualitasnya. Namun, ketika berada di dalam negeri, gula itu diproses menjadi gula yang dapat dikonsumsi.
“Jangan bedakan gula rafinasi dengan GKP. Kami tidak ingin ada uang haram yang masuk ke politik yang makin kotor,” ucap Faisal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto