Menuju konten utama

APTRI Desak Pemerintah Audit Izin Impor Gula Rafinasi 3,6 Juta Ton

Organisasi petani tebu mengeluhkan kuota impor gula rafinasi untuk indutri yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2018 terlalu besar.

APTRI Desak Pemerintah Audit Izin Impor Gula Rafinasi 3,6 Juta Ton
(Ilustrasi) Ratusan truk pengangkut tebu mengantre untuk masuk ke area penggilingan tebu di Pabrik Gula (PG) Rendeng, Kudus, Jawa Tengah. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaudit kebijakan izin impor gula rafinasi untuk industri sebesar 3,6 juta ton pada tahun ini. Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen mengatakan izin impor tersebut terlalu besar.

"Kami minta ke pak Menko [Darmin] supaya itu diaudit. Impor gula rafinasi itu enggak habis diserap industri mamin [makanan dan minuman]," ujar Soemitro di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada Rabu (29/8/2018).

Pemerintah memberikan kuota impor gula rafinasi masing-masing sebesar 1,8 juta ton untuk periode semester I dan II 2018. Soemitro mencatat, hingga kini realisasi dari izin impor gula rafinasi tak sampai 1,8 juta ton.

"Tapi, [meski realisasi lebih sedikit dari kuota] enggak ada industri yang teriak kurang gula. Mereka tercukupi dengan realisasi impor dan ada sebagian masuk ke pasar kami," kata dia.

Soemitro khawatir kuota impor gula rafinasi pada tahun 2018 yang terlalu besar akan mengganggu pasar konsumsi. Dia mengklaim organisasinya sudah menemukan bukti rembesan gula rafinasi untuk industri ke pasar konsumsi.

Menurut Soemitro, data APTRI mencatat sudah ada sebanyak 800 ribu ton gula rafinasi masuk ke pasar konsumsi di tahun ini. Padahal, kata dia, ada sisa stok gula konsumsi dari tahun lalu sebesar 1 juta ton.

Dia menambahkan asumsi produksi gula nasional setiap tahunnya selama ini sebesar 2,1-2,2 juta ton dan perhitungan kebutuhan konsumsi nasional per-tahun 2,86 juta ton. Artinya, kebutuhan impor gula konsumsi hanya 600 ribu ton.

"Produksi petani [mandiri] bagiannya 66 persen," ucapnya.

Karena itu, Soemitro juga menilai asumsi pemerintah bahwa ada kebutuhan impor gula konsumsi 1,1 juta ton per tahun patut dipertanyakan. Selanjutnya, ia mengatakan jika secara riil dalam negeri membutuhkan impor gula, maka harga gula konsumsi saat ini seharusnya mengalami tren naik. Namun, kenyataannya harga gula mengalami tren menurun.

Berdasar data APTRI, pada 2016, harga tertinggi gula konsumsi Rp11.200 per kilogram (Kg) dan terendah Rp9.250 per Kg. Pada 2017, harga terendah menjadi Rp9.200 per Kg dan tertinggi Rp11 ribu per Kg. Pada 2018, harga terendah sebesar Rp9.150 per Kg dan tertinggi sebesar Rp9.950 per Kg.

Lebih lanjut, Soemitro berpendapat impor gula rafinasi untuk industri maupun gula konsumsi seharusnya bersyarat.

"Impor itu syaratnya kalau ada kelangkaan, lonjakan harga, dan kalau impor itu untuk buffer stok yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga milik pemerintah. Kalau memang untuk buffer stok gula konsumsi, impor itu diberikan ke BULOG," terangnya.

Sementara, izin impor gula konsumsi saat ini diberikan untuk BUMN dan perusahaan swasta. Kementerian Perdagangan menyatakan ada sebanyak 7 BUMN mendapatkan jatah impor gula mentah untuk produksi gula konsumsi dalam negeri.

Ketujuh BUMN itu adalah PT Perkebunan Nusantara IX, Pabrik Gula Candi Baru, Pabrik Gula Rajawali I, Pabrik Gula Rajawali II, Gendhis Multi Manis, PT Perkebunan Nusantara X dan PT Perkebunan Nusantara XII. Kemudian ada 11 perusahaan swasta yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia yang mendapatkan izin impor gula konsumsi.

Baca juga artikel terkait IMPOR atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom