tirto.id - Facebook telah memblokir akses sekitar satu juta anggota grup yang membahas monarki di Thailand, setelah pemerintah mengancam akan mengambil langkah hukum pada tindakan tersebut.
Langkah pemblokiran itu dilakukan, di tengah memanasnya protes anti-pemerintah yang terjadi di Bangkok hampir setiap hari, yang menuntut pemerintah di bawah pimpinan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, untuk melakukan reformasi monarki.
Dilansir dari Al-Jazeera, kabar ini pertama kali diketahui pada Senin, (24/8/2020) malam waktu setempat, setelah grup Facebook bernama “Royalist Marketplace”, yang dibuat akademisi dan kritikus monarki Pavin Chachavalpongpun muncul pesan berisi: “Akses ke grup ini telah dibatasi di Thailand sesuai dengan permintaan hukum dari Kementerian Ekonomi dan Masyarakat Digital.”
Menanggapi hal tersebut, Pavin, yang kini tinggal di Jepang, mengatakan bahwa Facebook telah tunduk pada tekanan pemerintah yang didominasi militer.
"Kelompok kami adalah bagian dari proses demokratisasi, ini adalah ruang untuk kebebasan berekspresi," katanya, dikutip dari Al-Jazeera, Rabu (26/8/2020).
"Dengan melakukan ini [pemblokiran], Facebook telah bekerja sama dengan rezim otoriter untuk menghalangi demokrasi dan menumbuhkan otoriterisme di Thailand,” imbuhnya.
Lebih jauh, John Sifton, Direktur Advokasi Asia di Human Rights Watch kepada BBC mengatakan bahwa pemerintah Thailand telah melanggar hak asasi manusia atas kebebasan berbicara.
“Pemerintah Thailand sekali lagi menyalahgunakan undang-undang yang terlalu luas dan melanggar hak untuk memaksa Facebook membatasi konten yang dilindungi oleh hak asasi manusia atas kebebasan berbicara.”
"Jangan salah, Thailand yang melanggar hukum di sini - hukum internasional yang melindungi kebebasan berekspresi," pungkasnya.
Grup yang dibuat pada awal April 2020 itu sendiri, pada Selasa, (25/8/2020) tercatat sudah memiliki lebih dari 455.000 anggota.
Sementara pihak Facebook mengatakan bahwa pihaknya berencana untuk menggugat pemerintah Thailand secara hukum setelah merasa "dipaksa" untuk memblokir akses ke grup tersebut.
"Permintaan seperti ini sangat berat, melanggar hukum hak asasi manusia internasional, dan memiliki efek mengerikan pada kemampuan orang untuk mengekspresikan diri," kata juru bicara Facebook, Selasa, (25/8/2020)
Ia juga menegaskan, bahwa raksasa media sosial itu bekerja untuk melindungi dan membela hak-hak semua pengguna internet, serta telah “bersiap secara hukum” untuk menentang permintaan pemerintah Thailand tersebut.
Sebagaimana dilansir dari The Guardian, Undang-undang lese majeste Thailand, yang melarang pencemaran nama baik raja dengan hukuman hingga 15 tahun penjara, seringkali menjadi dasar permintaan tersebut untuk memblokir atau menghapus konten di platform media sosial.
Awal bulan ini saja, Menteri Digital Thailand menuduh Facebook tidak memenuhi permintaan untuk membatasi konten, termasuk penghinaan terhadap monarki.
Alhasil, pada 10 Agustus lalu, ia memberi waktu 15 hari kepada Facebook untuk mematuhi perintah penghapusan, atau mereka akan didakwa berdasarkan Undang-Undang Kejahatan Komputer setempat, yang dapat dikenakan denda hingga 200 ribu baht serta tambahan 5.000 baht per hari.
Juru bicara Kementerian Digital, Putchapong Nodthaisong, pada hari Senin (24/8/2020) telah menyampaikan bahwa Facebook akhirnya mau “bekerja sama” sebelum tenggat waktu, karena mereka memahami konteks masyarakat di Thailand.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Yandri Daniel Damaledo