tirto.id - Pemaksaan Timor-Leste menjadi bagian dari Indonesia berakhir pada 19 Oktober 1999. Dalam referendum yang digelar pada 30 Agustus dan hasilnya dibacakan pada 4 September di tahun yang sama, 78,5% rakyat Timor Timur memutuskan untuk memerdekakan diri setelah pendudukan selama 24 tahun.
PBB meminta Indonesia menjaga keamanan hingga semua urusan administrasi selesai. Namun kerusuhan justru merebak, dimotori oleh setidaknya 13 milisi.
“Mereka seolah-olah dibentuk untuk membela penduduk terhadap perusakan oleh gerilyawan pro-kemerdekaan dan kelompok pemuda, tetapi sebenarnya mencoba dan mengintimidasi orang Timor agar mendukung integrasi yang berkelanjutan dengan Indonesia,” tulis Human Rights Watch (HRW).
Salah satunya bernama Aitarak, yang menurut HRW merupakan satu dari “tiga yang terburuk.” Pemimpin Aitarak bernama Eurico Guterres. Guterres yang sama menerima penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden Joko Widodo pada 12 Agustus 2021. Alasan pemerintah: Guterres telah berjasa bagi Indonesia.
Pemerintah boleh-boleh saja beralasan demikian. Tapi ia tak menegaskan fakta bahwa bagi sebagian lain Guterres tidak lain adalah penjahat hak asasi manusia.
Setelah kelompok pro-kemerdekaan menang dalam referendum, Presiden B. J. Habibie memerintahkan militer Indonesia menjaga keamanan dan meredam penolakan yang sangat mungkin muncul dari kelompok pro-integrasi, termasuk dari Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), tempat Guterres menjabat wakil panglima.
Dalam buku Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan (2008) yang ditulis Cordula Maria Rien Kuntari dkk, Guterres bukan orang yang memanaskan situasi. Kepala Staf Angkatan Perang PPI Hermenio da Silva-lah yang mengancam “akan bertindak brutal untuk membumihanguskan Timtim” apabila kelompok pro-otonomi mau membalas aksi-aksi milisi pro-integrasi.
Kendati demikian, New York Times melaporkan Guterres sebenarnya mendiamkan atau malah mendukung aksi-aksi kelompok milisi yang menyebarkan kerusuhan di penjuru Dili. Setelah pengumuman jajak pendapat, Guterres menyatakan boleh saja secara diplomasi kelompok pro-integrasi kalah, tapi “kami tidak akan menyerah.”
Singkat cerita Timor Timur resmi merdeka pada 20 Mei 2002 dan mengganti nama menjadi Republik Demokratik Timor-Leste. Setelah itu Guterres pun diseret ke pengadilan, terutama atas dakwaan sebagai provokator penyerangan rumah aktivis pro-kemerdekaan Manuel Viegas Carascalao, 17 April 1999, yang menewaskan 12 orang dan mencederai puluhan lain.
Di persidangan, Guterres tidak menyangkal bahwa PPI mempunyai senjata api rakitan, salah satu jenisnya tercatat mirip senapan M16. Namun ia merasa itu bukanlah masalah yang bisa menjurus pada pelanggaran HAM. Dia justru mengatasnamakan tindakannya dibenarkan atas dasar nasionalisme.
“Yang mulia hakim, mohon keadilan ditegakkan. Jangan bela kesalahan kami, namun bela kebenaran yang telah kami buat. Apa yang kami lakukan [di] Timtim adalah untuk membela Merah Putih. Kalau apa yang kami lakukan salah membela Merah Putih, saya bersedia dihukum mati,” kata Guterres.
Pengadilan HAM ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Guterres pada 27 November 2002. Ia dinilai terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Namun, dalam putusan Peninjauan Kembali pada tahun 2008, Mahkamah Agung membebaskan Guterres dengan pertimbangan yang oleh LSM HAM Kontras dinilai tak tepat dan dipaksakan.
Di Indonesia, di hidupnya yang “baru”, Guterres sempat masuk berbagai partai, termasuk PDIP sampai 2005 dan terakhir Gerindra pada Februari lalu.
Jalan Mulus Pelanggar HAM
Penghargaan terhadap Guterres mempertebal keyakinan kelompok sipil bahwa pemerintahan Jokowi memang mengabaikan HAM. Janji-janji kampanye untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu tidak pernah dituntaskan. Di masa pemerintahannya, dugaan pelanggaran HAM berat juga terjadi, yakni Paniai Berdarah 7-8 Desember 2014.
Kemudian, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025, kejahatan HAM berat nihil dibahas. Kejahatan seperti: peristiwa 1965-1966; penembakan misterius (petrus) 1982; Talangsari 1989; Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan Kerusuhan Mei 1998 tidak masuk dalam prioritas penyelesaian lima tahun ke depan. Pemerintah beralasan itu memang sengaja tak dimasukkan karena bakal ada “kebijakan khusus” yang masih dalam tahap pembahasan.
Namun tetap saja pemerintahan Jokowi dianggap semakin melenceng dari janji penegakan HAM yang telah digembar-gemborkan sejak 2014 lalu. Toh, bukan hanya Guterres yang mendapat tempat istimewa. Beberapa orang lain yang ada atau sempat ada dalam pemerintahan tersangkut masalah HAM.
Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan periode pertama pemerintahan Jokowi, dalam arsip yang dideklasifikasi–dibuka setelah sebelumnya berstatus rahasia–oleh National Security Archive Amerika Serikat terindikasi terlibat dalam bumi hangus Timor Leste. Saat itu Wiranto menjabat Panglima ABRI.
Wiranto telah menolak segala tudingan tersebut, bahkan sejak belasan tahun lalu. Sementara pada 2017 dia mengatakan dituding karena “nasib sial.”
Apa pun itu, karena aksi bumi hangus ini 2.600-an orang tewas; hampir 30 ribu terlantar; dan setidak-tidaknya 250 ribu dikeluarkan paksa dari tempat tinggalnya menjadi pengungsi internal.
Majalah Tempo edisi 12 September 1999 mencatat hanya lima hari sejak jajak pendapat, ada setidaknya 145 penduduk sipil tewas dibantai kaum “sipil bersenjata”–yang tak dianggap masalah oleh Guterres.
Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat saat itu, lantang mengatakan, “militer Indonesia terbukti membantu dan menghasut para milisi untuk melakukan kekerasan.” Sedangkan laporan Carter Center East Timor Observation Mission meyakinkan publik bahwa mereka punya “bukti-bukti kuat dan akurat” tentara Indonesia telah mendanai, mempersenjatai, dan memberikan instruksi “atas segala sepak terjang milisi.”
Orang lain yang mungkin diuntungkan dengan pengabaian jejak (dugaan) kejahatan HAM masa lalu adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ia diterpa isu penculikan aktivis pro-demokrasi menjelang Soeharto tumbang.
Prabowo sendiri tidak menyanggah informasi itu dan hanya menegaskan penculikan itu bagian dari “menjalankan perintah atasan.” Sedangkan Partai Gerindra membela bahwa pimpinannya telah mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Mahkamah Militer.
Namun jejak kelam Prabowo bukan hanya soal penculikan. Ketika di Timtim, saat memimpin Satuan Gugus Intelijen (SGI), kelompok milisi bersenjata berkembang pesat. Di tahun 1989, Prabowo “membentuk sebuah kelompok paramiliter yang amat ditakuti,” yaitu Gabungan Pemuda Penegak Integrasi (Garda Paksi). “Dari sinilah nama Eurico Guterres–kini komandan milisi Aitarak–mulai berkibar,” catat Tempo.
Berdasar informasi yang dihimpun sejarawan Geoffrey B. Robinson dalam sejumput reportase berjudul If You Leave Us Here, We Will Die (2009), orang-orang di Garda Paksi terbiasa berpakaian hitam dan bersenjatakan pisau. Kerjanya menyerupai preman: membakar rumah warga, melempari batu, membangun barikade, bahkan kadang menculik dan membunuh aktivis. Robinson mendeskripsikan kerja Garda Paksi memang ditujukan untuk menyusup ke tengah kelompok pro-kemerdekaan dan menciptakan kekacauan.
Garda Paksi inilah yang kemudian berubah menjadi Aitarak–kelompok yang dipimpin oleh Guterres. Robinson menganggap Guterres adalah protégé Prabowo. Salah satu informasi memang menyebut Guterres merupakan "binaan" TNI.
Dalam tulisan tentang dirinya, Guterres tetap menganggap dirinya seorang nasionalis. Dengan alasan yang sama, orang-orang yang punya rekam jejak kelam serupa bisa tetap bercokol di pemerintahan dan tentu saja agenda penegakan HAM makin jauh panggang dari api.
Editor: Rio Apinino