Menuju konten utama

Sejarah Asal-usul Kemunculan Milisi Prointegrasi di Timor Timur

Milisi-milisi prointegrasi bermunculan jelang merdekanya Timor Leste. Studi menduga militer Indonesia turut menyokong aksi-aksi mereka.

Sejarah Asal-usul Kemunculan Milisi Prointegrasi di Timor Timur
Ilustrasi tentara Timor Leste dengan latar invasi tentara Indonesia pada 1975. FOTO/AMRT

tirto.id - Menjelang akhir pendudukan Indonesia di Timor Timur, jaringan milisi lokal mulai menyeruak. Tepatnya setelah Presiden B.J. Habibie pada 27 Januari 1999 mengumumkan akan mengadakan jajak pendapat bagi rakyat Timor Timur untuk memilih bergabung dengan Indonesia atau merdeka. Pada Mei, terjadi kesepakatan bahwa UNAMET (Misi PBB untuk Timor Timur) akan memegang mandat untuk menyelenggarakan referendum.

Pengambilan suara kemudian dilaksanakan pada 30 Agustus dan diumumkan pada 4 September. Hasilnya, sebanyak 78,5 persen rakyat Timor Timur ingin merdeka. Setelah itu, aksi kekerasan oleh milisi prointegrasi mencapai puncaknya.

Menurut laporan Human Rights Watch (HRW), milisi-milisi ini—sedikitnya 13 grup dari masing-masing distrik di Timor Timur—dibentuk seolah-olah untuk melindungi warga dari aksi kekerasan oleh gerilyawan prokemerdekaan. Namun, sebenarnya justru mereka sendiri yang mengintimidasi penduduk agar mau mendukung integrasi dengan Indonesia.

Beberapa milisi dilaporkan sudah berdiri sejak dekade 1970-an—tak lama setelah Indonesia mengintervensi Timor Portugal pada 1975. Milisi Halilintar di distrik Bobonaro adalah salah satu contohnya.

Sebagiannya lagi adalah kelompok milisi yang baru muncul menjelang kemerdekaan Timor Timur dan kelak dikenal paling brutal. Di antaranya adalah milisi Aitarak (Dili), Besi Merah Putih (Liquica), dan Mahidi (Suai). Masing-masing milisi itu punya seribu sampai dua ribuan anggota dan aktif beroperasi di kawasan barat Timor Timur.

Temuan HRW juga menyebut beberapa kelompok milisi mendapat sokongan dari militer Indonesia. Hal itu tercermin dari persenjataan modern yang mereka jinjing. Polisi dan tentara Indonesia juga terkesan melakukan pembiaran kala milisi-milisi itu melakukan kekerasan.

Selain itu, masing-masing grup militan dikomando oleh tokoh Timor Timur yang punya riwayat pernah bekerja sama dengan militer Indonesia. Kolompok Halilintar, misalnya, dipimpin oleh Joao Tavares yang merupakan mantan kepala suku tradisional. Tavares tercatat pernah pula jadi anggota partai Apodeti yang pro-Indonesia pada 1970-an. Setelah Timor Timur merdeka, Tavares melakukan eksodus ke Atambua, Nusa Tenggara Timur.

Grup lainnya, Aitarak, dipimpin oleh Eurico Gutteres yang merupakan mantan aktivis prokemerdekaan. Eurico Gutteres berpindah haluan mendukung Indonesia setelah ditahan oleh tentara Indonesia pasca-Tragedi Santa Cruz (1991).

Eurico Gutteres baru-baru ini memperoleh penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden Joko Widodo. Penghargaan itu lantas mengundang protes dari berbagai organisasi HAM, mulai dari aliansi organisasi masyarakat sipil Timor Leste, KontraS sampai Amnesty International Indonesia.

Pada 2002, Gutteres diputus bersalah dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Meski begitu, dia dibebaskan enam tahun kemudian melalui mekanisme Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung.

Sejak hasil jajak pendapat diumumkan, berbagai laporan tentang dukungan tentara Indonesia terhadap para milisi Timor Timur juga mulai bermunculan.

Organisasi Tapol pada Juni 1999, misalnya, melaporkan bahwa Panglima Kodam IX Udayana Adam Damiri mengadakan rapat dengan pemimpin-pemimpin milisi pada Februari 1999. Dalam rapat itu, Adam menjanjikan bantuan logistik termasuk persenjataan untuk 2.000 personel milisi.

Adam sendiri sempat divonis hukuman tiga tahun penjara pada 2003 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tuduhan keterlibatan dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Namun, Majelis Banding Pengadilan Tinggi HAM ad hoc Jakarta membebaskannya setahun kemudian.

Gambaran Permusuhan

Iklim permusuhan antara milisi prointegrasi dan pendukung kemerdekaan Timor Timur sempat diabadikan oleh reporter ABC News Tim Lester dalam dokumenter The Bullet and The Ballot beberapa saat sebelum jajak pendapat pada 30 Agustus 1999.

Lester mengawali kunjungannya ke sebuah gereja di ibu kota Distrik Covalima, Suai. Sekitar 1.800 warga di sana mengungsi karena merasa daerahnya tidak lagi aman.

Karena orang-orang jahat dari milisi mengejar kami. Mereka mau bunuh kami… memukul kami… menangkap kami…” ujar seorang pria dikelilingi para pendukung kemerdekaan lainnya. “Yang kami mau hari ini, dalam keadaan mati ataupun hidup, adalah kemerdekaan! Hidup! Viva!”.

Di sekitar gereja itu, sejumlah pemuda mengusung bendera Badan Nasional Perlawanan Timor (CNRT)—organisasi payung dari berbagai gerakan prokemerdekaan. Mereka membentangkan pula poster aktivis Xanana Gusmão—kelak terpilih sebagai presiden pertama Timor Leste.

Lester juga menemui sepasukan paramiliter prointegrasi di Maliana yang merupakan salah satu basis terkuat kelompok milisi pro-Indonesia. Mereka membopong senjata dalam balutan seragam kaos warna hijau-oranye dan topi bermotif bendera merah putih. Lester diizinkan menumpang truk bersama mereka untuk mengikuti acara di alun-alun kota.

Terlepas dari visualnya yang terkesan mengintimidasi dan berbagai laporan tentang aksi kejamnya terhadap warga, para milisi itu bersikeras punya tujuan mulia.

Kami bukan kelompok milisi. Kami kelompok properdamaian. Kalau orang melakukan salah, kami akan menindaknya terlepas mereka promerdeka atau prootonomi [pro-integrasi dengan Indonesia],” ujar Ruben Gonsalves, seorang petani asal Maliana sekaligus salah satu komandan milisi.

Rombongan Ruben Gonsalves hadir dalam sebuah acara yang disambut Tavares. Saat Lester bertanya padanya tentang potensi pecahnya aksi kekerasan pascaperhitungan jajak pendapat, pemimpin milisi Halilintar itu mengiyakannya.

[Aksi kekerasan] ini akan terjadi karena orang Timor tidak pernah mau menerima kekalahan,” ujarnya.

Milisi Timor Timur dan Tentara Indonesia

Latar belakang kemunculan gerakan militan Timor Timur dipaparkan lebih spesifik oleh James Dunn dalam studi berjudul “Crimes against Humanity in East Timor, January to October 1999: Their Nature and Causes” yang terbit di bunga rampai Masters of Terror (2002, PDF).

Menurut Dunn, alih-alih muncul sebagai tuntutan alamiah warga Timor Timur, milisi-milisi pro-Indonesia yang muncul pada 1999 itu merupakan hasil inisiatif lingkaran senior Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ditengarai juga bagian dari elite Kopassus. Tekanan domestik terhadap Presiden Habibie, tuntutan akan reformasi demokrasi, dan berbagai upaya yang dilakukan PBB dipandang sebagai motif yang mendorong para petinggi militer Indonesia itu untuk menyokong kelompok-kelompok milisi. Tujuannya jelas: mempertahankan Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia.

Dunn memperkirakan terdapat ratusan atau bahkan lebih dari seribu rakyat Timor Timur yang tewas dibunuh kelompok milisi. Dunn juga menekankan bahwa aksi-aksi pembunuhan itu dijalankan secara sistematis dan menyasar pihak-pihak yang menentang integrasi dengan Indonesia.

Sejumlah kasus pembunuhan dilaporkan dilakukan secara bengis, bahkan melibatkan mutilasi. Selain itu, serangan milisi juga mengakibatkan ratusan warga mengalami luka-luka. Itu pun belum memperhitungkan berbagai aksi penyiksaan, intimidasi, penculikan, sampai pemerkosaan.

Ratusan ribu warga dipaksa pergi dari rumahnya, sementara barak-barak pengungsian, sekola, hingga fasilitas kesehatan dibumihanguskan. Lebih lanjut tentang detil kejahatan kemanusiaan ini disampaikan dalam Laporan Lengkap Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Timor Timur yang dimandatkan Komnas HAM pada 22 September 1999. Laporan itu dimuat pula dalam bunga rampai Masters of Terror.

Masih menurut Dunn, aksi kekerasan oleh milisi terhadap pendukung kemerdekaan mulai meningkat pada April 1999 atau tak lama setelah dimulainya Operasi Sapu Jagad—strategi militer Indonesia untuk mengenyahkan aktivis-aktivis prokemerdekaan yang bernaung di bawah CNRT.

Namun, puncak kekejaman baru terjadi sejak pengumuman referendum pada September. Kala itu, INTERFET—pasukan perdamaian internasional non-PBB untuk Timor Timur yang dipimpin Australia—datang untuk membantu meredam kekacauan.

Dunn kurang setuju dengan pandangan bahwa tokoh-tokoh milisi adalah subjek yang paling mendesak untuk diinvestigasi dan diadili atas berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur. Dia lebih sepakat dengan pendapat ketua eksekutif UNAMET Ian Martin. Dalam laporannya, Martin mengungkapkan tim pengamat UNAMET “punya sedikit keraguan bahwa TNI bertanggung jawab membentuk dan mempersenjatai grup-grup milisi prointegrasi, serta mengarahkan aktivitas mereka”.

Temuan ini salah satunya dijabarkan oleh staf pengamat UNAMET Peter Bartu yang ditugaskan di distrik Bobonaro dalam laporan berjudul “The militia, the military, and the people of Bobonaro district” (2000, PDF).

Menurut laporan Bartu, pada 3 September 1999—malam sebelum pengumuman hasil jajak pendapat, tim UNAMET mendapati tentara Indonesia memerintahkan milisi untuk membumihanguskan bangunan-bangunan yang berasosiasi dengan UNAMET dan kelompok prokemerdekaan. Seiring semua itu terjadi, “POLRI tetap berada di pos polisi, menyanyikan lagu-lagu,” tulis Bartu.

Salah satu episode paling mengenaskan terjadi di Gereja Ave Maria di Kota Suai pada 6 September 1999. Dalam laporannya untuk UN Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR—2003, PDF), sejarawan University of California Los Angeles Geoffrey Robinson menjabarkan sedikitnya 40 orang meninggal dunia dalam insiden itu. Korban jiwa dalam tragedi itu di antaranya adalah 3 orang pastor, 10 anak-remaja di bawah usia 18 tahun, dan belasan perempuan.

Pelaku kuncinya adalah grup milisi Laksaur pimpinan Olivio Mendonça Moruk serta sejumlah anggota milisi Mahidi pimpinan Cancio Lopes de Carvalho.

Namun, para milisi tidak beroperasi sendirian. Sebagaimana ditemui di distrik lainnya, mereka dibentuk, dilatih, disokong, dan diperintah oleh staf TNI,” tulis Robinson.

Latar Belakang Historis Milisi Timor Timur

Dalam studinya yang lain bertajukPeople's War: Militias in East Timor and Indonesia” (2001), Robinson mencoba memahami asal muasal milisi Timor timur dengan perspektif berbeda.

Seturut penelusuran Robinson, ada dua pandangan yang selama ini berusaha menjelaskan latar belakang kemunculan milisi. Pandangan pertama berasal dari perspektif pihak militer Indonesia. Mereka menyebut milisi muncul dengan sendirinya karena provokasi gerakan prokemerdekaan pada 1998.

Militer Indonesia juga mengaitkan kebrutalan para milisi sebagai fenomena khas Melayu: amok—sering disepadankan dengan “mengamuk”, reaksi marah karena kesulitan menyelesaikan masalah.

Pandangan kedua berasal dari kacamata media dan intelektual Barat. Mereka melihat milisi-milisi ini sebagai produk buatan militer Indonesia. Mereka juga menekankan bahwa militer Indonesia mendalangi berbagai aksi kekejaman terhadap rakyat Timor Timur.

Menurut Robinson, pandangan kedua itu lebih mendekati kebenaran. Tapi, Robinson juga menyadari pandangan itu terkesan mengaburkan aspek-aspek penting tentang asal mula milisi serta logika politik dan historis di balik mobilisasi mereka.

Infografik Mozaik Timor Timur

Infografik Mozaik Timor Timur

Menurut Robinson lagi, anggota milisi tidak terbatas pada mereka yang dipaksa bergabung, tapi juga mereka yang bersedia atau ikhlas untuk bergabung. Mereka itu termasuk orang-orang yang pernah ikut gerakan pro-Indonesia sejak 1975 atau yang keluarganya jadi korban partai prokemerdekaan Fretilin.

Mereka direkrut dengan iming-iming bakal dapat makan, uang, atau pelatihan angkat senjata. Sebagian anggota milisi lainnya tampaknya direkrut langsung dari geng-geng kriminal. Singkatnya, milisi bukan sekadar boneka suruhan tentara Indonesia, melainkan juga manusia yang “bertindak dan memilih jalannya sendiri berdasarkan pengalaman historis, konteks politik, dan hasrat pribadi”.

Masih ada juga sejumlah faktor historis yang mungkin bisa menjelaskan kenapa basis-basis milisi terkuat terletak di distrik-distrik di bagian barat Timor Timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia.

Robinson menilik persenjataan yang digunakan para milisi Timor Timur pada 1999 tak sebatas pada persenjataan modern, tapi juga katana dan tombak, batu-batuan, sampai senjata api flintlock atau pemuras—lazim digunakan sejak beberapa abad silam.

Pilihan senjata para milisi ini, menurut Robinson, boleh jadi juga mencerminkan tradisi lama di Timor Timur. Selain itu, praktik pembantaian oleh milisi modern—memenggal kepala, mengudar isi perut, dan mempertontonkan hasil kekejamanya di publik—menurut Robinson juga mencerminkan tradisi lama.

Sebuah dokumen tinggalan Belanda bertarikh 1749 menjelaskan dalam suatu pertempuran, orang-orang Timor yang jadi sekutu Belanda memamerkan “seribu kepala” musuh. Ada pula catatan bertarikh 1896 yang menyebut tentang pejuang Timor yang memenggal kepala serdadu Portugis dan memamerkannya di pelataran desa pemberontak.

Pada 1912, Pemerintah Portugis juga melaporkan pejuang Timor “menghiasi” dirinya dengan kepala-kepala musuh. Kisah-kisah tentang pemenggalan kepala ini masih dijumpai sampai dekade 1960-an dan 1970an menjelang invasi Indonesia. Di samping itu, praktik melempari musuh dengan batu dan membakar pemukiman bahkan bisa ditemui sejak abad ke-17.

Bukti-bukti sejarah itu menunjukkan pengalaman historis pejuang Timor kemungkinan ikut memengaruhi karakter dan perilaku milisi era 1999. Dalam konteks sejarah, keberadaan para pejuang itu tidak bisa dipisahkan dari kehadiran pemerintah kolonial Belanda, Portugis, dan kemudian Indonesia.

Menurut Robinson, otoritas kolonial Portugis pun pernah memobilisasi “milisi-milisi suku asli” yang disebut moradores dan arraias. Mereak dikerahkan untuk membantu menertibkan keamanan dan meredam oposisi terhadap pemerintah.

Pada 1912, misalnya, pemerintah kolonial Portugis berhasil meredam pemberontakan terbesar dari liurai (raja, penguasa daerah) di Manufahi. Kala itu, Portugis memanfaatkan pasukan dari liurai-liurai lain yang setia padanya. Strategi mobilisasi milisi daerah ini masih dijalankan hingga menjelang Perang Dunia II, bahkan bertahan hingga dekade 1950-1960. Hingga 1975, ketika Indonesia merangsek masuk ke Timor Portugis, sejumlah liurai dilaporkan masih punya pasukan tentara pribadi.

Baca juga artikel terkait TIMOR TIMUR atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Fadrik Aziz Firdausi