Menuju konten utama
PLTS Atap dan Cara Kerjanya

Ekspor Listrik PLTS Atap Bisa 100%, Tagihan Listrik Semakin Murah

KemenESDM telah menerbitkan aturan baru soal pengguna PLTS Atap bisa mengekspor listrik hingga 100 persen ke PLN.

Ekspor Listrik PLTS Atap Bisa 100%, Tagihan Listrik Semakin Murah
Pekerja memeriksa panel surya SolaRUV bersertifIkat SNI di Jakarta, Jumat (31/12/21).

tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral menerbitkan aturan baru bagi pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap bisa mengekspor listrik hingga 100 persen ke PLN.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Aturan ini berlaku maka masyarakat juga bisa membayar tagihan listrik lebih murah melalui “ekspor-impor” listrik dengan PLN.

Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana menjelaskan, dalam berkas tersebut ada ketentuan ekspor kWh listrik ditingkatkan dari 65 persen menjadi 100 persen. Berdasarkan ketentuan ini, pengguna PLTS atap bisa mengekspor atau menjual listrik 100 persen.

"Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Kemudian jangka waktu permohonan PLTS Atap menjadi lebih singkat. Yaitu 5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL," jelas Dadan dalam keterangan resmi yang dikutip Tirto, Selasa (8/2/2022).

Ia menjelaskan, pembahasan lain mengenai PLTS atap yaitu mekanisme pelayanan seluruhnya akan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap.

"Dengan adanya kebijakan ini akan terbuka peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap. Selain itu, juga sudah tersedia Pusat Pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang IUPTLU. Perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU)," jelas dia.

Proses pelayanan sistem PLTS Atap selama masa transisi masih dilakukan secara manual, belum berbasis aplikasi.

Menanggapi adanya kebijakan tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan jika kebijakan tersebut dilakukan maka akan semakin banyak orang yang mulai tertarik untuk menggunakan PLTS Atap. Salah satu yang menjadi penggerak transisi energi global adalah biaya teknologi energi hijau yang semakin turun dan semakin rendah dari waktu ke waktu.

"Ini bisa mempercepat penurunan harga PLTS dan mempercepat juga transisi energi di Indonesia," kata Fabby dikutip Antara, Selasa (8/2/2022).

Menurutnya, harga panel surya telah mengalami penurunan sebesar 90 persen dalam satu dekade terakhir pada rentang 2010 sampai 2020. Harga turbin angin juga turut mengalami penurunan sebesar 48 persen.

Sedangkan, dalam lima tahun, harga battery storage mengalami penurunan sebanyak 40 persen. Badan Energi Terbarukan Internasional (Irena) memproyeksikan harga panel surya akan turun 55 persen pada 2030 dan 45-55 persen untuk turbin angin.

"Selain harga teknologi yang semakin turun, akses pada teknologi ini semakin terbuka dan semakin luas," jelas dia.

Sebelumnya, sebagai upaya Pemerintah dalam mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 menerbitkan aturan ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

Peraturan Menteri ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sebagai upaya memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS Atap. Peraturan ini juga sebagai langkah untuk merespons dinamika yang ada dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan, serta berkeinginan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.

"Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap ini dapat dilaksanakan dan telah didukung oleh seluruh stakeholder sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Bapak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 18 Januari 2022," ujar Dadan Kusdiana.

Pada rapat tersebut telah disepakati beberapa hal yang menjadi perhatian dalam implementasi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, yang berdampak nasional diantaranya potensi kenaikan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP), subsidi dan kompensasi, potensi kehilangan penjualan PT PLN serta potensi pendapatan dari capacity charge.

Dampak APBN yang berkaitan dengan potensi peningkatan subsidi dan kompensasi dipengaruhi oleh pertumbuhan pemintaan listrik. Semakin besar permintaan listrik maka dampak terhadap subsidi dan kompensasi semakin kecil. Hal ini menjadi penting agar program pemerintah berkenaan creating demand listrik untuk dapat dipercepat.

Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW yang akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025, akan berdampak positif pada hal-hal diantaranya yaitu berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja.

Kemudian berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp45 Triliun s/d Rp63,7 Triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp2,04 Triliun sampai dengan Rp4,1 Triliun untuk pengadaan kWh Exim.

"Mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya TKDN. Mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global," kata dia.

Kemudian menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 4,58 Juta Ton CO2e. Berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan Nilai Ekonomi Karbon sebesar Rp 0,06 Triliun/tahun (asumsi harga karbon 2 USD/ton CO2e).

Baca juga artikel terkait PLTS ATAP atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri