tirto.id - Tidak ada yang abadi dalam politik. Kalimat itu, barangkali, ada benarnya dalam percaturan politik di Indonesia.
Kemarin lawan, hari ini menjadi kawan. Sebelumnya rival sengit, menjadi konco sesudahnya. Sayangnya, pergeseran arus politik nasional masih kental pragmatisme dan patronase politik elite.
Hal itu pula yang dicium sejumlah pemerhati politik nasional ketika menilik gelagat eksodus organ relawan Projo dari pengaruh Joko Widodo alias Jokowi. Projo–yang identik dengan Jokowi bahkan dikenal luas sebagai Pro-Jokowi–tampak mulai membalikkan badan ke arah presiden Prabowo Subianto. Setidaknya itu tergambar dari pernyataan Ketua Umum mereka, Budi Arie Setiadi, yang mengumbar sinyalemen hendak bergabung ke Partai Gerindra.
Namun apakah ini terbaca sebagai langkah Budi Arie dan Projo untuk mencari ‘suaka’ politik baru lewat bergabung ke dalam partai penguasa? Tampaknya tidak sesederhana itu. Hal ini, menurut beberapa analis, dapat pula dibaca sebagai upaya lain dari Jokowi mengamankan pengaruh lewat organ relawannya di parpol utama pendukung pemerintahan Prabowo.
“Di satu sisi ada kegamangan dan kekhawatiran secara politik, mereka [organ relawan] pekerja politik tentu ingin suaka, aman dari tekanan hukum. Terlebih Budi Arie disuarakan terlibat dalam skandal judi online,” ucap Analis Politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, kepada wartawan Tirto, Rabu (5/11/2025).
Nama Budi Arie malang melintang dalam kasus beking situs judi online di Kementerian Komunikasi, saat dia masih memimpin institusi itu. Ia pernah disebut dalam surat dakwaan para terdakwa. Namun Budi berulang kali membantah tudingan bahwa ia terlibat skandal ini, dan menyebut tuduhan kepadanya sebagai ‘narasi jahat’.
Di rezim pemerintahan Prabowo, Budi Arie dicopot sebagai menteri Koperasi dan digantikan oleh wakilnya yang merupakan politisi Gerindra, Ferry Juliantono.
Menurut Dedi, hanya penguasa yang mampu memberikan ‘suaka politik’ dari kasus hukum. Ia melihat, arah Projo menjauh dari embel-embel Jokowi kental manuver pencarian suaka, baik untuk kepentingan politik, hukum, maupun ekonomi.
“Jokowi sendiri juga bukan lagi penguasa, artinya ada nuansa mencari suaka di sini. Tidak ada relawan politik yang punya loyalitas permanen,” ucap Dedi.
Manuver politik Projo mencuat dalam agenda Kongres III Projo akhir pekan lalu. Saat itu, Budi Arie, yang kembali terpilih menjadi Ketua Umum Projo, meminta izin kepada peserta kongres untuk bergabung ke partai pimpinan Presiden Prabowo Subianto, Partai Gerindra. Ia mengklaim Prabowo sendiri sudah menawarkan langsung kepadanya untuk bergabung.

Budi menyebut, Projo bakal memperkuat partai yang dipimpin oleh Presiden Prabowo itu. Ia berharap Projo memperkokoh agenda politik Prabowo supaya kepemimpinan Prabowo lebih solid. Pada kesempatan itu Budi juga membantah bahwa Projo merupakan singkatan dari ‘Pro-Jokowi’.
Ia menyebut singkatan itu cenderung dikenal di masyarakat karena lebih mudah diucapkan. Budi menyampaikan bahwa Projo sesungguhnya berarti ‘negeri’ dalam bahasa Sansekerta dan berarti ‘rakyat’ dalam basaha Jawa Kawi.
“Projo memang enggak ada [singkatan]. Cuma teman-teman media kan ya, Projo [artinya] Pro-Jokowi, itu karena gampang dilafalkan saja,” kata Budi Arie, Sabtu (1/11/2025).
Selain itu, Projo juga menyatakan bakal mengganti logo yang selama ini mereka gunakan sejak berdiri pada 2013. Sampai sekarang, siluet wajah Jokowi menjadi logo organ relawan ini. Budi Arie menyampaikan langkah mengubah logo Projo dilakukan sebagai sayembara.
“Nanti logonya sendiri akan kita sayembarakan sehingga partisipasi publik bisa muncul. Nanti logo Projo yang baru,” katanya.
Sehari kemudian, Budi Arie membantah bahwa Projo ‘pisah jalan’ dengan Jokowi. Ia menilai hal ini sebagai framing ‘adu domba’ antara Projo dengan Jokowi. Budi menegaskan Projo lahir karena perlunya pemimpin rakyat bernama Jokowi.
Projo lahir karena bangsa Indonesia memerlukan pemimpin seperti Jokowi. Ia mengatakan, Projo tak bisa dilepaskan dari sejarah pemerintahan Jokowi yang berlangsung selama dua periode (2014-2024).
“Ini luar biasa sekali framing adu dombanya. Tadi pagi saya masih komunikasi dengan Pak Jokowi, kok,” kata Budi Arie pada Ahad lalu.
Dalam hajatan besar Projo akhir pekan lalu, Jokowi sendiri tidak datang menghadiri secara langsung. Ajudan Jokowi, Syarif Muhammad Fitriansyah, menyampaikan kepada wartawan di Solo, Jawa Tengah, bahwa ayah daripada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka itu tidak bisa hadir karena alasan kesehatan.
“Karena pertimbangan tim dokter yang menganjurkan Bapak (Jokowi) beristirahat dan tidak beraktivitas di luar ruangan, beliau belum dapat menghadiri Kongres III Projo,” kata Syarif, Sabtu (1/11/2025).
Sebagai gantinya, Jokowi memberikan video ucapan kepada organ relawan pendukungnya itu. Dalam video itu, Jokowi menyampaikan apresiasinya atas dedikasi para relawan.
“Terima kasih atas semangat dan dedikasi yang terus dijaga dalam mendukung arah pembangunan bangsa,” kata Jokowi melalui rekaman video yang ditayangkan dalam pembukaan Kongres III Projo.
Namun, Jokowi dan keluarganya memang tidak lagi dibicarakan Projo dalam momen besar organ relawan itu. Nama Prabowo dan Partai Gerindra justru menjadi sorotan utama dalam Kongres Nasional III Projo.
Dalam pembacaan resolusi organisasi yang disampaikan Wakil Ketua Umum Projo, Freddy Damanik, Minggu (2/11/2025) lalu, tidak disebut nama Gibran ataupun Jokowi dalam agenda jangka panjang Projo.
“Mendukung dan memperkuat agenda politik Presiden Prabowo dan menyukseskan Presiden Prabowo pada 2029. Ketiga, Projo melakukan transformasi organisasi dalam menjawab tantangan dan perubahan situasi nasional," ucap Freddy di hari terakhir kongres.
Skenario Politik Menuju 2029?
Namun, Analis Politik IPO, Dedi menilai langkah Projo ini tidak bisa begitu saja dibaca sebagai perpecahan dengan Jokowi. Menurut Dedi, memang aroma perpecahan bisa dilihat sekilas hanya karena manuver Projo menjauh dari embel-embel Jokowi. Tetapi bagaimana jika terdapat skenario politik lain dari organ relawan Jokowi itu?
Misalnya, justru manuver Budi Arie dan Projo sudah mendapat restu Jokowi untuk bergabung ke partai Gerindra atau ke dalam jantung mesin politik Prabowo. Jika demikian, justru menjadi jelas, masih ada niatan Jokowi memasangkan Gibran dengan Prabowo untuk putaran kedua roda pemerintahan selanjutnya.
Pasalnya, Presiden ke-7 RI itu sudah menyatakan sebelumnya kepada awak media bahwa ia mendukung Prabowo-Gibran dua periode. Projo–sebagai relawan terbesar Jokowi–bisa menjadi pintu masuk memuluskan rencana tersebut.
“Jika tidak menyusupkan tokohnya ke Prabowo, maka bisa saja sosok Jokowi ditinggalkan di Pilpres 2029 mendatang. Agenda itu dimulai dengan mengirim semisal Budi Arie ke dalam Gerindra,” ungkap Dedi.
Sementara itu, Analis politik dari Trias Politika, Agung Baskoro, menilai mustahil Projo akan benar-benar meninggalkan Jokowi. Sebaliknya, terdapat aroma kepentingan pragmatis dan strategi mengamankan pengaruh organ relawan Jokowi itu dengan menyatakan mendukung pemerintahan Prabowo dan ketuanya hendak bergabung ke partai Gerindra.
Pasalnya, jika ditilik secara pemilihan partai, mestinya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang lebih identik dengan Jokowi, yang dipilih Budi Arie. Namun, pemilihan Gerindra menunjukkan manuver ini adalah cara Budi Arie mengamankan posisi pribadinya setelah dicopot sebagai menteri pemerintahan Prabowo.
“Karena yang berkuasa hari ini adalah Prabowo dengan Partai Gerindra bukan Jokowi dengan PSI. Sehingga kalau dibaca secara kritis, manuver Budi Arie dan Projo ini bentuk mengamankan kepentingan politik, hukum dan bidang lainnya saja,” kata Agung kepada wartawan Tirto, Rabu (5/11/2025).
Di sisi lain, Gerindra sendiri tampaknya belum melihat keseriusan Budi Arie bergabung ke kubu mereka. Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menilai ia belum menerima pengajuan langsung Budi Arie untuk bergabung ke dalam Gerindra. Meski begitu, Dasco menegaskan bahwa Gerindra terbuka untuk menerima siapa pun yang hendak bergabung.
"Saya belum dengar langsung. Nanti, kalau sudah dengar langsung, saya tanggapi," kata Dasco saat ditanyai wartawan di sela mengadiri Kongres III Projo, Sabtu (1/11/2025).
Sukarelawan politik serasa partai politik
Sayangnya, pragmatisme politik yang ditunjukkan organ relawan Jokowi menunjukkan betul bahwa kepentingan rakyat belum masuk dalam rencana besar organisasi. Manuver untuk merapat ke partai penguasa dan kekuasaan memperlihatkan bahwa organ relawan politik cenderung terjebak dalam patronase elite politik.Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai sukarelawan politik di Indonesia serasa partai politik. Mereka hanya bergantung kepada figur tertentu, merapat pada penguasa, dan sikap politiknya partisan menjelang pemilu.
Setelah pemilu, peranan relawan politik tidak pernah tampak hadir berjuang membela kepentingan rakyat.
“Agenda politiknya jelas ingin merapat ke penguasa. Ikut yang menang. Perilaku semacam ini bukan relawan, tapi menjelma seperti partai. Judulnya saja relawan, praktiknya seperti partai. Merekat saat pemilu saja. Setelah itu relawan politik ini tak kelihatan elan (semangat perjuangan) vitalnya,” tegas Adi kepada wartawan Tirto, Rabu (5/11/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































