Menuju konten utama

Duduk Perkara Penolakan Pembangunan Pura di Bekasi

Sekelompok orang menolak pendirian pura di Desa Sukahurip, Kabupaten Bekasi. Penolaknya adalah warga desa tetangga, meski ada pula warga desa yang mendukung.

Duduk Perkara Penolakan Pembangunan Pura di Bekasi
lokasi pura akan dibangun. tirto.id/Alfian

tirto.id - Sekelompok orang tiba-tiba memenuhi ruas Jalan Sasak Bali yang melintang di Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Sabtu (4/5/2019) sore. Mereka menolak pembangunan pura yang terletak di wilayah RT 01/RW 01 Desa Sukahurip.

"Ada sekitar tiga mobil. Mereka pasang spanduk penolakan [pura]," kata seorang warga bernama Keneh (57) kepada reporter Tirto, Rabu (15/5/2019). Keneh sedang menjaga warung nasinya yang terletak 50 meter dari lokasi pura ketika demonstrasi berlangsung. Keneh bilang sebelum magrib mereka telah membubarkan diri.

Calon lokasi pura terletak dua kilometer dari Jalan Raya Cikarang-Sukatani. Posisinya jauh dari ingar-bingar, dikelilingi pohon karet, dan hanya bisa ditempuh via Jalan Sasak Bali. Letak persisnya berada di belakang perumahan Green Sasak Bali yang sedang dalam tahap pembangunan.

Belum ada fondasi sama sekali di area seluas satu hektare itu.

Yang menarik, Keneh bersaksi kalau yang menolak itu bukan warga setempat, tapi dari Banjarsari, desa yang terletak persis di timur Sukahurip.

Kendati demikian, ia sebetulnya juga bertanya-tanya kenapa ada pura mau dibangun di daerah itu. Sebab, katanya, warga Sukahurip mayoritas beragama Islam.

"Yang [beragama] Hindu di sini cuma keluarga Pak Wayan," ujarnya.

Keneh bilang rencana pembangunan pura mungkin ada sangkut pautnya dengan Wayan. Namun ia tak tahu pasti, apa posisi Wayan dalam proyek tersebut.

Kardi (37) warga Sukahurip lain, juga menuturkan hal yang sama dengan Keneh. Dia menegaskan tak ada satu pun warga Sukahurip yang berpartisipasi.

"Kami, mah, tenang-tenang saja," ujarnya kepada reporter Tirto di kantor Kepala Desa Sukahurip.

Kendati tidak ikut aksi karena belum ada tanda-tanda pembangunan sama sekali, sebetulnya Kardi juga keberatan dengan rencana itu.

"Lokasinya dekat dengan makam Syeikh Komaruddin, beliau itu leluhur warga sini. Konon juga dia yang membangun desa pertama kali. Lagipula warga di sini mayoritas muslim. Cuma satu keluarga yang Hindu [Pak Wayan]," ujarnya.

Reporter Tirto mengunjungi kediaman Wayan yang berada 200 meter dari lokasi pura atau sekitar 100 meter dari perumahan Green Sasak Bali. Namun yang bersangkutan tak ada di rumah, sedang bekerja di Cikampek.

"Kalau mau ketemu bapak, akhir pekan saja," ujar seorang perempuan yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga. Dia mengaku tak tahu-menahu soal penolakan ini. Dia hanya bilang Wayan punya pura sendiri di dalam rumah.

"Kalau Dikasih Izin, yang Lain Ikut"

Kepala Dusun Banjarsari, Rival, membenarkan penolakan tersebut datang dari warganya.

"Karena kata para warga, kalau itu [pura] dikasih [diizinkan dibangun], nanti yang lain akan ikut-ikutan," ujarnya di Desa Sukahurip, Rabu malam. "Seharusnya tidak ramai. Karena ibaratnya melangkah saja belum. Baru rencana," tambahnya.

Sementara Kepala Desa Sukahurip Aan Kurniawan menyayangkan adanya demonstrasi ini.

"Ini, kan, baru rencana. Bangunannya belum ada. Izinnya saja tidak ada. Tapi, kok, malah dibuat ramai," ujarnya ketika ditemui di rumahnya, Rabu malam.

Pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006—dikenal dengan sebutan PBM.

Dalam SKB itu, selain harus memenuhi syarat administrasi dan teknis bangunan, izin warga sekitar juga mesti dikantongi pendiri rumah ibadah. Pasal 14 ayat 2 menyebutkan, pendirian rumah ibadah harus mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah atau kepala desa.

Di samping itu, pendiri rumah ibadah juga harus menyertakan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Daftar tersebut harus disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayahnya.

Aan mengaku akan mengumpulkan warga dalam waktu dekat untuk membicarakan ini.

"Kami, kan, sebagai pelayanan. Tidak bisa melarang, menolak, dan ngasih ini [izin] juga. Tergantung kesepakatan warganya," ujar Aan. "Kami ikuti saja kesepakatan warga. Kalau misalkan 'oke' [dibangunnya pura], ya, kami siap."

Mereka juga mesti mendapat rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten atau kota.

Setelah semua perizinan selesai, panitia pembangunan rumah ibadah masih harus mengajukan permohonan kepada bupati atau walikota untuk memperoleh IMB.

Tak Ada Pura di Kabupaten Bekasi

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bekasi sekaligus ketua panitia pembangunan pura di Sukahurip, I Made Pande Cakra, mengatakan lokasi tersebut dipilih lantaran sepi. Harapannya umat bisa khusyuk beribadah.

Selain itu, lokasi tersebut dipilih karena dianggap punya nilai historis. Menurutnya di sanalah dulu pernah berdiri Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Tarumanegara berdiri pada abad ke-4, sementara Salakanagara bahkan disebut-sebut sebagai kerajaan tertua di Nusantara.

"Itu tempat yang sakral sekali. Jadi tempat ibadah bagus," kata Pande kepada reporter Tirto, Rabu.

Lokasi itu ditemukan karena Wayan, satu-satunya pemeluk Hindu di desa, adalah anggota PHDI Bekasi. Keputusan itu diperoleh setelah mereka mengadakan rapat di rumah Wayan pada 2017.

"Pemilik tanah, mendiang Bapak Agung Oka Darmawan, juga menginginkan didirikan tempat ibadah sejak dulu. Kami hanya menjalankan amanat saja," tambahnya.

Selain itu, alasan pendirian pura juga karena faktor kemendesakan: di Kabupaten Bekasi tak ada satu pun pura, padahal di sana ada 7.000 penganut Hindu. Untuk bisa beribadah, mereka harus menempuh perjalanan kurang lebih satu sampai dua jam menuju pura yang berada di Kota Bekasi (misalnya Pura Agung Tirta Bhuana).

Apabila pura tersebut berdiri, diperkirakan sanggup mengakomodir 5.000 orang, bahkan lebih.

Pande sudah mengajukan surat permohonan pada Maret 2019 kepada FKUB dan Kementerian Agama sesuai dengan amanat SKB dua menteri. Mereka juga mengaku sudah mengantongi 60 tanda tangan bukti persetujuan warga lokal dan 90 bukti tanda tangan calon jemaah. Saat ini data-data itu tinggal diverifikasi.

Oleh sebab itu ia heran masih ada saja warga yang menolak.

"Korlapnya dari desa Banjarsari, itu seberangnya Sukahurip. Tapi mereka mengatasnamakan warga Sukahurip dan Banjarsari. Minjam nama. Mereka tidak paham bahwa warga lokal sebenarnya mendukung," ujarnya.

"Bukan Tokoh"

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi, Athoillah Mursjid, mengatakan pihaknya belum bisa melakukan verifikasi 60 warga lokal yang disebut Pande telah menyetujui pembangunan pura. Warga masih sibuk bekerja.

"Selasa kemarin kami sudah coba datangi. Namun warga banyak masih yang bekerja, ada yang turun ke sawah," ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu. Verifikasi perlu, katanya, untuk mengetahui "apakah benar atau tidak warga-warga itu tanda tangan; apakah mereka tahu itu untuk pembangunan pura," ujarnya.

Terkait penolakan, katanya itu karena panitia pembangunan tidak melibatkan tokoh agama setempat. "Yang diminta itu mereka-mereka yang SDM rendah, bukan kategori tokoh. 60 orang itu bukan tokoh," ujarnya.

Direktur Urusan Agama Hindu Kemenag, Ida Bagus Gede Subawa, menyayangkan adanya penolakan ini. Menurutnya yang perlu dilakukan sekarang adalah duduk bersama.

"Membangun kehidupan beragama di tengah kemajemukan sangat dibutuhkan toleransi, kerukunan, dan ketenteraman," katanya.

Baca juga artikel terkait RUMAH IBADAH atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino & Mufti Sholih