tirto.id - Jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang jumlahnya mencapai ribuan orang khidmat mendengar senandung pujian yang dinyanyikan kelompok paduan suara dari panggung utama di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Mereka berkumpul dalam rangka melaksanakan ibadah Paskah, Minggu (1/4) pagi.
Monas mulai didatangi banyak orang sejak pukul 04.00. Mereka duduk di kursi yang telah disediakan, yang tak kebagian santai berlesehan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun turut hadir ke lokasi. Ia mengapresiasi penyelenggaraan kebaktian. Anies juga bicara soal persatuan. Ia menegaskan Pemprov DKI memfasilitasi semua agama dalam peringatan-peringatan hari besar.
"Persatuan inilah yang menjadikan Indonesia harmoni; inilah yang menjadikan Indonesia."
Persatuan yang menjadi pembahasan Anies di Hari Paskah memang suatu yang mulia. Namun, pada kenyataannya masih ada beberapa penggal cerita yang mencoreng persatuan karena intoleransi. Di Papua misalnya, Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menolak renovasi Masjid Agung Al-Aqsha, terletak di Sentani. Penolakan itu termaktub dalam sebuah surat pernyataan, yang merinci delapan poin sikap keberatan yang mengatasnamakan PGGJ.
Ketua GP Ansor Papua dan Papua Barat, Amir Madubun, mengatakan bahwa sikap tersebut adalah dampak dari perilaku yang sama ketika sejumlah warga Muslim di luar Pulau Papua menghambat kebebasan beribadah penganut Kristen.
"Ini sebenarnya ada ketidakpuasan, ketidakadilan yang dirasakan di daerah Jawa, terkait ibadah di sana yang diusir. Ini sebenarnya implikasi. Tapi persoalan ini sudah clear dan sudah ada kesepakatan," kata Madubun, akhir Maret lalu.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Tahun 2016 (PDF) yang dihimpun Komnas HAM membuktikan bahwa ada yang salah dari praktik beragama di Indonesia. Sepanjang 2016, ada 44 kasus pembatasan, pelarangan, atau perusakan tempat ibadah. Sebanyak 50 aduan lagi tentang masalah pendirian tempat ibadah.
Pembangunan gereja menjadi yang paling banyak dipermasalahkan dengan total 40 kasus, disusul masjid dengan delapan kasus—yang empat di antaranya adalah masjid Ahmadiyah—dan dua kasus menimpa penghayat kepercayaan.
Sementara Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (PDF) yang disusun Wahid Foundation menyebutkan, sepanjang 2015 ada 53 kasus penyegelan tempat ibadah, ada 37 kasus di antaranya dilakukan aparat negara seperti Satpol PP atau polisi dan 16 lainnya oleh aktor non-negara seperti ormas lokal.
Pelarangan dan aksi-aksi sejenis kerap dilakukan kelompok tertentu dengan dalih Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006—dikenal dengan sebutan PBM. Isinya mengenai definisi rumah peribadatan dan persyaratan yang mesti dipenuhi sebelum rumah peribadatan didirikan.
Selain harus memenuhi syarat administrasi dan teknis bangunan, izin warga sekitar juga mesti dikantongi pendiri rumah ibadah. Pasal 14 ayat 2 menyebutkan, pendirian rumah ibadah harus mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang, yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.
Pendiri rumah ibadah juga harus menyertakan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Daftar tersebut harus disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayahnya.
Mereka juga mesti mendapat rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten atau kota. Setelah semua perizinan selesai, panitia pembangunan rumah ibadah masih harus mengajukan permohonan kepada bupati atau wali kota untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Peran Negara Melanggengkan Kuasa Mayoritas
Diatyka Widya, dalam Tradisi, Ekonomi-Politik, dan Toleransi Yogyakarta (PDF), diterbitkan Jurnal Sosiologi Universitas Indonesia pada 2010 menyebut aturan Peraturan Bersama Menteri memang punya andil yang cukup besar dalam maraknya aksi intoleran. Katanya, peraturan ini "melegalkan dominasi kelompok mayoritas."
Ia mencontohkan, akan sulit bagi kelompok minoritas untuk memenuhi seluruh syarat pendirian rumah ibadah, terutama Pasal 14 yang menyebut harus ada dukungan warga sekitar. Dalam kasus Yogyakarta yang jadi objek penelitiannya, ini semakin dipersulit dengan munculnya isu kristenisasi.
Apa yang disimpulkan Diatyka sama dengan pendapat tokoh politik, salah satunya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2015 lalu ketika menanggapi Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Jatinegara yang tidak punya IMB.
"Bagaimana bisa SKB dua menteri [PBM] mengalahkan UUD 1945? Prinsipnya harus dicabut ini [PBM] karena itu yang suka dipakai oleh sekelompok kecil orang yang intoleran. Bagaimana bisa rumah ibadah mendapat izin dari mayoritas?" ujarnya kala itu, dikutip dari Kompas.
Meski ada peran negara, tapi masyarakat bukan tak punya andil sama sekali dengan kondisi seperti ini. Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan intoleransi juga disebabkan karena kemajuan di beberapa sektor yang membuat masyarakat saat ini semakin bercampur, dan tidak siap untuk itu.
"Ketegangan-ketegangan tentu terjadi karena selama ini kita merasa nyaman dengan keseragaman, lalu dihadapkan pada keberagaman," katanya kepada Tirto. "Jadi kita memang dalam proses belajar sekarang."
Untuk meredakan ketegangan yang dimaksud, menurut akademisi dari Universitas Indonesia (UI) ini, harus ada dialog intensif dari masing-masing pihak dengan niat untuk memahami satu-sama lain.
"Dan juga bahkan bisa jadi memberi batasan-batasan atau kesepakatan bersama," katanya.
Sementara akademisi UI yang lain Devie Rahmawati, juga menekankan pentingnya komunikasi untuk mencairkan ketegangan yang ada. Perempuan yang kerap meneliti gejala sosial-budaya-politik dari kacamata ilmu komunikasi ini mengatakan bahwa pendekatan yang sifatnya legal-formal kurang efektif.
"Elite perlu menjadi jembatan komunikasi antar masing-masing pihak," kata Devie.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino