Menuju konten utama

PGI: Sebaiknya Perayaan Paskah Tidak Digelar di Monas

Pembukaan ruang publik untuk kegiatan keagamaan ini tampak ironis jika dibandingkan dengan banyaknya kasus penutupan rumah ibadah yang terjadi di Indonesia.

PGI: Sebaiknya Perayaan Paskah Tidak Digelar di Monas
Pagar pembatas rumput di Monas dicabut. tirto.id/ Hendra Friana

tirto.id - Perayaan Paskah 2018 di DKI Jakarta akan sedikit berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun ini sebagian umat Kristen di Jakarta merayakan hari besar keagamaan itu di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat.

Peringatan Paskah di Monas akan diselenggarakan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Glow Fellowship Centre. Jemaat gereja itu dipimpin Pendeta Gilbert Lumoindong.

Dalam poster acara yang diterima redaksi Tirto, perayaan Paskah di Monas rencananya dimulai Minggu 1/4/2018) jam 4 pagi dan diagendakan dibuka Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

“Kami butuh tempat besar karena jumlah jemaat 20 ribu orang. Kami ingin mendoakan Jakarta dan Indonesia agar bangkit dari segala bentuk keterpurukan. Kami percaya kuasa doa," kata humas acara Paskah 2018 di Monas, Ronny Rompas, kepada Tirto, Jumat kemarin (30/3/2018).

Ronny beralasan ingin mengembalikan Monas sebagai tempat untuk membawa pesan damai. Selain itu, GBI Glow Fellowship Centre ingin membiasakan jemaat supaya tak hanya merasa nyaman jika beribadah di luar ruangan.

“Gereja harus mau selalu diutus keluar untuk bersaksi dan memberitakan kabar keselamatan, pemulihan dan kelepasan... Kami ingin mengembalikan agar Monas dikenang dan diingat sebagai Monumen Nasional yang membawa pesan damai dan sukacita,” ujar Ronny.

Bukan pertama kali perayaan Paskah digelar di Monas. Pada 2015, acara serupa diadakan GBI Glow Fellowship Centre. Saat itu Sekretaris Jenderal Badan Musyawarah Antar Gereja Nasional (Bamagnas) Hence Bulu berkata perayaan Paskah di Monas akan digelar setiap tahun.

Namun, niat merayakan Paskah dan hari besar keagamaan lain di Monas pada tahun berikutnya urung digelar. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melarang kegiataan keagamaan di Monas dengan memakai Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta.

Larangan ini berlanjut saat DKI Jakarta dipimpin Djarot Saiful Hidayat pada 2017. Djarot menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional (Monas).

Izin menggelar kegiatan keagamaan di Monas baru dikeluarkan lagi setelah Anies Baswedan menjadi Gubernur Jakarta. Ia mengeluarkan Pergub Nomor 186 Tahun 2017 menggantikan beleid 160/2017.

Menyarankan Perayaan Paskah Tidak Digelar di Monas

Acara yang diinisiasi Gilbert Lumoindong sudah memiliki dasar hukum untuk merayakan Paskah di Monas. Meski begitu, kegiatan ini menuai silang pendapat. Salah satunya dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

“Karena [Monas] [dekat] pelataran Istana. Tidak baik kalau ada pengerahan massa dengan bungkus kegiatan keagamaan... PGI meminta atau memohon supaya bisa dicari tempat lain untuk pelaksanaan kegiatan," ujar Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw.

Menurut Sumampouw, PGI telah menyampaikan sikap kepada Lumoindong sebagai pemimpin GBI Glow Fellowship Centre, Meski begitu, PGI tak memiliki otoritas untuk melarang atau membatalkan rencana GBI tersebut.

Sumampouw berkata bahwa dalam hukum agama, sebenarnya tak ada aturan ihwal tempat perayaan Paskah. Hari raya itu bisa diperingati di mana pun, baik di dalam maupun di luar rumah ibadah.

“Cuma pertimbangan kami: Monas itu kami jaga, lestarikan, sebagai tempat di mana orang bisa menikmati suasana kota yang lebih sejuk dan asri," ujarnya.

Pendapat PGI senada argumen dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Pengurus KWI Romo Eko Aldianto berkata tak pernah setuju jika perayaan hari besar keagamaan dilakukan di Monas.

Menurut Romo Eko, Paskah harusnya menjadi pengalaman iman yang dirayakan di gereja atau tempat ibadah masing-masing. Pemerintah dapat mendukung perayaan Paskah dengan memberi jaminan keamanan kepada jemaat Protestan dan Katolik.

"Monas adalah ranah publik yang hendaknya dibebaskan dari 'kepentingan' tertentu. Biarkanlah umat di masing-masing wilayah merayakan bersama di komunitas, dan gereja masing-masing," ujar Eko.

Ironi Merayakan Paskah di Monas

Kembali memakai Monas untuk kegiatan keagamaan pernah diprotes oleh komunitas masyarakat yang mengatasnamakan para penggiat kebudayaan Betawi. Dalam laporan Tirto, 29 November 2017, dua pengigiat kebudayaan Betawi memprotes penggunaan Monas untuk kegiatan keagamaan seperti diatur dalam Pergub No. 186/2017 tentang perubahan Pergub No. 160/2017 tentang pengelolaan kawasan Monas yang diteken Gubernur Anies Baswedan.

Pembukaan ruang publik untuk kegiatan keagamaan ini ironis jika dibandingkan ada kasus-kasus penutupan rumah ibadah. Pada 20 Maret 2018, kasus pelarangan pendirian rumah ibadah muncul di Papua.

Kasus penutupan dan penyegelan rumah ibadah ini berpangkal dari aturan diskriminatif tentang rumah ibadah. SKB menteri agama dan menteri dalam negeri tahun 2006 (PDF) menerapkan persyaratan pembangunan rumah ibadah, serta mewajibkan pemerintah daerah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama.

Laporan Human Rights Watch tentang pelanggaran negara terhadap minoritas agama mencatat sekitar 430 gereja dipaksa ditutup sejak Januari 2005 hingga Desember 2010, termasuk kasus penutupan masjid di Kupang.

Menurut Andreas Harsono, penulis laporan tersebut, penutupan atau pelarangan rumah ibadah tak hanya terjadi antar-pemeluk agama tapi juga sesama pemeluk agama.

“Ada 1 gereja HKBP ditutup di Sorong. Ini juga antara GKI dan HKBP berantem. Yang Ahmadiyah ada 33 masjid yang ditutup, termasuk yang di Tebet, Jakarta. Dan sampai sekarang belum dibuka semua,” ujarnya.

Ibadah di Ruang Publik

Di luar perayaan Paskah di Monas, kegiatan keagamaan yang kerap diadakan di ruang publik biasanya dilakukan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia. Jemaat dari dua tempat ibadah ini merayakan Natal di depan Istana Merdeka sebagai bentuk protes. Perayaan Natal sudah lebih dari 150 kali sejak tempat ibadah mereka dilarang berdiri pada 2012.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito memandang bahwa perayaan hari besar keagamaan di ruang publik harus dipastikan bebas dari potensi konflik. Menurutnya, pelaksanaan acara keagamaan di tempat terbuka lebih besar berpotensi memunculkan konflik dibanding kegiatan serupa di tempat ibadah.

“Penting untuk jangan sampai terjebak pada konflik komodifikasi yang sensitif sekarang. Islam, Kristen, Hindu atau Buddha juga harus saling menjaga untuk tidak terjebak potensi konflik," ujar Sudjito kepada Tirto.

Pemerintah dituntut untuk bisa mengantisipasi potensi konflik jika perayaan hari besar keagamaan digelar di ruang publik. Menurut Sudjito, pemberian izin menggelar kegiatan keagamaan di ruang terbuka harus diimbangi pemberian jaminan keamanan dari negara.

"Kalau memang pemerintah sudah memberi izin tentu sudah punya ukuran-ukuran. Tapi sebaiknya perlu antisipasi jangan sampai muncul konflik," kata Ari.

============

Hak Koreksi dari Kepala Humas PGI

Judul artikel ini semula, "PGI Tolak Perayaan Paskah di Monas" (dirilis pada pukul 06:52). Judul diubah (pukul 16:50) setelah Jeirry Sumampouw mengajukan hak koreksi.

Sumampouw menyampaikan bahwa PGI keberatan dengan judul berita. PGI tak ingin berpolemik tentang perayaan Paskah di Monas.

“Tidak ada kewenangan PGI untuk menolak dan melarang perayaan Paskah itu. Kalau PGI punya sikap tentang Natal di Monas, itu lain. Kalau pun PGI punya sikap seperti itu, tidak mesti gereja itu sama sikapnya dengan PGI. Jadi, waktu itu saya bilang: enggak ada kewenangan PGI menolak dan melarang Paskah itu. Boleh-boleh saja."

"Kalau bertanya ke PGI, PGI menyarankan supaya sebaiknya di tempat lain dengan alasan yang mirip dengan alasan waktu Natal. Tapi kalau tetap mau melakukan di sana, kami tak bisa menolak.”

“Isi artikel enggak ada soal penolakan, judul agak berbeda dari isi. Di isi, tidak pernah ada kata saya menolak. Memang saya menghindari karena bisa jadi polemik baru."

Baca juga artikel terkait PERAYAAN PASKAH atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih