tirto.id - Monumen Nasional (Monas) kini bisa digunakan sebagai tempat untuk kegiatan negara, pendidikan, sosial, budaya, dan agama, setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 186 Tahun 2017 tentang perubahan Pergub No 160 tahun 2017 tentang pengelolaan kawasan Monas. Kemunculan Pergub ini mendapat tanggapan dari sejumlah pegiat kebudayaan Betawi, mereka ada yang pro dan kontra.
Yahya Andi Saputra misalnya, tokoh dan peneliti kebudayaan Betawi ini menilai kebijakan Anies kurang tepat karena Monas sebenarnya merupakan tempat rekreasi masyarakat. Yahya berpandangan Monas tak tepat dijadikan tempat untuk menghelat kegiatan yang bersifat kolosal, melainkan hanya sebagai tempat rekreasi.
“Kalau nongkrong, diskusi di pojokan, dan main sepeda itu boleh [layak],” kata Yahya kepada Tirto, Selasa (28/11/2017).
Lelaki yang akrab disapa Yahye ini mengatakan pembukaan Monas buat kegiatan kolosal bukan berarti menjadikan monumen yang didirikan mulai zaman Bung Karno ini sebagai ruang acara kolosal. Yahya balik meminta Anies mencari solusi lain.
“Ini memang jadi problem Jakarta. Makanya tugas gubernur ya nyari solusinya,” kata Yahya.
Senada dengan Yahya, Sejarawan JJ Rizal juga menyatakan Monas tak layak dijadikan tempat untuk acara kolosal. Menurut lelaki yang aktif di Komunitas Bambu ini, banyak tempat di Jakarta yang lebih layak untuk digunakan sebagai tempat menghelat acara kolosal seperti tabligh dan lainnya.
Monas seharusnya menjadi tempat merenungkan sejarah perjalanan bangsa seperti yang diniatkan Bung Karno saat membangun monumen paling tinggi di Indonesia ini.
“Bukan dengan konser, tabligh, pertunjukan,” kata Rizal.
Berbeda dengan Yahya dan Rizal, Ridwan Saidi mendukung upaya Anies menjadikan Monas sebagai tempat untuk kegiatan yang bersifat kolosal. Ridwan mengatakan sedari dulu Monas merupakan tempat warga berkumpul.
Fungsi ini sempat hilang saat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan Pergub Nomor 160 Tahun 2017. Dalam Pasal 10 poin b Pergub Nomor 160/2017 disebutkan peruntukan Monas dituliskan hanya untuk kepentingan negara.
Sementara Pasal 10 poin (b) Pergub Nomor 186 Tahun 2017 yang merevisi Pergub 160/2017, menyebutkan kawasan Monas dapat digunakan untuk acara yang bertujuan untuk kepentingan negara, pendidikan, sosial, budaya, dan agama.
Ridwan juga menampik alasan Rizal yang mengungkit sisi sejarah dan sebagai tempat untuk merenung. Ridwan bilang, zaman Bung Karno justru banyak rapat besar dan kampanye yang diselenggarakan di Monas.
“Dari dulu juga buat warga berkumpul, si Ahok aja itu ditutup-tutup,” kata Ridwan.
Ridwan mengharapkan Anies tak hanya membuka Monas, melainkan juga memberi dukungan penyelenggaraan acara kebudayaan.
Pergub yang dikeluarkan Anies tak terpisahkan dari janjinya saat masa kampanye awal 2017. Anies sempat mengkritik kebijakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat masih jadi gubernur saat itu, antar lain soal terbatasnya peruntukan kegiatan di Monas termasuk kegiatan keagamaan. Anies sempat berjanji akan menghapus larangan tersebut saat terpilih, dan utang janji itu mulai ditunaikan.
"Nanti kita akan bebaskan warga untuk menggunakan Monas untuk kegiatan keagamaan. Saya akan menjadikan Jakarta sebagai tempat untuk berpahala," janji Anies Baswedan di depan peserta Tabligh Akbar Politik Indonesia yang digelar di Masjid Al Azhar, Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2016).
Beberapa bulan setelahnya, pada acara perayaan Isra Mi'raj yang digelar Majelis Rasulullah di masjid Istiqlal, Jakarta, Anies kembali menegaskan janji tersebut.
"Kita ingin Monas kembali digunakan untuk kegiatan keagamaan," ujar Anies di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (24/4/2017).
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih