tirto.id - Rochman baru pertama kali berkunjung ke Monumen Nasional. Ia dan rombongan keluarga besarnya dari Palembang tampak bingung setiba di Monas.
“Kito jalan kaki ke sano,” kata Rochman menunjuk Monas.
Seorang dari rombongannya protes, “Jauh nian. Panas ni.”
“Itu ado kereta,” kata seorang dari rombongan Rochman.
Kereta yang disebut itu kereta keliling yang khusus mengantarkan pengunjung menuju museum Monas. Kereta itu didesain dengan tiga gerbong tanpa jendela. Pengunjung seperti Rochman bisa leluasa melihat kiri dan kanan.
Kereta melaju tanpa hambatan. Jalanan di taman Monas lenggang dan bersih. Hanya ada beberapa orang sedang lari sore; ada pula pengunjung yang berfoto ria berlatar tugu Monas.
Pemandangan seperti ini tidak akan dijumpai Rochman jika ia berkunjung ke Monas dua tahun lalu. Sampai pertengahan 2015, Monas masih sesak dengan pedagang kaki lima dan aneka kegiatan lain. Kondisi ini membuat kawasan tersebut terlihat kotor. Namun, sejak medio 2015, Unit Pengelolaan Terpadu Kawasan Monas melakukan penataan.
“Puncaknya Juni 2015, Monas sudah tidak kondusif sekali. Ada warung pecel lele di dalam. Macam-macamlah. Lalu kita tertibkan,” kata kepala seksi pelayanan UPT Monas Endrati Fariani.
Pada masa kepemimpinan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, pengelola juga membersihkan kawasan Monas dari kegiatan lain. Termasuk kegiatan keagamaan yang kerap dilakukan beberapa kelompok pengajian seperti Majelis Rasullulah, Majelis Mustofa, dan Hizbut Tahrir Indonesia. Kegiatan agama lain pun dilarang.
Hal ini dilakukan karena berkaca pada peristiwa sebelumnya. Banyak kelompok keagamaan yang menyewa Monas untuk kegiatan ibadah dan keagamaan, tetapi tidak menjaga kebersihan, membawa PKL ke kawasan Monas, dan menginjak rumput taman.
“Dalam setahun itu Majelis Rasullulah mengajukan lima kali (memakai Monas untuk pengajian). Kalau Majelis Rasullulah itu menggelar tikar di rumput, membawa PKL masuk, itu tidak boleh,” ujar Endrati memberikan salah satu contoh pelanggaran.
Janji Anies dan Suara Warga
Soal larangan Monas untuk kegiatan keagamaan menjadi bahan kampanye saat Pilkada DKI Jakarta awal tahun lalu. Anies Baswedan serta Agus Yudhoyono sama-sama bertanya: mengapa Monas tidak diperbolehkan untuk kegiatan keagamaan?
Agus saat itu pernah membandingkan aturan di Monas dengan saat bapaknya Susilo Bambang Yudhoyono masih menjadi presiden. "Kalau dulu bisa, di zaman SBY bisa, sekarang kenapa tidak? Saya juga tidak menemukan alasan mengapa tidak bisa,” kata Agus saat kampanye di Blok S, Jakarta Selatan, Februari 2017.
Anies juga memiliki pendapat serupa. Menurutnya, Monas sebagai ruang publik seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan warga, termasuk kegiatan keagamaan. Bahkan ia berjanji, jika terpilih menjadi gubernur, ia akan membuka akses Monas seperti dulu lagi.
“Kita ingin Monas bisa kembali menjadi tempat untuk kegiatan keagamaan. Jangan sampai Jakarta menjadi tempat yang asing,” kata Anies dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad di Masjid Al Ihsan, Cipete Selatan, Desember 2016. Anies dan pasangannya, Sandiaga Uno, terpilih sebagai pemenang pada akhir April lalu.
Baca juga: Anies Akan Kembali Aktifkan Monas untuk Kegiatan Keagamaan
Janji Anies ini sejalan keinginan beberapa kelompok masyarakat, meski ada pula yang keberatan.
Majelis Rasullulah, misalnya. Kelompok pengajian yang cukup sering menggelar acara akbar di Monas ini berharap akses kegiatan keagamaan bisa dibuka lagi.
Habib Muhammad bin Alwi bin Husen Alkaf, juru bicara Majelis Rasullulah, mengatakan sejak 2007, mereka sudah aktif menyewa Monas untuk kegiatan mereka, “Terakhir kegiatan kami di sana waktu gubernurnya masih Jokowi.”
Selama menggelar pengajian, ujar Habib Muhammad, mereka merasa nyaman. Kawasan Monas yang luas bisa menampung jemaah. Ia menyangkal tudingan bahwa Majelis Rasullulah tidak tertib saat bikin kegiatan di Monas.
“Kami selalu ada pasukan bank sampah, tugasnya memungut sampah setelah kegiatan selesai. Jadi tidak ada sampah, kami datang bersih, pulang juga bersih,” ujarnya.
Bagi sebagian pedagang di Monas, kegiatan keagamaan yang digelar di Monas tidak mendatangkan banyak faedah. “Mereka, kan, orang Jakarta, biasanya enggak belanja di sini. Kalau kegiatan seperti itu, mereka biasanya beli serban, peci, tasbih, dan mereka sudah ada yang jualan sendiri,” kata Dedi, seorang pedagang di kawasan Monas.
Wahyuni, penjual jus dan aneka makanan di Monas, berpendapat agak beda. Biasanya dagangannya cukup laris jika ada acara besar di Monas. Ia mencontohkan saat Aksi Bela Islam yang digelar beberapa kali di sekitar dan di dalam Monas.
“Waktu demo itu ramai, larislah. Cuma kalau sebelumnya tidak berpengaruh banyak,” ujarnya.
Baca juga: Sejarah Teriakan di Monas: Dulu Pekik "Merdeka", Kini Takbir
Kepala seksi pelayanan UPT Monas Endrati Fariani mengatakan pemanfaatan Monas untuk kegiatan keagamaan juga tidak mendatang banyak pemasukan. Berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang retribusi daerah, harga sewa lokasi di kawasan Monas dihitung berdasarkan luas pemakaian tempat. Untuk luas 1.000 meter persegi hanya dikenakan biaya Rp500 ribu/hari.
“Selama ini pemasukan utama Monas berasal dari dari museum. Karena itulah kita mengutamakannya,” kata Endrati.
Hambatan Realisasi Janji Anies
Terlepas dari polemik untung-rugi Monas dipakai lagi untuk kegiatan keagamaan, janji Anies Baswedan ini bakal terhalang sejumlah aturan. Salah satunya aturan terkait Monas sebagai kawasan objek vital nasional, sebagaimana tertulis dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2008 dan Keputusan Menteri Pariwisata tahun 2016.
Konsekuensinya, Monas harus steril dari kegiatan yang berpotensi menimbulkan gangguan. Apalagi lokasi Monas yang dekat Istana Negara dan kantor pemerintahan lain.
“Kerumunan itu ditengarai sebagai gangguan, yang berpotensi mengganggu ketertiban sehingga kerumunan itu kita kurangi. Kalau upacara bolehlah, acara kenegaraan pasti menurunkan pasukan keamanan. Kalau olahraga individu, bolehlah,” terang Endrati.
Perda DKI Jakarta tahun 2007 tentang ketertiban umum juga mengatur kegiatan keramaian di luar dan di dalam ruang. Pasal 51 menyebutkan kegiatan keramaian di luar ruang harus seizin gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Secara spesifik, Pemda DKI Jakarta juga sudah mengeluarkan aturan turunan mengenai pemakaian kawasan Monas.
Selain itu, ada SK Gubernur DKI Jakarta tahun 1993 yang menetapkan Monas sebagai kawasan cagar budaya. “Karena itu semua kegiatan di Monas harus memperkuat identitas Monas. Identitasnya yaitu nasional dan sejarah perjuangan. Kalau enggak ada kepentingan nasional, ya enggak bisa,” ujar Endrati.
Meski ada peraturan yang mungkin menghambat realisasi janjinya, tetapi Anies Baswedan sangat mungkin mudah mengatasinya. Sebab, aturan-aturan ini tidak secara spesifik melarang penggunaan kawasan Monas untuk kegiatan keagamaan. Pendeknya, dengan ketebelece “atas izin gubernur”, yakni Anies sendiri, ia bisa mengabaikan ragam peraturan tersebut.
Hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah nasib para wisatawan seperti Rochman. Jika Monas akhirnya dikembalikan seperti dua tahun lalu, bisa jadi liburan singkat yang nyaman di Monas tidak akan dialami oleh Rochman dan keluarganya yang datang jauh-jauh dari Palembang. Dan Monas bukan milik orang Jakarta semata.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam