tirto.id - Satu siang awal Oktober lalu, saya mendatangi Madrasah Ibtidaiyah Al-Furqoon di Kalibata Utara. Langit mendung. Halaman gerbang sekolah itu tergenang air hujan semalam. Terasnya sempit dan membentuk lorong. Tangga ke lantai dua kusam dan sedikit curam.
Di lantai dua ada lima ruang kelas. Satu ruang digunakan bergantian karena jumlah kelas ada enam. Ukuran ruang kelas bervariasi; ada yang besar sekitar 6 meter persegi, ada pula satu kelas kecil yang disekat, setengahnya untuk ruang guru.
Di ruang guru Yusnita tengah duduk di sofa bersama rekan guru lain. Ia menunggu bakso dari penjual yang sering mangkal di depan sekolah. Harga semangkok bakso itu Rp10 ribu. Untuk ukuran Jakarta, harga bakso itu mungkin murah. Tapi, jika dibandingkan gaji guru honorer seperti Yusnita, bisa jadi mahal.
Yusnita sudah sepuluh tahun mengajar di MI Al-Furqoon. Ia mengampu dua mata pelajaran, Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Honornya hanya Rp300 ribu/bulan.
“Jangankan setengah UMR, cuma sepersepuluh UMR,” kata Yusnita, tertawa. Upah Minum Regional DKI Jakarta tahun 2017 sebesar Rp3,3 juta.
“Saya masih ada suami, jadi ini dianggap amal saja,” ujarnya.
Guru honorer sekolah madrasah di Jakarta yang upahnya murah bukan cuma Yusnita. Dirjen Pendidikan Islam dari Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, mengatakan ada banyak guru madrasah yang belum sejahtera, khususnya madrasah swasta.
“Kalau yang negeri, itu sudah bagus, akreditasi sudah bagus, SDM sudah bagus, bahkan pendanaan juga sudah bagus. Kalau yang swasta, tantangannya ya infrastruktur dan sumber daya manusia,” kata Kamaruddin, awal Oktober lalu.
Tantangan sumber daya manusia yang dimaksud Kamaruddin bukan hanya soal kualitas guru, melainkan juga soal kesejahteraan.
Janji Anies untuk Guru Madrasah
Perihal kesejahteraan para guru madrasah ini, gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Rasyid Baswedan pernah menyinggungnya saat kampanye. Pada 31 Januari 2017 di Cipinang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ke-27 (2014-2016) ini menyatakan komitmennya untuk memperbaiki kualitas dan menyejahterakan para guru madrasah.
“Mereka membutuhkan dukungan dari pemda, karena meskipun secara administratif madrasah di bawah pembinaan Kementerian Agama, tetapi mereka adalah warga Jakarta,” kata Anies.
Baca juga: Anies Klaim Program Madrasah Didukung Nahdliyin DKI Jakarta
Sebelum menggenapi janjinya, Anies perlu mendata dan merencanakan banyak hal. Dari mendata madrasah yang rusak, gaji guru madrasah yang jauh dari upah regional, hingga mekanisme penganggaran dalam APBD DKI Jakarta.
Pada 2015, di Jakarta ada 447 madrasah ibtidaiyah (setara SD), 202 madrasah tsanawiyah (SMP), dan 69 madrasah aliyah (SMA). Sedangkan jumlah guru MI ada 1.437 orang, MTs 3.977 orang, dan MA 1.439 orang. Total semua guru sekolah agama Islam ini ada 6.853 orang.
Dari jumlah itu Kamaruddin tidak bisa memastikan berapa jumlah sekolah yang rusak atau jumlah guru yang tidak sejahtera. Namun, secara umum, ia mengatakan madrasah swasta perlu dibantu dan diperhatikan.
“Ya kalau memang mau membantu setidaknya disamakan saja seperti guru negeri lain,” ujar Kamaruddin.
Harapan guru madrasah swasta seperti Yusnita sendiri tidak muluk-muluk. Ia tidak ingin mendapatkan honor seperti guru-guru sekolah lain. “Bisa UMR atau mendekati UMR saja sudah senang, kalau memang dibantu, ya,” katanya.
Memakai asumsi jumlah total guru madrasah swasta serta UMR Jakarta Rp3,3 juta, setidaknya Pemda Jakarta harus menyiapkan dana Rp22,6 miliar/bulan atau Rp271,2 miliar/tahun dalam anggaran belanja tahunan daerah dari pos pendidikan. Jumlah ini lebih besar dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk SMP sebesar Rp218 miliar/tahun, dan lebih tinggi dari alokasi BOS untuk SMA sebesar Rp123 miliar/tahun.
Masalah Aturan
Anggota badan anggaran DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus, mengatakan kebutuhan gubernur baru Jakarta untuk merealisasikan janji ini sangat mungkin dilakukan. Sebab, total anggaran ini masih masuk akal dengan proporsi APBD DKI Jakarta. Pada 2017, misalnya, alokasi dana pendidikan DKI Jakarta sebesar Rp17 triliun dari total APBD Rp70,19 triliun.
“Anggaran pendidikan kita 21 persen dari APBD DKI Jakarta. Masih rasional. Apalagi ini untuk kepentingan warga Jakarta, kan,” kata Bestari, awal Oktober lalu.
Syaratnya, lanjut Bestari, gubernur terpilih harus melakukan komunikasi lebih dulu dengan Kementerian Agama sebab urusan madrasah adalah wewenang kementerian tersebut. Jika tidak, hal ini justru akan jadi masalah kemudian hari.
“Harus disiapkan dulu payung hukumnya. Karena tidak mungkin kita langsung anggarkan begitu saja. Sama seperti jalan nasional di Jakarta, ada banyak sekali, kita enggak mungkin anggarkan untuk itu. Bukan ranahnya DKI Jakarta,” ujar Bestari.
Saat ini Anies belum melakukan komunikasi dengan DPRD DKI Jakarta mengenai bermacam program dan janji yang diomongkan saat kampanye Pilkada lalu. DPRD DKI Jakarta pun sebaliknya, belum membuka komunikasi sampai Anies secara sah dilantik sebagai gubernur pada hari ini, 16 Oktober 2017.
“Tunggu setelah pelantikan saja,” kata Bestari.
Meski begitu, Anies tidak bisa secara langsung menggenapi janjinya sesudah mendiami Balai Kota. Paling cepat realisasi anggaran itu baru bisa dilakukan pemerintahannya pada tahun anggaran 2019. Atau, jika dipaksakan, pada APBD Perubahan 2018.
Guru honorer seperti Yusnita bisa menunggu sampai janji Anies benar-benar ditepati. Bagi Yusnita, setahun atau dua tahun adalah waktu yang sebentar dibanding sepuluh tahun pengabdiannya berharap bisa hidup sejahtera sebagai guru madrasah.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam