tirto.id - Bila Anda datang ke hotel Alexis di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Anda akan disambut resepsionis di balik meja yang melemparkan senyum profesional. Selanjutnya, Anda bisa langsung menuju lobi dengan penerangan remang dibalut interior yang serba hitam.
Dari pintu lobi, Anda bisa langsung menuju lift di belakang resepsionis, atau bisa pula belok ke kiri menuju bar. Pintu masuk bar dijaga dua petugas keamanan. Seorang bertugas mempersilakan Anda melewati pintu pemindai logam, dan seorang lagi memastikan Anda tak memakai ponsel untuk mengambil gambar, baik video atau foto. Tiap ponsel pengunjung ditempeli stiker pada bagian lensa kamera; depan maupun belakang.
Cahaya di dalam bar lebih redup dari ruangan lobi. Suara musik remix menggema, bikin orang-orang harus sedikit berteriak untuk mengobrol atau merapatkan bibir ke telinga kawan bicaranya. Tempat memesan minuman ada di seberang panggung. Di atas panggung, para penari seksi meliuk-liuk mengikuti irama musik.
“Ramai nanti agak lebih malam lagi, Bos,” kata seorang petugas keamanan.
Para penari itu, dengan pakaian serba minim dan terbuka di bagian tertentu, bergantian grup penari lain. Dalam beberapa menit kemudian para penari melepaskan pakaian dan memperagakan gerakan lebih berani, ditingkahi musik yang terus bergema. Di pinggir panggung dan di dalam ruangan, para petugas keamanan mengawasi suasana.
Bar tempat tarian striptis ini dinamai 4Play, yang bisa diartikan secara seksual. Di lantai dua, ada restoran yang terlihat mewah dan tertata rapi dan lebih formal.
Lantai 3 dan 3A hotel Alexis adalah tempat karaoke yang dinamai XiS. Ada meja resepsionis di depan lift. Tidak seperti karaoke di tempat biasa seperti Happy Puppy atau Inul Vista, sebelum memutuskan karaoke, Anda diajak lebih dulu ke lantai 3A. Di samping meja resepsionis ada ruangan yang tertutup tirai. Di dalamnya ada puluhan perempuan pemandu lagu terbalut pakaian seksi.
“Ayo duduk manis, senyum, ya,” kata salah seorang pemasaran XiS saat para tamu datang. Para pemandu lagu langsung sigap, beberapa memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu memasang senyum terbaik mereka. Ada pula yang agresif menyapa tamu sembari melambaikan tangan.
Seorang pemandu lagu tak cuma menemani pengunjung bernyanyi, tapi juga menari striptis, serta memberi pelayanan sesuai harga, menurut si pemandu menerangkan aturan main. Layanan lain adalah seks, dengan biaya tambahan.
“Kalau di sini, sekali bayar akan ditemani sampai tutup. Jadi bisa santai-santai dulu, enggak buru-buru main,” ujarnya.
Meski lebih dikenal tempat hiburan malam dengan konsep one stop entertainment, tetapi Alexis adalah hotel. Dan layaknya hotel, Alexis memiliki kamar untuk para tamu menginap, dengan 74 kamar di lantai 5 dan 6.
Di lantai 7 atau lantai paling atas ada Bathhouse Gentlemen Spa. Lantai inilah yang disebut-sebut Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama sebagai "surga." Omongan Ahok ini adalah salah satu yang bikin ramai saat kampanye dan debat Pilkada DKI Jakarta.
Anies Rasyid Baswedan saat debat calon gubernur di Hotel Bidakara, 31 Januari lalu, sempat menyindir Ahok soal Alexis. “Untuk urusan penggusuran, kita tegas. Kalau soal prostitusi, Alexis, kita lemah,” kata Anies.
Tak hanya menyindir, Anies berjanji akan menutup Alexis jika terpilih.
"Ya, komitmen kita melaksanakan perda. Jadi semua pelanggaran akan kita tindak dan perda itulah yang akan menjadi pegangan," ujar Anies.
Ahok pun menantang Anies merealisasikan janji tersebut.
Baca juga:
Namun, apa saja yang ada di lantai 7 hotel Alexis sampai harus dijadikan adu janji para politisi itu?
Agaknya Ahok berlebihan menyebut lantai tujuh adalah surga. Sebab di sana tak ubahnya sebuah pemandian. Ada tiga kolam kecil: dua kolam air hangat dan satu kolam air dingin. Di dekat kolam ada ruang sauna dan spa. Di sekitar kolam ada bale-bale terbuka dan kursi malas untuk para tamu bersantai.
Bagian yang membuat ini semua spesial adalah layanan para terapis perempuan. Di kolam, para tamu bisa bermesraan dengan para terapis. Ada pula yang hanya memijat tamu sambil berbincang-bincang.
Di sisi lain ruang kolam, ada lounge dan bar kecil. Musiknya lebih rileks, berbeda dari bar di 4play yang lebih bising. Ada lima blok di lounge itu, masing-masing diisi para terapis asal Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Tiongkok, serta yang lebih khusus adalah terapis dari Uzbekistan dan Rusia.
Salah seorang pemasaran Bathhouse menjelaskan tugas para terapis adalah menemani, memijat, dan memberi layanan seks kepada tamu selama 90 menit. Harganya variatif, dari yang termurah terapis asal Indonesia dan termahal dari Uzbekistan dan Rusia.
“Aturannya 90 menit, 30 menit ke kolam, 60 menit bisa langsung eksekusi di kamar,” katanya.
Siapa Pemilik Alexis?
Bisnis hotel Alexis disebut-sebut milik seorang pengusaha bernama Alex Tirta. Alex merupakan ketua Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia DKI Jakarta. Dalam satu wawancara dengan liputan6.com pada Februari 2016, Alex menolak berkomentar terkait tudingan ada praktik prostitusi di Alexis.
Berdasarkan data Pemda DKI Jakarta yang dirilis 2014, hotel Alexis adalah lini usaha PT Grand Ancol Hotel, dengan penanggungjawabnya bernama Djoko Sardjono.
Dalam dokumen PT Grand Ancol Hotel, nama direkturnya bernama Andris Tanjaya, dengan komisaris bernama Sudarto. Hotel ini merupakan perusahaan modal asing dengan total saham Rp33,2 miliar. Saham tersebut dimiliki dua perusahaan, Gold Square Enterprises Limited dan Sension Overseas Limited, masing-masing memegang Rp16,6 miliar. Sementara direktur dan komisaris tidak punya saham di sana.
Dua perusahaan pemilik saham di PT Grand Ancol hotel itu perusahaan cangkang yang beralamat di tempat yang sama, yakni Palm Grove House PO BOX 438, Road Town Tortola, British Virgin Islands. Berdasarkan data Offshore Leaks Database yang dihimpun International Consortium of Investigative Journalist, alamat ini memang menjadi alamat 38 perusahaan cangkang, tetapi dua perusahaan ini tidak terdaftar di alamat tersebut.
Selain kejanggalan tentang kepemilikan saham, ada juga kejanggalan mengenai direktur PT Grand Ancol Hotel, Andris Tanjaya. Dalam dokumen perusahaan, Andris tercatat bertempat tinggal di Jalan Kelapa Hibrida Raya PE 10/26, Jakarta Utara. Dari penelusuran reporter Tirto, alamat ini adalah alamat dari Edelweiss Health Message dan Spa, sebuah usaha yang tidak jauh berbeda dengan Alexis.
Baca juga: Bagaimana Membaca Laporan Berkas Panama?
Mencari Alasan Menutup Alexis
Menutup Alexis tidak semudah Anies mengucap janji. Janji ibarat kata adalah utang yang harus dibayar. Utang itulah yang juga ditagih oleh Gerakan Relawan Jakarta Utara yang mendesak Anies menutup Alexis setelah dilantik. Dalam pesan yang disebarkan, gerakan itu menuding ada praktik prostitusi di Alexis.
Rencananya gerakan ini akan melakukan aksi di Balai Kota pada Senin, 16 Oktober 2017, tepat di hari pelantikan Anies Baswedan-Sanidaga Uno. Sayangnya koordinator gerakan tersebut, Alfian Nur Fitroh, tidak menjawab saat dihubungi reporter Tirto soal rencana aksi ini.
Sementara Alex Tirta saat dihubungi reporter Tirto menolak berkomentar soal desakan menutup Alexis. “Waduh saya lagi sibuk, saya lagi ada acara di Yogya. Ini saya lagi rapat juga, mohon maaf,” kata Alex, kemarin.
Pemda DKI Jakarta selama ini nyaris tidak punya alasan untuk menutup tempat hiburan malam. Tidak cuma Alexis, beberapa tempat hiburan malam lain, yang ditengarai melakukan penyimpangan izin, sulit untuk ditutup lantaran minim bukti.
Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Tinia Budiati, mengatakan pernah bertandang ke Alexis. Namun, ia tidak menemukan seperti apa yang dibicarakan orang-orang tentang praktik prostitusi dan kegiatan "asusila" di sana.
“Kalau kita datang untuk pengawasan, mereka akan terbuka, ‘Ya silakan saja, lihat saja.’ Kalau kita mau menutup itu, kan, harus ada bukti. Ya itu tidak mungkin, dia tahu nih kita mau pengawasan, ya mana mungkin ada,” kata Tinia kepada Tirto, awal Oktober lalu.
Baca juga: "Kalau Mau Menutup Alexis, Haru Ada Bukti Pelanggaran"
Paling tidak untuk menutup Alexis, Anies harus membuktikan memang ada pelanggaran terhadap peraturan daerah, yakni perda tahun 2007 tentang ketertiban umum dan perda tahun 2015 tentang kepariwisataan.
Kalau pun terbukti, pemerintahan Anies tidak serta merta bisa menutup Alexis. Berdasarkan perda itu, pemerintah harus memberikan teguran terlebih dulu. Jika teguran pertama diabaikan, birokrasinya harus menunggu ada pelanggaran serupa dan membuktikannya lagi, sehingga baru bisa menutupnya dengan mencabut izin usaha.
Penutupan ini juga harus mempertimbangkan aspek lain. Salah satunya pertimbangan nasib orang-orang yang bekerja di sana. Jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan pengamatan reporter Tirto, petugas keamanan di Alexis saja minimal ada 50 orang. Ini belum menghitung pegawai lain, dari petugas kebersihan, pramuniaga, penari, hingga terapis.
Pertimbangan lain adalah pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Tren PAD di Jakarta dari sektor ini sejak 2012 hingga 2016 terus meningkat. Masing-masing Rp2,6 triliun pada 2012, Rp3,1 triliun (2013), Rp3,7 triliun (2014), Rp4,3 triliun (2015), Rp4,7 triliun (2016), dan Rp2,02 triliun (Januari-Mei 2017).
Baca juga: Anies-Sandiaga akan Menepati Janji Menutup Alexis
Pertanyaannya: Apakah Anies berani melunasi janjinya dengan mengabaikan pendapatan asli daerah dan bersiap puluhan hingga ratusan warga kehilangan pekerjaan?
Dalam wawancara dengan Tirto tentang janji-janji Anies, Sudirman Said, ketua tim sinkronisasi pasangan terpilih, menjawabnya datar saja.
“Hal-hal di atas semuanya memerlukan persiapan. Dari mulai landasan hukum, anggaran, personalia pelaksana, sampai pada kelembagaan. Sosialisasi juga tidak kalah penting. Jadi satu per satu apa yang sudah dijanjikan akan ditunaikan, dengan tahapan yang baik. Sesuai dengan asas good governance,” kata Sudirman.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam