Menuju konten utama

Di Balik Polemik Penolakan Menara Masjid di Papua

Penolakan musala dan masjid di Jayapura adalah dampak dari sikap sejumlah masyarakat muslim di luar Papua yang berlaku serupa terhadap umat Kristen.

Ilustrasi TOA masjid. FOTO/Antara

tirto.id - Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menolak renovasi Masjid Agung Al-Aqsha di Sentani, Papua. Di antara alasannya, menara masjid itu lebih tinggi dari gereja di sekitar lokasi di Jalan Raya Abepura.

Penolakan itu termuat dalam sebuah surat pernyataan, yang merinci 8 poin sikap keberatan yang mengatasnamakan PGGJ.

Selain soal menara masjid, tujuh poin lain: toa harus diarahkan ke masjid; membatasi dakwah Islam di Jayapura; melarang anak sekolah memakai seragam "bernuansa agama tertentu"; melarang "ruang khusus seperti musala" pada fasilitas umum; melarang pembangunan masjid dan musala di area perumahan KPR BTN; pembangunan rumah ibadah wajib mendapatkan rekomendasi bersama PGGJ, pemerintah daerah, dan pemilik hak ulayat sesuai peraturan pemerintah; serta mendesak pemerintah provinsi dan DPR Jayapura menyusun Raperda tentang "kerukunan umat beragama" di Jayapura.

Surat pernyataan tersebut diakui oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Papua Saiful Islam Al Payage. Saat dihubungi Tirto, Payage mengatakan surat ini "hanyalah sikap sejumlah pihak", bukan sikap umat Kristen secara keseluruhan.

“Memang ada surat itu dari PGGJ, tapi umat Islam menolak 8 poin itu,” kata Payage, Senin kemarin (19/3/2018).

Meski demikian, kata Payage, "umat Islam di Papua" tak bersikap antipati atas surat tersebut, melainkan "mencoba berkomunikasi dengan sejumlah organisasi masyarakat dan tokoh masyarakat setempat termasuk dengan PGGJ."

Kepala Humas Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampouw mengatakan "sedang mencari tahu duduk masalah" dari munculnya surat pernyataan tersebut.

Sumampouw berkata bahwa PGI sedang berkomunikasi dengan GP Ansor, MUI, dan pimpinan gereja di Jayapura soal masalah tersebut. Menurut dia, PGI tak punya pretensi untuk menyelesaikan kasus ini dan hanya bisa mendorong komunikasi antarpemeluk agama.

“Kami enggak mau persoalan Papua dicarikan solusi dengan cara pandang Jakarta,” kata Sumampouw.

Jayapura, salah satu wilayah perkotaan dan kabupetan di Papua, termasuk yang paling banyak didatangi oleh para migran ekonomi di luar Papua. Menurut sensus penduduk tahun 2010, Kota Jayapura ditempati 65 persen orang di luar Papua sementara Kabupaten Jayapura ditempati 39 persen warga non-Papua.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Papua tahun 2017, pemeluk Kristen Protestan maupun Katolik berjumlah 85 persen. Sementara umat Islam berjumlah 15,12 persen dari total penduduk. Di Kabupaten Jayapura, umat Kristen berjumlah 59 persen dari total penduduk, baik Protestan maupun Katolik. Sementara umat Islam mencapai 41 persen.

Diskriminasi Kebebasan Beribadah di Luar Papua

Ketua GP Ansor Papua dan Papua Barat Amir Madubun menjelaskan bahwa duduk perkara dari masalah ini adalah penolakan rumah ibadah seperti musala di sejumlah institusi pemerintah oleh sejumlah warga Kristen di Jayapura. Penolakan ini bergulir dan memuncak menjadi penolakan pendirian menara masjid yang lebih tinggi dari gereja, serta sikap diskriminatif lain seperti melarang siswi memakai hijab di sekolah.

“Tapi persoalan ini sudah clear dan sudah ada kesepakatan,” kata Madubun.

Menurut Madubun, sikap penolakan terhadap musala dan masjid di Papua adalah dampak dari sikap yang sama ketika sejumlah warga muslim di luar Papua menghambat kebebasan beribadah penganut Kristen.

“Ini sebenarnya ada ketidakpuasan, ketidakadilan yang dirasakan di daerah Jawa, terkait ibadah di sana yang diusir. Ini sebenarnya implikasi,” kata Madubun.

Saiful Islam Payage dari MUI Papua mengatakan bahwa diskriminasi terhadap umat Kristen di luar Papua menjadi salah satu faktor pendorong intoleransi di Papua.

“Contohnya di Bogor, susah bangun gereja. Di Papua kok mudah. Ada kecemburuan dan iri [di situ],” ujar Payage.

Isu "Mayoritas-Minoritas" Agama

Jeirry Sumampouw dari PGI mengatakan bahwa sikap intoleran di Jayapura merupakan kecenderungan masyarakat menonjolkan mayoritas dan minoritas agama dalam perkara menyelesaikan kebebasan beribadah di Indonesia.

“Ada kecenderungan masyarakat mayoritas [dalam perkara agama] di hampir semua tempat cenderung sama,” kata Sumampouw.

Ia menilai masalah ini menjadi "tantangan dan pekerjaan rumah untuk semua agama." Setiap agama, kata Sumampouw, harus melibatkan kejujuran untuk mampu mendialogkan, termasuk mengevaluasi, tindakan-tindakan keagamaan yang "berpotensi memicu persoalan."

“Apa yang terjadi di Papua bisa berpengaruh ke umat Islam yang mayoritas [di Indonesia] dan menimbulkan ketidaksukaan terhadap kelompok Kristen, dan bisa sewaktu-waktu bisa menjelma tindakan kekerasan atau pelarangan,” kata Sumampouw.

Dampak terhadap umat Kristen di luar Papua inilah yang menjadi pikiran Saiful Islam Payage dari MUI Papua. Ia mengatakan bahwa MUI sudah berdialog dengan seluruh unsur masyarakat lewat Forum Kerukunan Umat Beragama.

Dialog yang dilaksanakan pada Senin malam waktu Papua itu menghasilkan keputusan bahwa MUI tetap melanjutkan renovasi dan menolak 8 poin yang diajukan Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ). Keputusan ini disampaikan kepada PGGJ.

“Mereka [PGGJ] masih harus bikin tim lagi, tapi mungkin dalam tim itu kami tetap akan berpegang teguh [membangun masjid]. Kami juga sudah bikin komitmen bahwa 8 poin tidak akan kami terima, itu imposible,” ucap Payage.

Sikap MUI yang tetap melanjutkan renovasi, kata Payage, bukan lantaran MUI bersikap intoleran. Ia bilang keputusan ini diambil lantaran Masjid Agung Al-Aqsha bukan masjid baru di wilayah Jayapura.

“Kondisinya aman dan baik-baik saja,” kata Payage menegaskan situasi kebebasan beragama di Papua, meski ada perbedaan pendapat soal renovasi masjid.

Akar Masalah Ada dalam Peraturan Bersama Menteri

Andreas Harsono, peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch, yang menulis mengenai pelanggaran negara terhadap minoritas agama di Indonesia, menjelaskan bahwa akar masalah dari penolakan pendirian rumah ibadah, dan masalah keagamaan termasuk di Jayapura, mulai muncul sejak 2006 setelah pemerintah memperkenalkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pembangunan Rumah Ibadah.

Peraturan ini memberi kewenangan kepada forum untuk memberi izin pendirian rumah ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan agama. “Mereka yang memberikan persetujuan ke wali kota, bupati, atau gubernur,” kata Andreas.

Andreas menyoroti dampak dari aturan ini yang membuat banyak rumah ibadah tak bisa dibangun atau rumah ibadah yang sudah dibangun harus ditutup.

Dalam catatan Human Rights Watch, sekitar 430 gereja ditutup di Indonesia sejak Januari 2005 hingga Desember 2010. Kasus ini ditambah dengan penutupan masjid di sejumlah tempat seperti di Batuplat, Kupang.

Menurut Andreas, penutupan atau pelarangan rumah ibadah tak hanya terjadi antarpemeluk agama tapi juga sesama pemeluk agama.

“Ada 1 gereja HKBP ditutup di Sorong. Ini juga antara GKI dan HKBP berantem. Yang Ahmadiyah ada 33 masjid yang ditutup, termasuk yang di Tebet, Jakarta. Dan sampai sekarang belum dibuka semua,” ujar Andreas.

Kasus-kasus pelarangan rumah ibadah dan secara umum diskriminasi serta persekusi terhadap pemeluk agama, menurut Andreas, karena ada pergeseran prinsip dari "kebebasan beragama" menjadi "kerukunan beragama." Andreas menjelaskan bahwa "prinsip kebebasan beragama" menegaskan ada kesetaraan di antara setiap pemeluk agama; sebaliknya, "prinsip kerukunan beragama" menegaskan ada aturan mayoritas-minoritas.

Itu salah satu aturan yang membuat Indonesia menjadi negara gagal,” ujar Andreas.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM PAPUA atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mufti Sholih
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Fahri Salam