tirto.id - Formulasi pasal tindak pidana terhadap agama di dalam Rancanangan KUHP berpotensi dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan tindak persekusi. Hal ini pada akhirnya yang akan mengakibatkan rusaknya keharmonisan masyarakat.
"Niatnya baik meminimalisir ketegangan yg ada, perusakan tempat ibadah, protes, penyerangan, penghinaan, tapi formulasi yg ada justru membuka ruang yang besar untuk digunakan atas nama identitas kelompok tadi," kata Koordinator Gerakan Gusdurian Alissa Wahid dalam acara diskusi di LBH Jakarta, Senin (19/03/2018).
Rancangan KUHP pasal 348 hingga pasal 350 memuat ketentuan mengenai Tindak Pidana terhadap Agama. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana terhadap Agama antara lain, melakukan penghinaan agama, menyebarluaskan penghinaan agama melalui media tulisan, gambar, rekaman, dan melalui sarana teknologi informasi.
Kemudian, diatur juga soal menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia, dan melakukan tindak pidana yang sama dengan penghinaan agama belum lewat 2 tahun dari pemidanaan pertama.
Menurut Alissa, pasal-pasal tindak pidana terhadap agama ini justru memberi legitimasi hukum atas tindakan-tindakan persekusi terhadap orang atau kelompok yang dirasa telah menghina suatu agama.
Pasalnya, masyarakat Indonesia cenderung mementingkan nilai-nilai agama dan kelompok. Hal ini mengakibatkan masyarakat Indonesia cenderung sensitif terhadap permasalahan-permasalahan agama.
"Jadi identitas kelompok dan agama itu sangat penting bagi masyarakat Indonesia. justru karena itu pasal-pasal penghinaaan terhadap agama dan tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah harus lebih hati-hati diformulasikan," kata Alissa.
Selain itu, Alissa pun menilai pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan saling curiga antar umat beragama di Indonesia.
"Ada kuliah-kuliah perbadingan agama, tapi kalau nanti ketemu dengan sikap menganggap agama sebagai sesuatu yang sangat berpengaruh dalam kehidupan sehingga kita mudah tersulut maka kuliah perbandingan agama bisa dilabeli penghinaan agama," terang Alissa.
Dalam diskusi juga dicontohkan tentang kasus Dr Rosnida Sari tahun 2015 lalu. Dosen Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh yang mendapat kecaman dan intimidasi akibat mengajak mahasiswanya berdiskusi di gereja. Padahal maksud Rosnida adalah untuk menimbulkan rasa saling paham dan toleransi antar umat beragama.
Sementara itu, di kesempatan yang sama Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mempertanyakan pengaturan mengenai pasal "Menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia"
"Kalau kita baca sepintas lalu maka ini pasal yang seolah-olah bagus tapi pertanyaannya, apa agama yang sah di Indonesia?" tanya Asfinawati.
Menurut Asfinawati, selama ini masyarakat selalu merujuk pada UU Administrasi Kependudukan soal agama-agama resmi di Indonesia.
"Dalam UU Administrasi Kependudukan memang disebut, tapi dia [UU Adminduk] katakan dari mana kita tahu [soal agama yang sah]? Lihat perundang-undangan yang lain. Salah satunya Undang Undang no.1/PNPS/1965," kata Asfinawati.
Namun, Asfinawati mengatakan UU no.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama itu tidak mengatur soal pengakuan suatu agama di Indonesia.
"Jadi ketika Pasal ini menyebut soal agama yang sah, ini akan jadi problematik karena tidak ada dasar hukumnya," kata Asfinawati.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Yantina Debora