Menuju konten utama

Dubes Kosong, Diplomasi RI Tersendat di Tengah Konflik Global

Posisi Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat, Jerman dan Perwakilan Tetap di PBB telah kosong dalam beberapa waktu terakhir.

Dubes Kosong, Diplomasi RI Tersendat di Tengah Konflik Global
Sejumlah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia diambil sumpah saat dilantik di Istana Merdeka di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/3/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz

tirto.id - Kosongnya posisi Duta Besar Republik Indonesia (RI) di sejumlah negara menjadi sorotan. Melalui unggahan di akun X pribadinya, mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal, menyoroti kekosongan posisi Dubes RI di beberapa negara penting. Mulai dari Amerika Serikat (AS), Jerman, serta perwakilan tetap Indonesia di lembaga multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), baik di New York maupun Jenewa.

Dino, yang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk AS, menegaskan bahwa kehadiran perwakilan tertinggi di negara- negara tersebut sangat krusial. Apalagi di tengah situasi global yang saat ini diwarnai oleh ketegangan geopolitik serta ancaman krisis. Ia menyatakan bahwa tanpa pengisian posisi-posisi tersebut, Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menjalankan diplomasi secara efektif di garis terdepan.

Terkait kosongnya Duta Besar Indonesia di AS, sempat mendapat perhatian khusus saat Presiden AS, Donald Trump, menerapkan tarif resiprokal, April 2025 lalu. Sudah hampir genap dua tahun posisi itu kosong.

Jabatan ini terakhir diemban oleh Rosan Roeslani yang saat ini menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi, sekaligus juga Kepala Badan Pelaksana BPI Danantara. Rosan mengakhiri masa tugasnya di Washington DC pada 17 Juli 2023, saat ia ditunjuk mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.

Dengan kekosongan ini tugas perwakilan pemerintah Indonesia di Washington DC –Ibu Kota AS, sementara diemban oleh chargé d’affaires atau kuasa usaha ad interim (KUAI). Saat ini diplomat karier Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Ida Bagus Made Bimantara, yang mengemban tugas tersebut.

Situasi serupa terjadi di Berlin. Posisi Duta Besar RI untuk Jerman juga belum terisi sejak Oktober 2024. Arif Havas Oegroseno, nama terakhir yang menduduki jabatan itu, ditarik ke dalam kabinet Prabowo-Gibran dan dilantik menjadi Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu).

Sementara itu, dua perwakilan tetap Indonesia untuk PBB di New York dan Jenewa juga mengalami kekosongan. Kursi Wakil Tetap RI untuk PBB di New York ditinggalkan oleh Arrmanatha Nasir. Sama seperti Havas, dia juga diangkat sebagai Wamenlu oleh Presiden Prabowo.

Sedangkan, posisi Duta Besar merangkap Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional di Jenewa, kosong sejak kepergian Febrian A. Ruddyard. Dia mengemban jabatan sebagai Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dalam Kabinet Merah Putih periode 2024-2029.

Selain dua negara dan dua lembaga multilateral PBB, Duta Besar RI untuk sejumlah negara seperti Azerbaijan, Korea Utara, Libya dan Afghanistan dan Meksiko juga masih lowong hingga saat ini.

Tanpa Dubes Efektivitas Diplomasi Indonesia Terhambat

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Ignasius Loyola Adhi Bhaskara, menilai kekosongan duta besar di sejumlah negara strategis berpotensi menghambat efektivitas diplomasi Indonesia. Padahal, dalam situasi global yang penuh ketegangan dan konflik seperti saat ini, respons cepat dalam manuver diplomatik menjadi sangat krusial.

“Terlebih beberapa jabatan kosong merupakan pos-pos yang bisa dibilang cukup krusial, karena berkaitan dengan sejumlah negara powerhouse,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (25/6/2025).

Aska –panggilan Adhi Bhaskara, menekankan kekosongan posisi tersebut berpotensi menghambat jalannya komunikasi dan negosiasi di tingkat tinggi, terutama dalam hubungan bilateral yang memerlukan interaksi langsung antarelite diplomatik. Dalam konteks forum internasional, kekosongan perwakilan tetap bisa melemahkan posisi tawar dan pengaruh Indonesia.

“Peran charge d'affaires ad interim atau KUAI jelas berbeda dengan duta besar. KUAI sifatnya sementara. Kewenangan dan aksesnya juga terbatas, karena mereka tidak berkuasa penuh, tidak dapat mandat dari negara,” tutur Aska.

Dia mencontohkan, KUAI tidak bisa membuat keputusan strategis atau perjanjian penting tanpa instruksi langsung dari pemerintah pusat. Oleh karena keterbatasan itu, Aska mengatakan peran KUAI tidak bisa menggantikan posisi duta besar.

Presiden lantik 31 duta besar

Presiden Prabowo Subianto (kanan) didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kedua kanan) memberi selamat kapada sejumlah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) usai dilantik di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/3/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz

Senada, praktisi dan pengajar hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, menilai kekosongan posisi duta besar dapat berdampak terhadap efektivitas diplomasi Indonesia. Salah satu dampak utamanya adalah terhambatnya akses Indonesia terhadap informasi-informasi strategis dan terkini.

“Kemudian fungsi negosiasi jelas akan terbatas. Jauh lebih terbatas gara-gara informasinya sendiri itu hanya bergantung dari informasi-informasi yang resmi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (25/6/2025).

Perempuan yang juga Pendiri Synergy Policies itu menambahkan, duta besar memiliki peringkat diplomatik yang memungkinkan mereka menjalin akses lebih dalam ke sistem pemerintahan atau organisasi internasional, tempat mereka ditempatkan. Demikian juga dalam konteks keanggotaan Indonesia di PBB, keberadaan wakil tetap memungkinkan Indonesia untuk memantau langsung perkembangan isu global yang tengah berkembang.

“Dan itu nggak mungkin dilakukan oleh level diplomatik yang lebih rendah, misalnya charge d'affaires sekalipun atau PLT. Jadi fungsi informasi itu fungsi yang sangat penting untuk membuat kita bisa menerapkan langkah juga mengantisipasi strategi dari negara lain supaya kita nggak ketinggalan itu,” jelasnya.

Gedung kedubes Indonesia

Gedung kedubes Indonesia di Amerika. wikimedia/Josh Carolina

Risiko dan Konsekuensi Kekosongan Pos Dubes

Dosen hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Edwin Martua Bangun Tambunan, menilai kekosongan posisi dubes dapat menimbulkan anggapan negatif dari negara penerima. AS dan Jerman misalnya, bisa menganggap Indonesia tidak serius memelihara hubungan diplomatik.

Dalam konteks organisasi multilateral, kosongnya posisi Dubes akan mengurangi kelincahan dan koordinasi untuk memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. Juga menyebabkan Indonesia lamban merespons terhadap berbagai isu strategis global, dan tidak maksimal memanfaatkan kesempatan maupun keuntungan yang tersedia,” ujar Edwin saat dihubungi Tirto, Rabu (25/6/2025).

Sementara, Dinna dari Synergy Policies, mengungkap tanpa kehadiran duta besar, politik luar negeri Indonesia berjalan secara autopilot. Artinya, pendekatan yang digunakan hanya mengandalkan pola atau template dari pengalaman dan pemahaman staff Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Tanpa kehadiran duta besar, negara juga tidak bisa melihat keterkaitan, pola-pola antar kejadian, dan konsekuensinya. Hal-hal tersebut esensial untuk membangun strategi diplomasi jangka panjang.

Oleh karena itu, Dinna menyayangkan jika posisi duta besar justru diisi semata-mata karena alasan politis atau sebagai proyek ucapan terima kasih kepada pihak tertentu.

“Kalau orang yang nggak terbiasa masuk di lingkaran diplomasi, hubungan internasional, nggak akan optimal dalam menjalankan perannya. Risikonya tentu harus ditanggung oleh kita (masyarakat). APBN jalan terus untuk membayar mereka, tetapi mereka tidak optimal dalam melaksanakan tugasnya,” tutup Dinna.

Pemerintah Mengaku Tak Abai Terhadap Kekosongan Posisi Dubes

Edwin dari UPH menilai keterlambatan penunjukan duta besar di sejumlah negara strategis, bukan cuma masalah Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Ia mengingatkan bahwa dubes diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR.

“Kalaupun strategi sudah dirumuskan, saat ini persoalan yang baru timbul. Karena dubes yang akan ditempatkan, tentu harus memiliki latar belakang keahlian yang sesuai sekaligus ‘orangnya’ pemerintah. Proses-proses ini saya duga yang memacetkan penempatan dubes baru,” katanya.

Dari sisi pemerintah, Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg), Juri Ardiantoro, menegaskan Presiden Prabowo Subianto tidak mengabaikan posisi Dubes RI yang kosong di sejumlah negara.

“Semua masukan dan informasi dari masyarakat, dari tokoh-tokoh, mengenai isu-isu penting –termasuk pengisian dubes, ya tentu tidak luput dari perhatian presiden," ucapnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2025).

Menlu RI Temui Menlu AS

Pertemuan Menlu RI, Sugiono dengan Menlu AS, Marco Rubio di Washington DC, Rabu (17/4/2025).(FOTO/kemlu.go.id)

Diberitakan sebelumnya, Mensesneg, Prasetyo Hadi, menjelaskan Presiden Prabowo Subianto sedang membahas sosok calon Dubes RI untuk AS. Meski dia tidak merinci kapan penunjukkan pengisi posisi tersebut.

“Mohon ditunggu, insyaallah secepatnya," ucapnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (23/5/2025).

Prasetyo menyatakan pembahasan nama Dubes RI untuk AS, Prabowo lakukan bersama kementerian dan lembaga terkait. Hingga saat ini, sudah ada empat sampai lima nama yang disebut tengah dipertimbangkan menjadi Dubes RI untuk AS.

Penunjukan Dubes Dipengaruhi Faktor Politis?

Musfi Romdoni, Analis Sosio Politik dari Helios Strategic Institute, menyoroti praktik penunjukan duta besar di Indonesia yang dominan pertimbangan politik ketimbang profesionalisme. Penempatan posisi dubes sering kali menjadi bagian dari transaksi kekuasaan, baik dalam bentuk pembagian kursi politik, maupun strategi untuk “menggeser” tokoh tertentu dari panggung politik nasional.

“Misalnya pada kasus mantan Jubir Presiden, Fadjroel Rachman, yang digeser menjadi Dubes (Indonesia untuk) Kazakhstan. Banyak yang mengatakan itu cara untuk menggeser posisi Fadjroel dari jubir presiden. Terlebih lagi Kazakhstan bukan negara kelas ‘A’, seperti AS, Inggris, atau Jepang,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (25/6/2025).

Meski begitu, Musfi mengakui dalam penunjukan dubes untuk negara-negara strategis –yang ia sebut sebagai “negara kelas A”, faktor kompetensi dan jaringan menjadi penting. Misalnya untuk Dubes Indonesia di Jepang, umumnya akan ditunjuk sosok yang memiliki jaringan bisnis di Jepang.

Dalam kasus kekosongan posisi Dubes RI untuk AS, Musfi menilai persoalan ini lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik dalam negeri. Menurutnya, posisi tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang. Butuh sosok dengan pengaruh politik dan pengaruh ekonomi yang kuat.

Tapi yang jadi masalah, sosok-sosok seperti itu sudah menempati kursi-kursi penting. Misalnya di kementerian atau di Danantara. Jadinya, mereka yang nantinya ditunjuk sebagai Dubes AS justru akan merasa turun kelas, hingga merasa sedang dipinggirkan dari percaturan politik nasional,” kata Musfi.

“Sebelumnya kan ada isu Airlangga Hartarto akan jadi dubes AS. Isu itu diikuti oleh isu reshuffle yang disebut akan mendepak Airlangga,” sambung dia.

Musfi menilai kekosongan posisi Dubes RI untuk AS menjadi suatu ironi. Sebab, Presiden Prabowo seharusnya sangat memahami betapa pentingnya penunjukan dubes di AS. Apalagi saat ini terjadi perang tarif serta perang Iran-Israel, yang kemungkinan besar akan melibatkan AS.

“Secara tidak langsung, kosongnya kursi Dubes AS sepertinya jadi alasan kenapa Indonesia gagal melakukan lobi tarif di AS. Trump mungkin berpikir Indonesia tidak serius dengan AS, karena posisi dubes saja dibiarkan kosong. Jika ini benar, ini kan menunjukkan kalau citra Indonesia di pemerintahan AS tidak begitu baik,” katanya.

Baca juga artikel terkait DUTA BESAR RI atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto