tirto.id - Pertemuan dengan komisi C DPRD DKI Jakarta pada akhir Januari lalu bikin raut muka Agustino Darmawan muram. Soalnya, rencana pembangunan rusun sebagai program DP 0 rupiah di kawasan PIK Pulogadung, Jakarta Timur, oleh instansi yang dipimpinnya, Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI Jakarta, dianggap melanggar aturan.
Para anggota dewan yang hadir dalam rapat tak sepakat jika rusun dibangun di atas tanah milik Pemprov dan menggunakan dana APBD. Sebab, hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari lantaran aset yang dimiliki pemprov tidak boleh diperjualbelikan.
Jual beli aset, kata Ruslan Amsyari, anggota fraksi Hanura yang hadir dalam pertemuan itu, hanya dibolehkan asalkan ada beberapa syarat dan pengecualian. Di antaranya diatur PP 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, serta Permendagri 19/2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
"Kita tahu ada pelanggaran hukum, kok Bapak tabrak juga, karena lahan DP 0 rupiah ini aset pemda. Tidak boleh diperjualbelikan, kecuali ada pelepasan aset," ujar Amsyari kepada Agustino.
Pendapat serupa disampaikan Cinta Mega, anggota fraksi PDI Perjuangan. Menurutnya, konsumen rusun DP 0 rupiah bakal merasa "dirugikan" jika pembangunan rusun di atas lahan milik pemprov. Sebab mereka hanya akan memperoleh sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKGB) yang tidak bisa boleh diperjualbelikan.
Mega mengutip penjelasan pasal 44 (1) UU 20/2011 tentang rumah susun. Beleid ini mengatur bahwa pindah tangan SKGB hanya bisa dilakukan dengan cara pewarisan, perikatan kepemilikan rusun setelah jangka waktu 20 tahun, atau pindah tempat tinggal yang dibuktikan surat keterangan dari yang berwenang.
Konsumen rusun, katanya, biasanya menginginkan rumah yang mereka beli menjadi aset pribadi yang dapat dijual sewaktu-waktu.
"SKBG itu, kan, enggak bisa diperjualbelikan. Bisa jadi pembohongan publik nanti. Apakah nanti pemprov punya hati nurani, ketika 20 tahun kemudian ternyata rusun itu bukan hak milik mereka? Status tanah masih punya pemda," ungkap Mega.
Setelah dikritik bertubi-tubi dalam pertemuan tersebut, sikap Agustino pun berubah. Ia, yang semula optimistis atas pembangunan rusun DP 0 rupiah bakal berjalan lancar, jadi pesimistis.
Ia menyetujui saran anggota dewan agar pembangunan rusun diserahkan ke Badan Usaha Milik Daerah, PD Pembangunan Sarana Jaya atau pihak swasta. Dinas Perumahan hanya sebagai leading sector yang menggodok kebijakan Badan Layanan Umum Daerah sebagai penyalur rumah DP 0 kepada konsumen.
"Saya sangat setuju, mendingan beliau saja yang ambil," kata Agustino merujuk Yoory C. Pinontoan sebagai Dirut PD Sarana Jaya. "Karena beliau nanti asetnya terjual. Dan memang secara tender murni. Tidak ada kebohongan publik. Daripada Pemprov DKI dipermalukan di kemudian hari."
Kendati demikian, keputusan tetaplah berada pada Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Lanjut atau tidak, kata Agustino, hasil pertemuan di DPRD akan ia sampaikan ke gubernur dalam Rapat Pimpinan di Balai Kota hari ini, 5 Februari.
Jika usulan dewan disetujui, lahan untuk membangun rusun DP 0 di PIK Pulogadung akan dialihfungsikan untuk tujuan semula, yakni pembangunan rumah susun sewa sederhana (rusunawa).
Agustino juga bakal menyampaikan usulan DPRD untuk mengubah alokasi pengadaan tanah DP 0 rupiah sebesar Rp799.993.172.215 di pagu Dinas Perumahan. Sebab, kata Agustino, anggaran itu sebelumnya direncanakan untuk pengadaan tanah pembangunan rusunawa.
Apalagi, aset tanah yang dimiiki Pemprov DKI tersisa sedikit jika dibandingkan pembangunan rusun yang ditargetkan pada 2018.
“Land banking kita yang nilainya Rp2,1 triliun sudah hampir habis untuk membangun 44 tower rusun,” ungkapnya.
Seremoni Dulu, Aturan Belakangan
Kritik terhadap program DP 0 rupiah bukan kali ini saja disampaikan oleh anggota dewan di Kebon Sirih. Sebelumnya, ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono mewanti-wanti agar kebijakan ini dibuatkan payung hukum terlebih dulu sebelum diresmikan. Sebab, tanpa aturan yang jelas, program tersebut "berpotensi merugikan daerah."
Tapi Anies-Sandiaga bergeming. Pada 18 Januari lalu, groundbreaking proyek itu digelar di atas lahan milik PD Sarana Jaya di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Di atas lahan tersebut, rusun DP 0 rupiah akan dibangun sebanyak 703 unit dengan rincian 513 buah tipe 36 dan 190 buah tipe 21. Biaya pembangunannya tak memakai APBD melainkan dana dari PD Sarana Jaya.
Lantaran itulah, ketua Fraksi PDIP Gembong Warsono menilai bahwa groundbreaking yang dilakukan Anies-Sandiaga hanya untuk "mengejar target melunasi janji seratus hari kerja."
“Tidak ada aturan yang jelas, dan masyarakat hanya disuguhkan dengan acara seremonial,” ungkapnya saat dihubungi Tirto.
Apa yang disampaikan Gembong boleh jadi ada benarnya. Hingga sekarang, baik Anies maupun Sandiaga belum menjelaskan secara detail mekanisme pembiayaan yang bakal digunakan untuk program tersebut.
Anies, misalnya, hanya menyampaikan bahwa skema yang dipakai adalah fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) di kementerian PUPR, yakni dengan DP 1 persen dan bunga flat sebesar 5 persen.
“Jadi, pemerintah DKI bekerja sama dengan pemerintah pusat, untuk yang satu persennya akan ditalangi oleh APBD," kata Anies usai acrara groundbreaking.
Di sinilah permasalahan itu muncul. Sebab, tak semua skema FLPP di pemerintah pusat memberikan subsidi untuk DP hingga 1 persen, melainkan hanya untuk beberapa hunian yang ditawarkan oleh bank-bank yang telah menekan Perjanjian Kerjasama Operasional dengan Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP).
Yang lebih membingungkan, Pemprov DKI bakal membangun Badan Layanan Umum Daerah sendiri dan tidak tergabung dengan badan serupa bentukan pemerintah pusat (PPDPP).
Padahal, dalam Permen PUPR 21/2016 tentang kemudahan dan/atau bantuan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tertulis jelas bahwa FLPP dikelola oleh Kementerian PUPR melalui PPDPP. Dana yang dikelola berasal dari anggaran pendapatan belanja negara.
Lana Winayanti, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, mempertanyakan klaim soal skema FLPP tersebut. "Seperti yang saya pernah jelaskan, dana FLPP yang disalurkan oleh PPDPP di PUPR diatur Peraturan Menteri Keuangan. Kalau Pemda DKI akan membentuk Badan Layanan Umum Daerah dan menggunakan FLPP, dasar hukumnya bagaimana?"
Penulis: Hendra Friana
Editor: Fahri Salam