tirto.id - Anggota DPR RI periode 2024-2029 dominan diisi oleh politisi cum pebisnis. Hal ini menjadi alarm bagi kerja parlemen ke depan agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan. Anggota DPR periode baru mesti belajar dari banyaknya pendahulu mereka yang dijebloskan ke bui karena tak mampu memisahkan kepentingan negara dan pribadi.
Riset terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, dari 580 anggota DPR yang dilantik, sedikitnya terdapat 354 individu dari total anggota DPR periode 2024–2029 memiliki latar belakang atau afiliasi dengan sektor bisnis. Hasil ini didapatkan dari penelusuran cepat atau pendahuluan dari keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1206 Tahun 2024.
Dengan kata lain, ada sekitar 61 persen anggota DPR yang merupakan politisi-pebisnis. Hal ini dinilai sejumlah pengamat parlemen dan pegiat demokrasi sebagai sesuatu yang harus disoroti publik. Pasalnya, kerja legislasi DPR berpotensi kembali dijadikan alat kepentingan para oligarki, ketimbang mengutamakan rakyat luas.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menilai riset ICW ini perlu diketahui oleh masyarakat. Jangan sampai politisi-pebisnis Senayan justru lebih getol merepresentasikan kepentingan bisnis dibandingkan kebutuhan masyarakat luas.
“Sebenarnya sih tidak ada masalah pebisnis secara umum menjadi anggota parlemen. Yang menjadi masalah adalah ketika aspirasi yang diperjuangkan di parlemen malah condong mempertimbangkan pebisnis saja,” kata Haykal kepada reporter Tirto, Jumat (11/10/2024).
Haykal tak menampik potensi adanya penyelewengan kekuasaan dan peluang korupsi akan lebih besar dengan dominasi pebisnis di DPR. Sebab tindakan koruptif kerap tidak diketahui dan tidak dilandasi moral dan etika yang baik sebagai pejabat publik.
Sektor bisnis dinilai kerap memiliki aturan main berbeda, seperti adanya biaya entertainment untuk memuluskan bisnis. Namun DPR harus memahami meskipun mereka pebisnis, tidak bisa melazimkan cara yang sama saat tengah menjalankan tugas sebagai anggota dewan.
“Sehingga tidak ada keseganan melakukan korupsi. Namun ketika pebisnis masuk DPR, tentu potensi itu terjadi lebih besar,” ucap Haykal.
Temuan ICW turut menyiratkan pesan bahwa biaya politik supaya terpilih menjadi anggota DPR bukan main-main. Masih ada kecenderungan banyaknya modal sangat mempengaruhi keterpilihan caleg menjadi anggota parlemen.
Hal ini berdampak dengan semakin kuatnya politik uang di masyarakat ketika pemilu. Praktik ini sejatinya harus ditinggalkan, karena bukan sesuatu yang lazim dan etis terjadi di dalam negara demokrasi.
“Untuk menjadi anggota DPR itu mahal, menjadi DPR butuh uang yang besar. Karena yang masuk Senayan tanda kutip mampu menyalurkan modalnya sebagai amunisi,” jelas Haykal.
Kepala Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha, menyatakan dominasi politisi-pebisnis tak akan jauh-jauh dari permasalahan laten di DPR: lingkaran setan korupsi politik. Secara sistem, kata Egi, modal yang harus digelontorkan untuk kontestasi elektoral di Indonesia dibuat menjadi begitu mahal.
Oleh karenanya, mereka yang mampu turut serta dalam politik praktis maupun pemilu cuma segelintir individu yang punya sumber daya material kuat. Atau setidaknya harus memiliki kedekatan dengan para pemodal-pemodal kaya agar dapat sokongan.
“Fenomena di atas pada gilirannya akan menimbulkan relasi rent-seeking atau perburuan rente,” kata Egi dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat.
Ia menjelaskan, perburuan rente di DPR bisa berupa kebijakan-kebijakan partisan atau tidak jarang melalui korupsi anggaran publik. Berdasarkan data KPK, DPR bahkan menjadi salah satu lembaga terkorup. Sejak 2004 sampai 2023, ada 76 kasus korupsi melibatkan anggota DPR.
Perburuan rente memang diniatkan sebagai cara untuk ‘melunasi’ modal kampanye. Selama ini, DPR cenderung lebih kilat dan tidak partisipatif dalam membahas RUU yang jelas-jelas ditentang publik.
Egi mencontohkan, seperti pembahasan RUU Ibu Kota negara (IKN), RUU Cipta Kerja, dan RUU Mineral dan Batubara yang kental dengan kepentingan elite dan ditentang publik.
Sedangkan, RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, hingga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sama sekali tidak diprioritaskan oleh DPR periode sebelumnya.
“Dengan banyaknya latar belakang politisi pebisnis di DPR periode ini, konflik kepentingan antara kepentingan privat dan kepentingan publik menjadi sulit terhindarkan,” ucap Egi.
Condong Memihak Oligarki
Riset terbaru Indonesian Parliamentary Center (IPC) mencatat, lima isu paling dominan dibahas dalam rapat pengawasan di DPR periode 2019-2024 adalah: isu bisnis (45%), ekonomi kerakyatan (30%), haji (13%), informasi dan digital (10%), serta pemilu (2%). Hal ini menunjukkan konsentrasi DPR periode sebelumnya tercondong pada persoalan ekonomi negara dibandingkan kepentingan rakyat luas seperti: pendidikan dan kesehatan.
DPR periode lalu, IPC mencatat, juga cuma menampung sedikit aspirasi masyarakat sipil, yang diserap sebanyak 256 dari total 576 aspirasi. Sementara itu, dari kalangan akademisi cuma 99 yang diserap dari total 209 aspirasi.
Sedangkan, hampir semua aspirasi dari pengusaha justru diserap DPR, yakni 300 dari 309 aspirasi.
Peneliti IPC, Arif Adiputro, menilai bahwa evaluasi pada DPR periode 2019-2024 adalah banyaknya produk legislasi yang lebih banyak menguntungkan sektor bisnis privat. Hal ini karena DPR periode sebelumnya juga banyak didominasi oleh politisi-pebisnis.
“Itu yang dimaksud dengan teori perburuan rente. Jadi semakin banyak orang yang memiliki konflik kepentingan dalam pejabat publik, apalagi di DPR, tentu akan mempengaruhi kinerja legislasi,” kata Arif kepada reporter Tirto, Jumat.
Padahal, Arif melihat, bisnis yang cenderung dilabeli sebagai kepentingan nasional ini lebih banyak ada di sektor ekstraktif sumber daya alam. Anggota DPR harus mengakomodasi juga masyarakat dari berbagai kalangan, bukan cuma para pemodal dan para elite.
Seperti mengakomodir kepentingan kelompok petani, nelayan, perempuan, pekerja rumah tangga, guru, buruh, dan lainnya.
Di sisi lain, Arif menilai dengan adanya temuan dominasi politisi-pebisnis di DPR, sudah saatnya ada kebijakan untuk pembatasan uang kampanye. Supaya, kata dia, masyarakat kelas menengah bawah atau menengah biasa dapat ikut berpartisipasi untuk memberikan pendidikan politik ke publik.
“Bahwa memilih calon itu bukan berdasarkan finansial yang banyak, tapi argumentasi dan ide gitu,” ujar Arif.
Sementara itu, peneliti dari Formappi, Lucius Karus, menilai adanya dominasi anggota DPR politisi-pebisnis menunjukkan kelindan dua hal tersebut tumbuh subur di parlemen. Temuan ini menandakan parpol-parpol semakin pragmatis dan tersandera oligarki.
Pragmatisme parpol mendorong para pebisnis masuk ke parlemen untuk melindungi bisnis serta kepentingan ekspansi perusahaan. Menurut Lucius, pebisnis tentu masuk DPR bukan untuk mengharapkan gaji dan tunjangan sebagai anggota dewan.
Karena, kata dia, kalau cuma urusan uang, lahan bisnis berpotensi akan lebih banyak dapat menyediakannya.
“Yang diincar pebisnis di DPR adalah bagaimana memanfaatkan kekuasaan parlemen untuk kepentingan bisnis mereka,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Jumat.
Kekuasaan dapat melindungi sekaligus memberikan jaminan akan pertumbuhan bisnis bagi korporasi asal anggota DPR. Maka, dampak dominasi politisi-pebisnis di parlemen adalah tergerusnya nilai keterwakilan anggota DPR.
Keterwakilan mestinya diejawantahkan lewat relasi dengan konstituen dalam menampung gagasan dan aspirasi secara intim. Saat ini, justru berubah menjadi relasi transaksional, dengan konstituen dianggap sebagai obyek yang bermanfaat bagi kepentingan menjaga kursi Senayan tetap aman.
“Karena itu cukup memelihara konstituen dengan memastikan setiap kali berkunjung, konstituen diberikan uang atau barang demi memupuk loyalitas konstituen,” jelas Lucius.
Dengan pola relasi yang transaksional, misi utama anggota DPR pebisnis adalah bisnisnya. Karena itu, legislasi yang utama adalah aturan yang bisa melindungi pertumbuhan bisnis.
Intinya kembali pada masalah pragmatisme. Jika bisnis bisa dilindungi, keuntungan mudah diperoleh. Bahkan, tak segan harus mengorbankan fungsi DPR agar tunduk pada eksekutif.
“Kalau pemerintah menjadi sangat otoriter dan sewenang-wenang kepada rakyat, mungkin akan didukung oleh politisi pebisnis ini. Karena kepatuhan rakyat pada pemerintah sekaligus menjadi situasi yang kondusif bagi kelangsungan bisnis,” jelas Lucius.
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, menilai praktik ini sebagai elite predatory. Hukum semakin mendekat kepada mereka yang punya kepentingan politik dan ekonomi secara dominan.
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, pembentukan hukum itu terutama dilahirkan dari eksekutif dan legislatif. Maka, kata Herlambang, bisa dibayangkan adanya satu relasi kuasa politisi-pebisnis di DPR yang kian semakin besar ke depan.
“Tidak mengherankan kecenderungan politik hukum legislasi ke depan akan lebih banyak condong kepada kepentingan bisnis. Terutama bisnis di level nasional,” ucap dia kepada reporter Tirto, Jumat.
DPR periode sebelumnya dinilai Herlambang sudah menjadikan fungsi legislasi condong menopang kepentingan para oligarki. Dengan adanya temuan dominasi politisi-pebisnis di DPR saat ini, kerawanan hal tersebut terulang akan semakin besar.
Jika diteruskan, Herlambang menilai bahwa wajar jika sistem politik di Indonesia hanya akan terus menguntungkan elite. Terutama mereka yang berkuasa secara politik dan ekonomi.
“Merekalah kelompok yang mereguk keuntungan dalam sistem ketatanegaraan, inilah yang disebut predatory elite karena mereka mengunci untuk kepentingan mereka sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky