tirto.id - Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di Indonesia membuka peluang besar di berbagai sektor. Namun, di balik kemajuan tersebut, terdapat risiko serius terhadap pelindungan kekayaan intelektual (KI). Untuk itu, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) melalui Direktorat Penegakan Hukum tengah merumuskan strategi guna mengantisipasi potensi pelanggaran KI yang muncul akibat penyalahgunaan teknologi AI.
Salah satu isu krusial yang menjadi perhatian adalah penggunaan data pelatihan AI yang melibatkan karya cipta tanpa izin. Direktur Penegakan Hukum, Arie Ardian, menyebut praktik ini termasuk pelanggaran hak cipta baik secara ekonomi maupun moral.
“Contohnya pengembang AI yang mengambil ribuan bahkan jutaan karya digital baik berupa teks, musik, gambar, maupun video, tanpa memperhatikan lisensi atau hak pencipta. Ini jelas masuk kategori pelanggaran hak cipta, baik secara ekonomi maupun moral,” ujar Arie.
DJKI juga menyoroti potensi masalah hukum lain yang ditimbulkan oleh AI generatif, seperti plagiarisme serta ketidakjelasan kepemilikan atas konten yang dihasilkan. Situasi ini dianggap sebagai kerentanan hukum yang perlu direspons dengan pendekatan yang lebih modern dan tanggap.
Sebagai respons, DJKI menerapkan pendekatan berbasis risk assessment untuk memetakan risiko pelanggaran dalam ekosistem AI. Upaya ini mencakup pemantauan tren teknologi, konsultasi dengan pakar, serta studi kebijakan global, yang menjadi dasar penyusunan regulasi yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman.
Arie menegaskan bahwa penegakan hukum di era AI membutuhkan metode yang berbeda dari pendekatan konvensional. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, khususnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), menjadi prioritas DJKI.
“Kami tidak bisa mengandalkan cara-cara konvensional dalam penegakan hukum. Di era AI, penegakan hukum harus digital, responsif, dan kolaboratif. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan aparat penegak hukum menjadi prioritas kami,” tutur Arie.
Saat ini, DJKI tengah menyusun roadmap strategis yang mencakup penguatan SDM, digitalisasi sistem pelaporan, penyusunan pedoman teknis, dan kerja sama lintas sektor. Untuk mendukung langkah tersebut, DJKI menjalin koordinasi dengan Kepolisian RI, Kejaksaan Tinggi, serta Kementerian Komunikasi dan Digital melalui forum teknis dan perjanjian kerja sama.
Meski hingga pertengahan 2025 belum ada kasus yang secara resmi dikategorikan sebagai pelanggaran KI akibat AI, DJKI telah menerima laporan awal terkait penggunaan karya digital dalam pelatihan model AI tanpa izin. Menurut Arie, kasus semacam ini bersifat lintas negara, kompleks, dan menantang dari segi pembuktian.
“Kasus-kasus ini sangat kompleks karena bersifat transnasional, sulit dilacak, dan penuh dengan tantangan pembuktian. Namun DJKI tidak tinggal diam. Kami terus memperkuat deteksi dini, menyusun legal guidance, serta mendorong pembaruan regulasi,” jelas Arie.
Menariknya, DJKI juga melihat AI sebagai potensi solusi. Saat ini sedang dirancang sistem pemantauan digital berbasis AI untuk deteksi dini pelanggaran KI. Inisiatif ini masih dalam tahap awal dan akan dikembangkan melalui kolaborasi dengan sektor swasta, akademisi, komunitas teknologi, serta lembaga pemerintah terkait.
Untuk memperkuat fondasi hukum, DJKI sedang mengkaji ulang regulasi yang ada, termasuk Undang-Undang Hak Cipta, serta menyusun pedoman teknis penggunaan karya dalam konteks pengembangan AI. DJKI juga aktif di berbagai forum internasional seperti WIPO, dan menjalin kolaborasi dengan otoritas KI di negara-negara mitra, seperti Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat.
“Kami mengajak seluruh pengembang dan pengguna AI untuk menjunjung tinggi etika inovasi. Gunakan materi yang legal, hormati hak cipta, dan jadilah bagian dari ekosistem digital yang adil dan berkelanjutan,” tutup Arie.
(INFO KINI)
Penulis: Tim Media Servis
Masuk tirto.id


































