tirto.id - Miftahul Jannah, atlet judo Indonesia di Asian Para Games 2018 didiskualifikasi dari pertandingan. Ia dinilai melanggar aturan karena bersikukuh mengenakan jilbab saat hendak bertanding melawan judoka Mongolia, Gantulga Oyun di kelas 52 kg putri blind judo, di JIEXPO Kemayoran, pada Senin (8/10/2018).
Insiden itu mengundang reaksi publik dan menjadi perbincangan panas di media sosial. Bahkan, muncul tudingan bahwa didiskualifikasi Miftahul dari arena gelut blind judo itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap atlet berjilbab.
Benarkah demikian?
National Paralympic Committee (NPC) pun menggelar jumpa pers, pada Senin (8/10/2018). Dalam pertemuan itu, Ketua NPC Senny Marbun mengaku bersalah atas insiden dikeluarkannya judoka asal Aceh tersebut.
"NPC sangat malu dan tidak mengharapkan ini terjadi. Saya akui NPC bersalah karena ini keteledoran kami," kata Senny Marbun di GBK Arena, Senayan, Senin (8/10/2018).
Marbun menjelaskan lebih lanjut soal keteledoran yang ia maksud saat dihubungi reporter Tirto, pada Selasa (9/10/2018). Menurutnya, kejadian itu berawal pada saat pemusatan latihan di Kota Solo, Jawa Tengah.
Saat itu, kata dia, seluruh atlet judo tunanetra dibawa ke Turki untuk mengikuti single event. Di sana, atlet yang berhijab mendapat pengarahan untuk melepas penutup kepalanya sesuai dengan peraturan blind judo internasional. Namun, Miftahul Jannah tidak ikut.
Sang pelatih yang turut datang ke event itu pun dikabarkan tidak menginformasikan peraturan tersebut kepada Miftahul. "Pelatihnya yakin saja semua beres di hari H," kata Marbun.
Marbun mengaku tetap merasa bertanggung jawab atas insiden ini, apalagi Miftahul Jannah merupakan atlet muda yang belum tahu soal peraturan jilbab dalam blind judo.
"Saya sebagai pimpinan mengaku bersalah," kata Marbun kepada Tirto.
INAPGOC Tidak Dapat Intervensi
Terkait masalah ini, Ketua Indonesia Asian Para Games 2018 Organizing Committee (INAPGOC) Raja Sapta Oktohari mengatakan didiskualifikasinya Miftahul Jannah merupakan kesalahan dalam proses pendaftaran sejak awal.
Lelaki yang karib disapa Okto ini menerangkan, seharusnya sudah ada perjanjian antara atlet dan panitia sejak awal pendaftaran bahwa nantinya sang atlet harus bersedia melepas hijab dengan alasan keamanan. Namun, lanjut Okto, perjanjian yang ditulis dalam bahasa Inggris itu tidak tersampaikan dengan baik kepada pelatih.
"Tampaknya pelatihnya kurang paham," kata Okto saat dihubungi Tirto, pada Selasa (9/10/2018).
Pada sisi lain, Okto mengaku, INAPGOC tak dapat mengintervensi peraturan yang berlaku secara internasional tersebut. Menurut Okto, kompetisi blind judo di tingkat internasional memang tidak ada yang menggunakan jilbab.
"Khawatir terluka karena kan, mereka tidak melihat. Mereka buat aturan itu sudah ada alasannya. Bukan masalah agama," kata Okto menambahkan.
Pernyataan Okto ini juga merespons isu yang berkembang liar di masyarakat bahwa insiden yang melibatkan judoka asal Aceh itu merupakan bentuk diskriminasi dalam gelaran Asian Para Games 2018.
Okto mengapresiasi pernyataan Senny Marbun yang dinilainya cukup ksatria dengan mengakui peristiwa ini sebagai tanggung jawabnya dan menghormati keputusan Miftahul Jannah yang tetap berpegang teguh untuk tidak melepas hijab.
"Itu suatu bentuk keimanan yang luar biasa," kata Okto.
Soal kesalahan dalam proses pendaftaran dan tidak diinformasikannya aturan ini, Latif yang menjadi pelatih Miftahul Jannah, belum memberi klarifikasi yang jelas. Saat dihubungi reporter Tirto, Latif mengaku sedang fokus ke pertandingan. "Soal Miftahul, nanti lewat konferensi pers."
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Abdul Aziz