Menuju konten utama

Jilbab Miftahul Jannah dan Teknik Judo yang Berisiko

Penggunaan jilbab dilarang dalam olahraga judo karena dianggap bisa membahayakan dalam eksekusi teknik tertentu.

Pejudo putri Indonesia Miftahul Jannah meninggalkan arena usai didiskualifikasi dari pertandingan kelas 52 kg blind judo Asian Para Games 2018 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Senin (8/10/2018). ANTARA FOTO/BOLA.COM/M Iqbal Ichsan

tirto.id - Miftahul Jannah, judoka Indonesia, sudah mempersiapkan diri selama 10 bulan di pelatnas agar bisa ikut serta dalam Asian Para Games 2018. Dalam acara multiolahraga terbesar di Asia untuk atlet difabel itu, penyandang disabilitas netra atau Visual Impairment (VI) tersebut akan turun di kelas 52 kg blind judo.

Namun, pada Senin (8/10/18) kemarin, hanya sesaat sebelum pertandingan melawan Oyun Gantulga, judoka Mongol, keinginan Miftahul Jannah untuk memberikan yang terbaik bagi Indonesia menguap begitu saja. Ia dinyatakan kalah sebelum bertanding. Saat itu ia didiskualifikasi karena enggan melepas jilbab yang ia kenakan.

Miftahul didiskualifikasi karena dinilai melanggar aturan dalam judo. Dalam peraturan wasit Federasi Judo Internasional (IJF) yang diterbitkan 28 Maret 2015 lalu, dalam artikel empat, dituliskan bahwa “rambut panjang harus diikat sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan terhadap kontestan lainnya. Rambut harus diikat dengan pita rambut yang terbuat dari karet atau bahan sejenis yang tidak kaku dan mengandung komponen logam. Kepala tidak boleh ditutupi kecuali untuk pembalutan yang bersifat medis, yang harus mematuhi aturan kerapian kepala.”

Aturan wasit IFJ itu juga diperkuat dengan aturan dari International Blind Sport Federation (IBSA). Menurut IBSA, judoka tidak boleh menggunakan jilbab saat sudah memasuki area pertandingan. Saat Miftahul Jannah enggan melepas jilbabnya ketika sudah berada di arena, ia jelas-jelas sudah melanggar kedua aturan tersebut. Wasit pun dinilai sudah mengambil keputusan yang tepat dengan mendiskualifikasi atlet asal Aceh tersebut.

Jannah kemudian mengaku sedih sekaligus lega dengan kejadian itu. “Lebih banyak lega. Saya juga bangga sudah bisa melawan diri saya sendiri, melawan ego sendiri. Saya punya prinsip tak mau dipandang terbaik di mata dunia, tapi di mata Allah,” katanya pada awak media.

Yang menarik, kejadian yang menimpa Miftahul Jannah itu kemudian mengecewakan banyak pihak. Di media sosial, tak sedikit yang menganggap itu sebagai diskriminasi terhadap kaum tertentu, bahkan menjadi isu agama.

Senny Marbun, Ketua National Paralympic Committee (NPC), juga tak bisa menutupi kekecewaannya. Ia menyalahkan tim pelatih judo yang tak mampu menerjemahkan regulasi dengan baik. Menurutnya, tim pelatih judo kurang bisa memahami bahasa Inggris dan enggan bertanya soal aturan. Padahal, aturan itu sudah ada sejak lama dan jauh hari sebelum pertandingan. Meski begitu, ia juga merasa bersalah atas kejadian itu.

”NPC sangat malu dan tidak mengharapkan kejadian seperti ini. Saya akui NPC bersalah karena ini bentuk dari keteledoran kami juga,” katanya.

Masalah yang dialami Miftahul tersebut sebetulnya juga pernah dialami oleh Wodjan Ali Seraj Abdulrahim Shahrkhani, judoka asal Arab Saudi, yang tampil di Olimpiade London tahun 2012 lalu. Namun, judoka yang saat itu masih berusia 16 tahun tersebut akhirnya boleh tampil dengan mengenakan penutup kepala yang menyerupai jilbab.

Menurut Mark Adams, Direktur Komunikasi Komite Olimpiade saat itu, Wodjan dibolehkan tampil bertanding karena federasi judo di Asia memungkinkan, "memperbolehkan beberapa jenis jilbab. Yang dipakai Wodjan adalah versi yang sesuai dengan keamanan, tapi tetap peka terhadap kebudayaan."

Kejadian yang dialami oleh Miftahul berbeda dengan kejadian yang dialami oleh Wodjan. Saat itu, jauh-jauh hari sebelum dia bertanding, Komite Olahraga Arab Saudi melobi IJF. Keputusan diambil pada 31 Juli 2012 dan Wodjan baru bertanding pada 3 Agustus 2012. Sedangkan dalam kejadian yang dialami Miftahul, ia baru tahu tidak boleh mengenakan jilbab hanya sesaat sebelum pertandingan dimulai.

Selain itu, Wodjan adalah atlet biasa, sementara Miftahul adalah atlet difabel penderita visual impairment (VI). Dari situ, kompromi barangkali lebih sulit untuk dilakukan. Terlebih, Organisasi Olahraga Buta Internasioal juga memperkuat aturan IJF tentang larangan penggunaan jilbab dalam olahraga judo. Jika sejumlah teknik dalam judo dianggap berbahaya bagi atlet normal pengguna jilbab, teknik tersebut tentu saja lebih berbahaya bagi atlet difabel VI yang mengenakan jilbab.

Teknik Judo yang Berisiko

Lalu, teknik judo seperti apa yang paling berbahaya bagi para atlet yang menggunakan jilbab?

Dalam Judo, untuk mendapatkan satu angka (ippon), atlet judo mempunyai dua teknik (waza) yang dapat digunakan, yakni bantingan (nage-waza) dan kuncian (katame-waza). Yang menarik, dua teknik tersebut juga mempunyai berbagai macam variasi teknik.

Munurut buku Kodokan Judo (1994), nage-waza bisa dikembangkan menjadi tachi-waza (te-waza, koshi-waza, ashi-waza) dan sutemi-waza (ma-sutemi-waza dan yoko-sutemi-waza). Sementara itu, katame-waza dikembangkan menjadi osaekomi-waza, shime-waza, kansetsu-waza.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/10/09/judo-x-jilbab--mild--quita-01.jpg" width="860" alt="Infografik Judo X Jilbab" /

Dari teknik-teknik tersebut, kembangan teknik katame-waza atau teknik kuncian yang disebut shime-waza merupakan teknik paling berbahaya bagi pengguna jilbab. Dalam teknik tersebut, kunciannya difokuskan ke arah leher lawan. Menurut situs Judo Info, karena shime-waza merupakan teknik halus dan memerlukan detail, teknik tersebut sangat tidak mudah untuk diterapkan.

Masih menurut Judo Info, shime-waza mempunyai tiga dasar: pertama, menekan salah satu arteri atau kedua arteri di sisi leher untuk membatasi aliran darah dan oksigen ke arah otak; kedua, menekan tenggorokan untuk menghentikan aliran udara ke paru-paru; dan ketiga, menekan dada atau paru-paru untuk mencegah lawan bernapas.

Lantas, karena tiga teknik dasar tersebut dapat dikombinasikan, shime-waza juga mempunyai beberapa variasi teknik. Salah satunya adalah kata-ha jime. Saat melakukan kata-ha jime, lawan harus berada dalam posisi duduk, pun demikian judoka yang menerapkannya. Judoka berada di belakang lawan, mengunci pinggang lawan dengan kedua kakinya. Lantas, salah satu tangan mengunci tangan lawan dengan pusat tekanan berada di leher bagian belakang lawan, sementara tangan satunya merangkul leher lawan dengan pusat tekanan di salah satu kerah judoki (baju) lawan. Setelah itu, kuncian bisa diperkuat dengan merebahkan badan ke matras.

Jika lawan menggunakan jilbab saat kata-ha jime diterapkan, judoka yang menerapkan kata-ha jime rawan melakukan kecurangan. Saat ia gagal meraih kerah baju lawan, bukan tidak mungkin ia akan menarik jilbab yang dikenakan lawan. Selain itu, judoka yang menerapkan kata-ha jime bisa secara tidak sengaja menarik jilbab lawan saat melakukannya. Risiko itu tentu akan bertambah besar dalam kejuaraan blind judo.

Kata-ha jime sendiri bukan satu-satunya teknik shime-waza yang rentan kesalahan saat diterapkan terhadap lawan yang mengenakan jilbab. Baik secara sengaja maupun tida disengaja, karena kunciannya fokus terhadap leher lawan, hampir semua teknik shime-waza juga berbahaya saat diterapkan terhadap lawan yang menggunakan jilbab. Hal inilah yang kemudian membuat Nicolas Messner, juru bicara IJF saat Olimpiade 2012, berbicara lantang saat Wodjan ngotot ingin tetap menggunakan jilbab.

Dilansir dari New York Times, Messner pernah mengatakan, “Dalam judo kami menggunakan cengkeraman dan cekikan, jadi bagi penggunaan jilbab bisa sangat berbahaya.”

Baca juga artikel terkait ASIAN PARA GAMES 2018 atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono