Menuju konten utama

Direktur PT PJB Akan Diperiksa KPK dalam Kasus Suap PLTU Riau-1

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka JB."

Direktur PT PJB Akan Diperiksa KPK dalam Kasus Suap PLTU Riau-1
Direktur Pengembangan dan Niaga PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Henky Heru Basudewo bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Senin (30/7/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana periksa Direktur PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Iwan Agung Firstantara (09/08/2018) di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Iwan sebagai saksi untuk kasus dugaan suap terkait kesepakatan kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka JBK (Johannes Budisutrisno Kotjo, pemilik saham PT Blackgold Natural Resource)," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah lewat keterangan tertulis (09/08/2018).

Sebelumnya KPK juga telah memeriksa Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Dalam pemeriksaan tersebut penyidik mencecar Sofyan dengan pertanyaan soal pertemuan dengan tersangka sampai aliran dana.

"Ini pemeriksaan kedua. Harusnya pemeriksaan kedua sekitar akhir Juli 2018 lalu tapi yang bersangkutan tidak hadir," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK (07/08/2018).

Sofyan hadir di KPK sebagai saksi untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo dalam kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Johannes sendiri merupakan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited.

Dalam pemeriksaan kali ini penyidik KPK menyecar Sofyan dengan sejumlah pertanyaan, di antaranya soal mekanisme kerja sama dalam proyek PLTU Riau-1, pengetahuan Sofyan soal pertemuan dengan para tersangka dan pihak lain, dan juga soal aliran dana

"Jadi itu perlu diperinci lebih lanjut," kata Febri.

Selain itu penyidik pun mengkonfirmasi soal dokumen-dokumen yang disita petugas KPK dari rumah dan kantornya saat penggeledahan beberapa waktu lalu.

Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK 13 Juli 2018 lalu terhadap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham. Sebelumnya KPK juga telah mengamankan pemegang saham Blackgold Natural Resources anggota konsorsium PLTU Riau 1 Johannes Budisutrisno Kotjo.

Akhirnya KPK menetapkan keduanya sebagai tersangka Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers menyatakan keduanya terbukti memberi dan menerima suap terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

“Ada dugaan persekongkolan dan penerimaan uang sebagai commitment fee terkait proyek salah satu proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt,” jelas dia di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (14/7/2018).

Eni ditetapkan KPK sebagai penerima suap, ia diduga menerima Rp500 juta dari Johannes. Uang itu merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen dengan nilai proyek senilai Rp4,8 miliar.

Penerimaan uang kali ini ialah yang keempat kalinya, lanjut Basaria, pengambilan dilakukan berturut-turut yaitu pada Desember 2017 (Rp2 miliar), Maret 2018 (Rp2 miliar), Juni 2018 (Rp300 juta), dan kemarin (Rp500 juta).

“Diduga, uang diberikan JBK kepada EMS melalui keluarga dan staf,” terang Basaria. Peran Eni dalam proyek itu untuk memuluskan penandatanganan kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Selain uang tersebut, KPK mengamankan barang bukti lain berupa tanda terima uang sebesar Rp500 juta.

Setelah melakukan pemeriksaan dan Gelar perkara dalam waktu 1x24 jam, Basaria menambahkan pihaknya menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah oleh penyelenggara negara secara bersama-sama terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU tersebut.

Kemudian, dari 13 orang yang ditangkap KPK, 11 di antaranya ditetapkan menjadi saksi dan kini masih dalam pemeriksaan yakni staf dan keponakan dari Eni, Tahta Maharya, Sekretaris Johannes, Audrey Ratna Justianty, suami Eni, Muhammad Al-Khafidz, dan delapan orang lainnya yang berprofesi sebagai sopir, ajudan, staf Eni, dan pegawai PT Samantaka.

Akibat perbuatannya, Eni disangkakan melanggar Pasal 12 huruf A atau huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara itu Johannes dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf A atau huruf B atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Yulaika Ramadhani