Menuju konten utama

Dilema Pemerintahan Jokowi: Terjepit Tarif Listrik di Tahun Politik

PLN mencatat kerugian sebesar Rp5,35 triliun pada semester I/2018.

Dilema Pemerintahan Jokowi: Terjepit Tarif Listrik di Tahun Politik
Sejumlah pekerja beraktivitas di atas pembangunan Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi (SUTET) di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (21/3/18). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah.

tirto.id - PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) diprediksi bakal kembali menanggung rugi pada semester II/2018. Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto menyampaikan hal ini karena pelemahan rupiah yang sempat menyentuh angka Rp15.200 per dolar AS.

Imbasnya, kata Sarwono, laba PLN pada 2018 terus terkuras lantaran acuan kurs yang dibuat PLN pada awal tahun hanya sebesar Rp13.800 per dolar AS.

Hingga kuartal III/2018, Sarwono mengklaim, perseroan memang masih meraup laba operasional. Akan tetapi, ia belum mau membuka berapa laba perusahaan saat ini dan proyeksi keuangan hingga akhir Desember. Alasannya: depresiasi rupiah terhadap dolar AS masih akan terus berlangsung.

“Nilai kurs kan Rp15.200, naik kan. Tapi kalau berubah lagi, ya pembukuan turun lagi,” kata Sarwono saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Rabu, 24 Oktober 2018.

Fakta kerugian PLN ini memang menjadi dilema bagi pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Padahal, berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang telah dipublikasikan di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang semester I-2018, PLN telah mencatatkan kerugian sebesar Rp5,35 triliun.

Kerugian tersebut akibat meningkatnya beban usaha yang ditanggung oleh PLN. Beban usaha perusahaan pelat merah ini menanjak dari Rp130,25 triliun di semester I-2017 menjadi Rp142,42 triliun pada semester I-2018.

Di hari yang sama, beberapa jam sebelum Sarwono menyampaikan informasi soal prediksi kerugian PLN, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan bahwa pemerintah akan tetap menerapkan tarif listrik yang sama ke masyarakat hingga 2019.

“Sampai akhir 2019 diusahakan tidak akan kenaikan tarif tenaga listrik,” kata Jonan dalam Forum Merdeka Barat yang bertajuk 4 Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK.

Formula yang digunakan pemerintah tetap sama, yakni melakukan efisiensi dengan mendorong percepatan proyek listrik (Fast Track Program/FTP) I serta memberantas pencurian listrik di kawasan industri maupun perumahan.

Direktur Eksekutif Refoeminer Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan, tekan dolar terhadap rupiah memang berdampak besar pada ongkos produksi listrik PLN. "Mengingat sejumlah variabel penentu keuangan PLN terutama pengadaan energi primernya terkait dengan nilai tukar rupiah,” kata dia kepada reporter Tirto.

Komaidi mencontohkan, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan PLN untuk pembangkit listrik tercatat masih cukup besar, meski terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data yang ada, realisasi konsumsi BBM untuk pembangkit listrik pada 2015 hingga 2017 masing-masing masih sebesar 5,48 juta KL, 4,64 juta KL, dan 3,85 juta KL.

Celakanya, kata Komaidi, penurunan konsumsi BBM yang dipengaruhi harga minyak mentah di pasar internasional itu berdampak juga terhadap meningkatnya harga bahan bakar pembangkit lain, seperti gas dan batu bara.

Kenaikan bahan bakar primer secara simultan tersebut dipastikan akan membebani keuangan PLN secara langsung. “Semakin melemah rupiah, semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan PLN,” kata Komaidi.

Namun demikian, komitmen pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik bisa dipahami, apalagi menjelang pemilu seperti sekarang ini. Kata Komaidi, kenaikan tarif bakal langsung berdampak pada daya beli dan bisa mengganggu kondusivitas masyarakat.

Sederhananya, kata Komaidi, harga jual listrik yang stabil akan dapat mendorong terwujudnya kondisi perekonomian yang juga stabil. “Saya kira [pemerintah] sudah tahu persis apa yang terjadi dan apa risiko dari semua pilihan yang diambil,” kata dia.

Karena itu, kata Komaidi, upaya untuk mendukung komitmen tersebut terus dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya dengan mengusulkan pemberlakuan harga khusus batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik.

Melalui Keputusan Menteri ESDM No 1395K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batu Bara untuk Kepentingan Umum, harga batu bara untuk pembangkit listrik dipatok maksimal sebesar 70 dolar AS per metrik ton.

Terjepit di Tahun Politik

Wakil Ketua Komisi VI DPR yang membidangi BUMN, Azam Azman Natawijaya menyebut bahwa kerugian yang mendera keuangan PLN merupakan dosa pemerintah yang terlalu jor-joran membangun infrastruktur di berbagai daerah.

Alokasi jumbo untuk pembangunan, kata dia, tak hanya menguras APBN dan meningkatkan utang negara, melainkan juga mengesampingkan sejumlah program peningkatan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat.

“Tidak ada kemampuan APBN yang diberikan ke masyarakat untuk mendukung daya perekonomian,” kata politikus Partai Demokrat ini kepada reporter Tirto.

Akibatnya, kata dia, pemerintah menghadapi dilema. Jika tidak menaikkan tarif listrik, PLN rugi. Di lain sisi, kenaikan TDL akan membebani masyarakat.

Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang memang melemah. Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia pada triwulan II/2018, ekonomi hanya tumbuh 5,27 persen dan diprediksi mengalami pelemahan di kisaran 5,1 persen pada triwulan selanjutnya.

Penurunan itu dipengaruhi tingginya impor di tengah anjloknya net ekspor karena dipengaruhi turunnya harga komoditas andalan, seperti batu bara dan kelapa sawit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2018 nilai impor turun 13,18 persen menjadi 14,60 miliar dolar AS, dibandingkan Agustus 2018 yang sebesar 16,82 miliar dolar AS. Impor nonmigas turun 10,52 persen disertai impor migas juga mengalami penurunan sebanyak 25,20 persen.

Sementara itu, ekspor pada September 2018 tercatat sebesar 14,83 miliar dolar AS, turun 6,58 persen dibandingkan Agustus 2018 yang sebesar 15,87 miliar dolar AS. Penurunan ekspor terjadi di sektor nonmigas sebesar 5,67 persen, serta ekspor migas anjlok 15,81 persen.

Lemahnya perekonomian yang dipengaruhi defisit transaksi berjalan (CAD) itu membuat pemerintah semakin terjepit dan mau tak mau, mengorbankan PLN agar perekonomian tetap stabil.

Tingginya defisit, kata Azam, membutuhkan transaksi finansial yang tinggi dan jika tidak mencukupi maka simpanan yang ada di cadangan devisa akan terpakai.

“Apalagi laporan dari Banggar asumsi dolar sudah dipatok Rp15.000. Artinya enggak akan turun di 2019, artinya ekonomi kita akan mendidih, terpanas dalam lima tahun terakhir,” kata dia.

Respons Pemerintah

Terkait masalah ini, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah menekankan bahwa potensi kerugian PLN akibat tekanan kurs dolar AS hingga akhir tahun 2018 masih berupa prediksi kasar.

Edwin sendiri masih optimistis bahwa penghematan yang dilakukan perusahaan pelat merah tersebut dapat membantu meningkatkan keuntungan dari sisi produksi dan operasional.

“Kurs ini kan masalah unrealized loss. Jangan dilihat dari arus kas,” kata Edwin saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Hingga saat ini, kata Edwin, pihaknya masih memantau enam rangkaian kegiatan (value chain) yang dilakukan PLN, di antaranya: revaluasi aset, meningkatkan produktivitas aset yang sudah ada, efisiensi operasional, efisiensi pengadaan barang jasa, peningkatan percepatan pembangunan proyek, serta pencegahan kebocoran listrik.

"Kami melalui efisiensi internal dengan memaksimalkan 6 value chain, mulai energi primer, logistik, pembangkit, maintenance, itu semua yang sendang kami pantau," ujarnya.

Sementara terkait dengan opsi menaikkan tarif dasar listrik untuk menyelamatkan perseroan, kata Edwin, "itu wewenangnya di Kementerian ESDM, biar sana saja yang bahas.”

Baca juga artikel terkait TARIF DASAR LISTRIK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz