tirto.id - Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi melemah di kisaran 5,1 persen pada triwulan III 2018. Prakiraan ini lebih rendah dibanding capaian pada triwulan II yang mencapai 5,27 persen.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, penurunan itu akan dipengaruhi net ekspor yang menurun, sementara impor diperkirakan naik seiring dengan permintaan domestik. Selain itu, ekspor diperkirakan mengalami penurunan karena turunnya harga komoditas andalan seperti batu bara dan kelapa sawit.
Akan tetapi, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adrianto menyebut, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III/2018 di atas angka yang diprediksi BI.
"Kami lebih optimistis di range 5,13 persen hingga 5,25 persen," kata Adrianto kepada reporter Tirto, Kamis (25/10/2018).
Hal senada diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara. Menurutnya, arah kebijakan ekonomi Indonesia masih dipandang baik di mata internasional.
"Jangan diskusi besarnya [pertumbuhan ekonomi] 5,157 atau 5,148 ya. Jangan lihat detail kaya gitu, karena dunia internasional enggak memperhatikan detail level itu," kata Suahasil saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis kemarin.
Suahasil mengatakan, pemerintah selama ini tidak berupaya menutupi fakta dari situasi ekonomi yang ada. "Kami malah bilang mana yang menjadi titik fokus di mana, CAD [defisit transaksi berjalan] kita ada tekanan. Pertumbuhan ekonominya 5 komaan persen, 5,1-5,2 persen. Inflasinya di bawah 3,5 persen, defisit anggaran di 2,1 persen," kata dia.
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manan menilai, prakiraan BI perihal pertumbuhan ekonomi di semester III 2018 turun adalah rasional. Alasannya, kata Manan, daya konsumsi melemah, sementara sekitar 50 persen pertumbuhan ekonomi ditopang konsumsi.
Pelemahan daya konsumsi masyarakat ini, kata Manan, terjadi karena sudah tidak ada efek Lebaran yang mendorong konsumsi.
"Untuk peristiwa-peristiwa seperti IMF-WB di Bali itu kan sebetulnya enggak signifikan. Beda dengan triwulan II/2018 yang ada dorongan hari raya dan masuk sekolah, sehingga menstimulus pertumbuhan ekonomi dari segi permintaan,” kata Manan kepada reporter Tirto.
Pada saat yang sama, Manan mengatakan, geliat pertumbuhan produktifitas industri melemah, padahal hal itu sangat penting untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja.
"Itu tadi dari sisi internal. Dari sisi eksternal [pelemahan pertumbuhan ekonomi] bisa dilihat dari neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang masih defisit," kata Manan.
"Saya pikir angka 5,1 persen sudah cukup tinggi sih, karena dorongan-dorongan [peningkatan pertumbuhan ekonomi] tidak terjadi pada Triwulan III/2018 ini," kata dia menambahkan.
Yang Mesti Dilakukan Pemerintah
Terkait masalah ini, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (Kemenkeu) Adrianto mengatakan, pemerintah sebenarnya memiliki sejumlah fokus untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi, yaitu: menjaga inflasi agar daya beli terjaga, mendorong investasi, dan penguatan ekspor.
"Yang tidak kalah penting tentunya menjaga suasana yang kondusif untuk masuknya investasi baru," kata Adrianto kepada reporter Tirto melalui pesan WhatsApp, Jumat (26/10/2018).
Adrianto menjelaskan, suasana kondusif adalah situasi perekonomian yang dapat mendorong investasi seperti kemudahan berinvestasi dengan layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (one single submisdion/OSS), insentif untuk berinvestasi, dan kejelasan aturan terkait investasi.
Selain itu, Adrianto menyebut pemerintah juga mengambil kebijakan tidak menaikkan harga BBM jenis Premium sebagai bagian dari cara menjaga inflasi dan daya beli masyarakat.
"Tidak menaikkan harga Premium sudah jelas disampaikan presiden, dengan salah satu alasannya menjaga daya beli masyarakat yang pada akhirnya dapat menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam menyatakan untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah mesti menaikkan nilai investasi dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Untuk menjaga daya beli masyarakat, kata Piter, pemerintah harus menjaga pendapatan dan inflasi. Saat ini, inflasi memang cenderung terjaga di bawah 3,5 persen, namun tidak ada penambahan income.
"Penambahan income kan enggak relatif tumbuh besar karena postur pertumbuhan ekonomi. Asal income itu dari pertumbuhan ekonomi sendiri, pertumbuhan ekonomi kita stagnan, jadi tidak ada penambahan income. Secara keseluruhan pertumbuhan pendapatan 1,5 persen," kata dia.
Karena itu, Piter menyarankan, pemerintah membuat terobosan, di antaranya: Pertama, menjaga inflasi tetap rendah. Selama ini, inflasi memang terjaga rendah, tapi inflasi volataile food tetap tinggi. Artinya daya beli masyarakat itu sebenarnya tergerus.
Kedua, belanja pemerintah harus cepat dilakukan karena pada saat ekonomi global terpuruk pemerintah harus mengambil peran penting di dalamnya lewat belanja atau peningkatan pendapatan negara. Ketiga, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) harus naik signifikan. Sebab, realisasi investasi dalam bentuk portofolio dan Penanaman Modal Asing (PMA), larinya tetap akan keluar.
"Karena duit itu yang dihasilkan oleh investor asing di dalam negeri akan keluar lagi. Duit yang dihasilkan akan ditransfer ke negaranya, maka di neraca transaksi pendapatan itu, kita selalu defisit," kata dia.
Sehingga, Piter mengingatkan pemerintah tidak hanya fokus memberikan kemudahan kepada investor asing, tapi juga harus berpihak dan memberikan kemudahan dalam pelaksanaan penanaman modal dalam negeri.
"Beri fasilitas jangan dipersulit, jadi duit tetap di sini. Pemerintah kan ngasihnya fasilitas ke PMA, enggak karu-karuan, tapi PMDN-nya agak abai," kata dia.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz