tirto.id - Pada 24 Desember 1651, Johan Anthoniszoon “Jan” van Riebeeck berangkat dari Texel, Belanda, menuju Tanjung Harapan (kini bagian Afrika Selatan). Armadanya terdiri dari 3 kapal yang membawa 90 awak.
Empat bulan kemudian—tepatnya 6 April 1652, Jan van Riebeeck melihat daratan. Kapalnya berlabuh keesokan harinya. Dia menginjakkan kakinya di Kaapstad atau Cape yang saat itu dihuni penduduk asli Koekhoen.
Meski sempat berselisih dengan orang-orang Koekhoen, VOC kemudian berunding mengenai perbatasan dan hak-hak istimewa bagi mereka yang mau bekerja sama.
Sesuai kontrak kerjanya dengan VOC, Jan van Riebeeck diberi wewenang untuk mendirikan pos distribusi bagi kapal-kapal kompeni yang akan berlayar ke Timur Jauh. Pos tersebut nantinya akan mengolah bahan pangan, seperti daging, sayuran, buah-buahan, dan air bersih.
Untuk alasan keamanan, Jan van Riebeeck kemudian memerintahkan pembangunan benteng berbahan tanah liat, lumpur, dan kayu. Fort de Goede Hoop, nama benteng tersebut, berbentuk persegi dengan 4 bastion dan bendera VOC di setiap sudutnya. Dalam benteng itu terdapat pemukiman, dapur, ruang dewan, gereja, bengkel, gudang, dan ruang medis.
Seiring waktu, pos distribusi tersebut berubah menjadi pemukiman permanen setelah dikeluarkan kebijakan untuk membebaskan 9 karyawan VOC dengan status warga negara bebas—selanjutnya disebut Free Burghers—pada Februari 1657.
Kaapstad kemudian dimasukan ke dalam wilayah koloni Belanda.
Free Burghers kemudian diizinkan untuk memiliki lahan dan berladang di sekitar Sungai Liesbeek. Meski bebas, mereka masih di bawah pengawasan langsung VOC dan tidak diizinkan keluar dari pemukiman.
Hasil ladang, pertanian, atau peternakan mereka pun hanya boleh dijual melalui VOC dengan harga yang sudah dimonopoli. VOC lantas menjualnya kembali ke kapal-kapal yang singgah dengan harga tinggi.
Ketika permintaan produksi meningkat, Kompeni medatangkan budak dari berbagai wilayah untuk membantu Free Burghers. Di antaranya dari Khoi di Tanjung Harapan, Madagaskar, Bengal, dan Tanah Melayu. Pengiriman budak ini mulai gencar sekitar 1658.
Untuk kepentingan ekonomi, Belanda kemudian membebaskan lagi beberapa karyawan VOC untuk bertani, berladang, dan beternak.
Free Burghers yang terus bertambah populasinya di kemudian hari melakukan pemberontakan karena ketidakadilan sistem yang diterapkan Kompeni. Keturunannya kemudian dikenal sebagai bangsa Boer. Mereka adalah keturunan orang kulit putih yang berbahasa Afrika.
Sekitar 1689, para pengungsi dari Huguenot, Prancis, mulai bermigrasi ke wilayah dan lembah-lembah di sebelah barat Kaapstad. Disusul beberapa imigran dari Jerman, Skandinavia, dan Swiss yang akhirnya berkontribusi terhadap keragaman populasi. Mereka membaur dengan pemukiman yang sudah ada.
Free Burghers, budak-budak, dan para imigran yang ada di Kaapstad memiliki bahasa ibu sendiri. Mereka berasimilasi satu sama lain, kemudian membentuk varian dan dialek khas Afrika.
Dari sinilah sejarah Afrikaans atau bahasa Afrika bermula.
Koloni Inggris
Pada 1795, Inggris menduduki Kaapstad tak lama setelah Pangeran William V dari Belanda mengungsi akibat Revolusi Perancis. Belanda yang saat itu diduduki Perancis kemudian bertransformasi menjadi Republik Batavia.
Di sisi lain, Inggris dan Perancis yang juga tengah berkonflik akhirnya melakukan perjanjian damai yang disebut Perjanjian Amiens pada 1802.
Salah satu klausul Perjanjian Amiens adalah bahwa Inggris hanya dapat menguasai Tanjung Harapan selama 3 tahun, mulai dari 1795 hingga 1803. Setelah itu, wilayah itu harus dikembalikan ke Republik Batavia.
Selama diduduki Inggris, wilayah Kaapstad mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Para pegawai di wilayah koloni itu juga mendapatkan gaji tetap. Beberapa masalah terkait praktik curang terkait administrasi dan keuangan juga dibersihkan.
Sayangnya, pemberontakan yang dilakukan orang-orang Boer dan penduduk Kaapstad di perbatasan semakin meningkat. Mereka tidak mau begitu saja tunduk pada pemerintahan Inggris.
Saat Belanda mengambil alih kembali Tanjung Harapan pada 1803, Inggris dan Perancis kembali berperang. Pertempuran laut yang dimenangkan Inggris di sekitar Kaapstad pada 21 Oktober 1805 membuka jalan Inggris untuk kembali menguasai Tanjung Harapan.
Ribuan tentara Inggris mulai menguasai Kaapstad pada 1806 dan memaksa Belanda untuk angkat kaki. Nama Cape Town kemudian mulai diperkenalkan untuk menggantikan nama Kaapstad.
Pendudukan Inggris periode kedua pun dimulai, sementara diam-diam kelompok nasionalis menyusun rencana untuk melakukan perlawanan.
Lahirnya Die Afrikaanse Patriot
Bahasa Inggris kemudian menjadi bahasa resmi yang diterapkan di semua sektor pemerintahan dan sipil di Tanjung Harapan menggantikan bahasa Belanda dan Afrikaans. Sekolah, pengadilan, rumah sakit, gereja, dan layanan sipil lainnya hanya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar.
Bukan hanya bahasa, Inggris juga memaksakan penyeragaman budaya di seluruh wilayah jajahannya.
S.J. du Toit, seorang pendeta di Cape Town, kemudian membentuk Die Genootskap van Regte Afrikaners(GRA) atau Masyarakat Afrika Selatan Sejati pada 14 Agustus 1875. Tujuan organisasi ini adalah mendapatkan pengakuan untuk Afrikaans sebagai bahasa resmi di wilayah Tanjung Harapan.
Sebelumnya, Pendeta du Toit dikenal rajin menerjemahkan Alkitab berbahasa Belanda ke dalam bahasa Afrikaans. Bersama anggota GRA lainnya, dia juga membuat standarisasi bahasa dengan menerbitkan buku Prinsip Pertama Bahasa Afrikaans.
Untuk memperluas pengaruh, GRA kemudian melakukan dua langkah besar, yakni menerbitkan surat kabar berbahasa Afrikaans, Die Afrikaanse Patriot, dan mendirikan sekolah Afrikaans, Gedenkschool der Huguenoten.
Die Afrikaanse Patriot pertama kali terbit dalam bentuk bulanan pada 15 Januari 1876. Menurut Fransjohan Pretorius dalam Geskiedenis van Suid-Afrika (2012), edisi pertama Die Afrikaanse Patriot banyak menuliskan kritik terhadap Inggris.
Salah satu tajuk pentingnya berjudul “Sejarah Negara Kita dalam Bahasa Rakyat Kita”.
Surat kabar ini dengan segera menjangkau semua kalangan penduduk karena dikemas dengan bahasa yang mudah diterima, lugas, dan memiliki sikap antikolonial. Kolom-kolom tanya-jawab seputar negara, bahasa, dan sejarah Afrika ditampilkan untuk mendorong masyarakat berpartisipasi dalam pergerakan.
Pada 1877, Die Afrikaanse Patriot menjadi surat kabar mingguan. Oplahnya pun terus bertambah sejak itu. Selain sikap antikolonial, surat kabar tersebut juga mengutuk perdagangan bebas, mencela bankir, dan sistem keuangan Inggris.
Dalam menjalankan redaksi, S.J. du Toit tidak sendirian. Dia dibantu saudaranya D.F. du Toit yang bertugas menyeleksi korespondensi dari para pembaca.
Du Toit bersaudara juga kerap menyisipkan Manifesto GRA dalam setiap edisi Die Afrikaanse Patriot.
“Tiga jenis orang Afrika, yakni orang Afrika dengan hati Belanda, orang Afrika dengan hati Inggris, dan orang Afrika dengan hati Afrika. Yang terakhir kami sebut Real Afrikaans,” demikian salah satu bunyi manifesto tersebut.
Gulung Tikar
Pada 1880, S.J. du Toit mendirikan partai politik anti-Inggris Afrikaaner Bond. Partai ini menyebarluaskan gagasan persatuan orang Afrika di koloni Inggris yang meliputi Cape Town, Natal, Transvaal, dan Orange Free State—4 wilayah yang nantinya membentuk Persemakmuran Uni Afrika Selatan.
Saat itu, Transvaal dan Orange Free State merupakan republik merdeka yang dikuasai orang-orang Boer.
Di kemudian hari, Afrikaaner Bond dicap sebagai embrio lahirnya Partai Nasional di Afrika Selatan yang melegalkan apartheid pada 1948.
Ketika tambang emas dan berlian ditemukan di Transvaal, gejolak politik semakin panas menyebabkan pecahnya Perang Boer. Ernest Douwes Dekker pernah terlibat dalam perang ini sebelum dipulangkan ke Hindia Belanda pada 1902.
Pada 1890, Afrikaaner Bond sempat membuat kerja sama dengan Inggris di bawah pimpinan Perdana Menteri Cecil John Rhodes. Aliansi ini merupakan usul S.J. du Toit untuk menggabungkan Transvaal dan Orange Free State di bawah kendali partainya.
Rhodes kemudian menyetujui usul tersebut dengan syarat S.J. du Toit bersedia mendukung konsesi Inggris atas tambang emas dan berlian di ke Transvaal.
Gara-gara kerja sama tersebut, surat kabar Die Afrikaanse Patriot mulai kehilangan pembacanya. Sirkulasinya terus menurun sejak 1892 hingga akhirnya gulung tikar pada 1904.
Beberapa koran berbahasa Afrikaans kemudian terus bermunculan, meski Afrika Selatan sudah menjadi bagian Persemakmuran Inggris sejak 1910. Seperti halnya Die Afrikaanse Patriot, sebagian besar surat kabar itu turut membawa ideologi politik-ekonomi pemiliknya.
Koran Die Burger yang didirikan D.F. Malan pada 1915, misalnya, merupakan batu loncatan agar dia lolos ke parlemen. Dia kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri di pemerintahan James Barry Munnik Hertzog pada 1924.
Berkat pengaruhnya yang besar dalam gerakan pemurnian Partai Nasional Afrika Selatan, dia pun sukses menjadi Perdana Menteri Afrika Selatan pada 1948.
Kemudian, ada surat kabar Die Volkstem yang dimiliki Jenderal Jan Christian Smuts. Dia adalah tokoh penting dalam penyusunan Konstitusi Liga Bangsa-Bangsa, cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lain itu ada pula Nasionale Pers (Naspers) yang kemudian menerbitkan beberapa surat kabar berbahasa Afrikaans, di antaranya Die Vaderland, Die Transvaler, Oggenblad, Volkshandel, dan Inspan.
Beberapa surat kabar tersebut membawa perubahan di bidang pendidikan di Afrika Selatan. Puisi dan sastra yang banyak dimuat di kolom-kolom redaksi membawa warna baru bagi literatur berbahasa Afrikaans.
Pada 1914, seturut Ensiklopedia Britannica, bahasa Afrikaans mulai mendapat tempat di sekolah sebagai media pengajaran. Pemerintahan Perdana Menteri Hertzog juga membuat penghargaan untuk puisi, prosa, dan drama dalam bahasa Afrikaans. Penerbitan buku berbahasa Afrikaans juga mulai menjamur di tahun yang sama.
Pada 1925, Afrikaans menjadi bahasa resmi nasional kedua setelah bahasa Inggris yang disahkan parlemen di Cape Town.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadrik Aziz Firdausi