Menuju konten utama

Di Balik Raibnya Presiden Interpol: Cara Brutal Cina Atasi Korupsi

Sempat lenyap seperti artis ternama Cina Fan Bingbing, keberadaan mantan presiden Interpol Cina Meng Hongwei akhirnya terang. Ia ditahan Pemerintah Cina karena dugaan korupsi.

Di Balik Raibnya Presiden Interpol: Cara Brutal Cina Atasi Korupsi
Meng Hongwei. AP Photo/Wong Maye-E

tirto.id - Suatu malam di Perancis, Grace Meng baru saja menidurkan anaknya. Tiba-tiba, telepon berdering. Suara pria yang terdengar dalam sambungan telepon tersebut membuat malam Meng berantakan. Ketakutan segera menguasai dirinya.

“Dengar saja dan jangan bicara apapun,” terang Grace menirukan ucapan pria tak dikenal itu. “Kita datang dengan dua tim, dua tim hanya untuk [memburu]mu.” Tak berhenti, pria itu melanjutkan, “Kami tahu kamu di mana.”

Ketika Grace mencoba untuk bertanya, sang pria kembali mengatakan, “Kamu jangan bicara, kamu dengarkan saja kata-kata saya.”

Grace Meng adalah istri dari Meng Hongwei, mantan presiden Interpol asal Cina yang ‘terpaksa’ turun dari jabatannya pada 7 Oktober lalu. Percakapan mengerikan antara Grace dan pria tak dikenal itu dilaporkan oleh South Cina Morning Post dan Associated Press.

Ancaman itu datang seminggu setelah Grace tak mendapatkan kabar dari Hongwei, yang menginjakkan kaki di Cina pada Selasa, 25 September. Kontak terakhir Grace dengan Hongwei terjadi setelah sang suami turun dari pesawat melalui aplikasi WhatsApp. Hanya ada dua pesan darinya.

Pada pesan pertama, Hongwei hanya menuliskan "tunggu teleponku". Empat menit berselang, Grace menerima pesan kedua yang berisi emotikon pisau. Grace menerjemahkan ikon tersebut sebagai sebuah peringatan bahaya. Pada 4 Oktober, ia melaporkan raibnya sang suami ke polisi Perancis.

Interpol pun turut bereaksi. Pada 5 Oktober, Interpol mengumumkan bahwa mereka sadar sang presiden telah menghilang. Dalam pernyataannya ke media pada 6 Oktober, Sekretaris Jenderal Interpol Jurgen Stock meminta klarifikasi dari Cina mengenai status Hongwei. Sehari berselang, organisasi itu mengatakan bahwa mereka telah menerima surat pengunduran diri dari Hongwei.

Di hari yang sama, Grace menggelar konferensi pers di Lyon, Perancis. Kepada sejumlah media internasional, ia mengatakan bertekad untuk terus mencari keadilan dan menguak kasus di balik raibnya sang suami.

"Untuk suami yang sangat saya cintai, untuk anak-anak saya yang masih kecil, untuk orang-orang di tanah saya, untuk semua istri dan anak-anak, sehingga suami dan ayah mereka tidak akan hilang lagi," kata Grace. Pernyataan itu ia sampaikan sambil memunggungi wartawan demi alasan keamanan diri dan anak-anaknya.

Masih pada hari yang sama, Partai Komunis Cina menyatakan Hongwei berada dalam penyelidikan komisi anti-korupsi partai karena diduga melakukan pelanggaran hukum.

Pada 8 Oktober, Pemerintah Cina secara resmi mengumumkan bahwa mereka memang telah menahan Hongwei. Suap dan pelanggaran hukum menjadi alasan utama dari penahanan tersebut.

Selain menjabat sebagai presiden Interpol, Hongwei adalah wakil menteri keamanan publik Cina sekaligus petinggi Partai Komunis Cina.

Cara Lama dengan Istilah Baru

Apa yang menimpa Hongwei sesungguhnya adalah cara-cara lama yang digunakan oleh Pemerintah Cina melalui lembaga supernya yang baru—yakni Komisi Pengawasan Nasional (National Supervision Commission/NSC)—untuk menangani terduga koruptor.

Dirancang untuk menghabisi praktik korupsi yang mengakar kuat di tubuh pemerintahan, NSC berdiri pada Maret 2018. Komisi ini bertugas mengawasi seluruh pegawai negeri dengan kewenangan yang luar biasa besar, lebih tinggi dari Pengadilan Rakyat Tinggi dan Kejaksaan Agung Rakyat. Dua yang terakhir disebut adalah institusi hukum tertinggi Cina.

Raibnya Hongwei selama beberapa hari adalah bagian dari pendekatan baru NSC yang disebut dengan istilah liuzhi (留置). Menurut pendekatan ini, terduga koruptor akan ditahan untuk diinterogasi selama kurun waktu tertentu, dibekukan asetnya, serta dan digeledah tempat tinggalnya.

Jurnalis Charlotte Gao, dalam esainya di The Diplomat menulis bahwa liuzhi adalah perluasan dari metode shuanggui (双规) yang sebelumnya sudah diterapkan di kalangan internal Partai Komunis Cina. Caranya serupa, yakni penahanan. Namun, Shuanggui dikenal brutal. Selain ditahan, terduga koruptor umumnya disiksa dan mendapat perlakuan kejam lainnya.

“Mekanisme baru liuzhi pada dasarnya melegalkan praktik shuanggui dan membuatnya berlaku tidak buat anggota Partai tetapi juga 'personel publik'," tulis Gao.

Guardian melaporkan, pada praktiknya mereka yang ditahan bisa saja tak diperbolehkan mengakses bantuan hukum hingga enam bulan setelah penahanan.

Meski demikian, anggota keluarga berhak memperoleh pemberitahuan bahwa anggota keluarga mereka sedang ditahan dalam waktu 24 jam. Dalam kasus Hongwei, ini tidak terjadi. Gao menulis, NSC berhak tidak memberitahu anggota keluarga jika langkah tersebut dinilai dapat menghalangi proses investigasi.

Infografik Meng Hongwei

"Liuzhi adalah sistem yang sangat baru, tapi kita bisa mengira-ngira jenis perlakuan yang didapat oleh mereka yang menjadi pesakitan dalam sistem tersebut," kata Michael Caster dari LSM HAM Safeguard Defenders.

Caster menyebutkan, beberapa perlakuan yang diterapkan ke terduga koruptor adalah membuat mereka kekurangan tidur secara berkepanjangan, pemiskinan paksa, tekanan psikologis sehingga mereka stres, hingga pemukulan. Perlakuan-perlakuan itu, lanjutnya, sering berujung pada pengakuan yang dibuat secara terpaksa.

Caster tidak membual. Pada bulan Mei, misalnya, seorang tahanan meninggal dunia setelah mengalami penyiksaan yang membuat mukanya rusak. Ia ditahan oleh NSC yang menerapkan pendekatan Liuzhi tersebut.

Hongwei merupakan figur tertinggi dan ternama yang pernah ditangani oleh NSC semenjak didirikan.

Korupsi di China memang marak. Cheng Hongming dalam bukunya Financial Crime in China: Developments, Sanctions, and the Systemic Spread of Corruption (2016) menuliskan, dari 1997 hingga 2002, Kejaksaan Agung Rakyat telah menuntut 550.000 orang dengan tuduhan korupsi. Dari ratusan ribu orang tersebut, terdapat tiga figur ternama: Chen Xitong (mantan Ketua Partai Komunis), Chen Liangyu (Pimpinan Partai Komunis di Shanghai), dan Bo Xilai (kepala partai komunis di Chongqing).

Meski cukup mengejutkan publik, tanda-tanda kejatuhan Hongwei sendiri sesungguhnya telah diprediksi.

Gao mencatat, pada awal April, misalnya, Hongwei sudah dicopot dari posisinya di Komite Partai Komunis dalam Kementerian Keamanan Publik Cina. Menurut Gao, pemecatan itu adalah "sinyal penting" bahwa karier politik Hongwei sedang terancam.

Menanti Vonis?

Mantan atasan Hongwei, Zhou Yongkang yang sempat menjabat sebagai Menteri Keamanan Publik, sudah divonis bersalah atas korupsi dan kejahatan lainnya pada 2015 lalu. Berdasarkan laporan South China Morning Post, kepolisian Cina menyatakan akan memberantas “warisan” dari Zhou.

Namun, sejumlah sumber mengatakan Hongwei tidak punya hubungan dengan dekat dengan Zhou.

Istri Hongwei, Grace, sendiri percaya bahwa suaminya tidak bersalah dan tuduhan suap kepadanya hanya merupakan “alasan” yang dibuat pemerintah agar bisa menahan Hongwei.

“Sebagai istri, saya percaya ia tak punya kemampuan untuk menyuap,” ucap Grace, seraya menambahkan bahwa ia bersedia untuk membuka akun bank mereka ke publik.

Masih menurut Guardian, berbagai spekulasi menyelimuti fakta kejatuhan Hongwei. Ada yang mengatakan bahwa kejatuhan Hongwei ini karena ia menyimpan terlalu banyak informasi sensitif sepanjang kariernya yang cemerlang.

Dengan rekor tingkat putusan pengadilan sebesar 99,9 persen, Hongwei sudah hampir dapat dipastikan akan mendapatkan hukuman, terlepas benar-tidaknya ia terlibat korupsi.

“Formulanya sederhana,” kata Maya Wang, peneliti senior China untuk Human Rights Watch. “Sampai dia mengaku, dia akan menghadapi penahanan dengan tekanan yang luar biasa, persidangan yang tidak adil, kemudian hukuman penjara yang mungkin akan berlangsung selama bertahun-tahun.”

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf