tirto.id - Awal 2019, penyiar radio Nastasha Abigail sempat menyayangkan kondisi radio masa kini yang mesti memutar lebih banyak lagu dan iklan ketimbang menyiarkan obrolan penyiar. Pada saat yang sama ia menyadari keberadaan Anchor, platform pembuat podcast yang dibentuk pada 2015. Kemudian muncullah ide untuk mengajak beberapa kawan--Reza Chandika, Radhini, Anka--untuk membuat podcast agar mereka bisa mendokumentasikan obrolan.
“Eksplor medium baru di mana kita bisa bebas ngobrol tanpa pakem-pakem yang biasa ada di radio dengan durasi yang lebih fleksibel juga tanpa selingan lagu. Topiknya pengalaman sendiri dan nostalgia. Ngomongin pop culture dan current issue tapi dikemas biar timeless. Awalnya nggak ekspektasi nyari cuan cuma pengen obrolan kami bisa ‘stay’,” kata Abigail kepada Tirto via telepon, Senin (6/7).
Podcast Abigail dkk bernama RAPOT dan jadi salah satu pelopor podcast gaya hidup di Indonesia. Kini RAPOT jadi salah satu Podcast populer di dalam negeri. Semakin hari semakin bertambah brand yang ingin memasang iklan di RAPOT mengingat antusiasme pendengarnya yang besar.
Di Indonesia, podcast mulai tumbuh pada paruh kedua 2019 dan diproduksi baik oleh selebritas atau bukan. Menurut Abigail, podcast populer karena gampang dibuat. Selain itu siaran yang bisa didengar sembari melakukan aktivitas lain, serta konten yang spesifik juga membuat platform ini diminati.
“Aku merasa sekarang komunitasnya jadi sehat karena ada ruang untuk bicara topik apapun. Ada temen-temen yang fokus membahas wacana para transgender, ada MudaMudaHAM. Di Indonesia saat ini yang paling laris masih konten komedi, horor, dan konten podcast seperti Rintik Sedu yang nuansanya mirip-mirip seperti kata-kata di buku nkcthi,” lanjut Abigail.
Sekarang popularitas Podcast juga jadi jalan untuk kembali mempopulerkan karya sastra Indonesia. Pada 6 Juni lalu dalam konferensi pers program Sandiwara Sastra--program sandiwara radio garapan Titimangsa Foundation--Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menyatakan bahwa ia berharap orang muda di Indonesia yang belum mengenal sastra yang ditulis pada zaman Pujangga Baru hingga zaman 2000-an bisa memahami karya sastrawan dalam format yang cenderung lebih mudah dipahami yakni drama radio berdurasi 30 menit.
“Ini cara pelestarian sastra pada masa sekarang. Cara pengenalan kepada publik,” katanya via Video Conference.
Program drama radio tersebut akan dibawakan 27 pesohor seperti Christine Hakim, Nicholas Saputra, Lukman Sardi, Iqbaal Ramadhan, Happy Salma, hingga Najwa Shihab. Publik bisa menyaksikannya lewat kanal Spotify Budaya Kita.
“Dalam format ini saya merasa kami pengisi suara belajar bagaimana menyampaikan cerita dengan ‘rasa’. Sebuah cara penyampaian yang menurut saya baik dan benar,” tutur Lukman Sardi dalam forum konferensi pers tersebut.
Format sandiwara radio ini juga jadi lahan eksplorasi bagi Abigail. Belakangan ia dan tim mengembangkan format “audio film” dengan konten serupa drama yang diambil dari permasalahan kehidupan sehari-hari yang dialami anggota RAPOT misalnya ibu muda yang sulit kembali berkarya sebagai penyanyi karena kesulitan membagi waktu lantaran mesti mengurus bayinya.
“Kami ingin orang punya experience lain ketika mendengar drama di radio dengan memasukkan sound effect seperti yang ada pada film. Untuk proyek ini saya sengaja mengajak teman-teman dari dunia film untuk mengerjakan naskah sampai mengerjakan efek suara. Biar kasarnya orang menyimak film tanpa visual,” lanjut Abigail.
Podcast Terus Diminati
Profesor komunikasi dari Pompeu Fabra University, Emma Rodero menyatakan keapada The Atlantic bahwa cara bercerita via audio dengan penuh penghayatan bisa membuat pendengar mengimajinasikan konten cerita dengan lebih jelas.
Menurut Rodero, penggunaan efek suara dalam cerita juga membantu membuat pendengar lebih tertarik untuk menyimak keseluruhan isi cerita.
“Audio adalah salah satu bentuk media yang sifatnya intim karena pendengarnya dipacu untuk membangun citra dan imajinasi sendiri dalam kepalanya yang membuat mereka bagai sedang memproduksi cerita versinya sendiri. Hal itu tidak akan bisa didapat dari media visual,” kata Rodero seperti yang dikutip dalam Atlantic.
Studi "Examining the Motives of Podcast Users" (2009) karya
Steven McClung dan Kristine Johnson menyebut podcast dikenal di AS pada 2004. Pada tahun tersebut podcast didengar oleh 820.000-an orang. Setahun kemudian, pertumbuhan pendengar podcast melonjak lebih dari 4.8 juta. Para pakar kemudian memprediksi Podcast akan terus berkembang seiring waktu. Mereka memperkirakan pada 2010 ada 80 juta orang di AS yang mendengarkan Podcast.
Perkembangan tersebut tidak hanya terjadi di AS tetapi juga di negara-negara lain. Salah satu indikatornya adalah dirilisnya Anchor pada 2015. Aplikasi ini kemudian turut menjadi andalan para podcaster baru di dalam negeri.
Berdasarkan studi McClung dan Johnson, orang-orang mendengarkan podcast untuk mencari hiburan karena ada anggapan konten podcast menyenangkan untuk disimak. Kemudahan akses juga menjadi faktor pendukung larisnya podcast. Sifat rekaman yang bisa diunduh kapan saja ternyata juga menimbulkan kesenangan tersendiri dalam diri penikmat podcast. Mereka bisa mengunduh dan membuat koleksi podcast dari berbagai jenis topik.
Hal lain yang juga membuat platform ini laris adalah munculnya aspek sosial. Podcast bisa jadi bahan pembicaraan antar teman maupun bahan pembuka pembicaraan dengan orang baru.
Menurut studi berjudul "How podcasting is changing the audio storytelling genre" (2016), sejarawan lisan Siobhán McHugh mengungkapkan bahwa hal yang membedakan podcast dari platform lain adalah unsur kedekatan yang tercipta. Dalam podcast, pendengar benar-benar dengan sadar memilih untuk mendengarkan kanal tertentu karena sadar memiliki kesamaan minat dengan produsen podcast. Hal tersebut kemudian berpengaruh ke konten pembicaraan yang langsung pada inti tanpa perlu basa-basi.
Editor: Windu Jusuf