Menuju konten utama

Google: Pandemi Corona Membuat Banyak Orang Semakin Religius

Gara-gara corona, orang-orang kini rajin berdoa.

Google: Pandemi Corona Membuat Banyak Orang Semakin Religius
Ilustrasi orang berdoa. foto/istockpphoto

tirto.id - Di India, Maret 2020 lalu, Jamaah Tabligh--gerakan dakwah Muslim multinasional yang berpusat di Nizamuddin Barat, Delhi--mengadakan pertemuan besar para pengkhotbah. Selain didatangi pengikutnya dari India, perhelatan tersebut juga didatangi banyak pendakwah luar, seperti dari Malaysia, Pakistan, dan Indonesia. Pertemuan gerakan yang digagas oleh Muhammad Ilyas al-Kandhlawi pada 1926 ini dihadiri tak kurang dari 4.000 orang, dan acaranya dilangsungkan mulai tanggal 1 hingga 20.

Masalahnya, pertemuan itu berbarengan dengan merebaknya SARS-CoV-2, virus di balik pandemi COVID-19. Tahir Iqbal, peserta pertemuan itu, sebagaimana disampaikannya kepada Jeffrey Gettleman untuk The New York Times menyatakan ketika pertemuan berlangsung, segala kegiatan--termasuk tidur, makan, dan beribadah--dilakukan dalam jarak yang sangat dekat satu sama lain. Meskipun tahu tentang Corona, ucap Iqbal, “kami (para peserta) tidak memikirkannya secara serius”.

Karena COVID-19 belum ada obatnya dan satu-satunya cara terbaik melawan ialah melakukan social/physical distancing, Perdana Menteri India Narendra Modi melarang kumpul-kumpul lebih dari 50 orang pada 16 Maret. Tak lama setelahnya, Modi memperkuat pelarangan: lockdown nasional.

Alih-alih membubarkan diri, pertemuan Jamaah Tabligh masih berlangsung. Dalam khotbahnya pada 19 Maret, Maulana Saad Kandhalvi, salah satu tokoh dalam pertemuan itu, menyerukan kepada orang-orang yang datang untuk bertahan. Ia juga menegaskan bahwa virus Corona adalah “hukuman Tuhan”. Walhasil, 1.000 peserta yang hadir bertahan. Sebagian lain menyebar pulang ke seantero India dan berbagai negara di kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah.

Singkat cerita, dari pertemuan besar-besaran yang diadakan di tengah pandemi Corona, lebih dari 8.000 kasus positif corona muncul hanya di India. Tak lama kemudian, Jamaah Tabligh menjadi sasaran kemarahan publik India--negeri yang lebih dari 200 juta penduduknya menganut Islam dan 1,3 miliar beragama Hindu. Partai Bharatiya Janata, kendaraan politik Modi, menyebut orang-orang Muslim yang mengikuti pertemuan sebagai “bom manusia” dan “jihad Corona”. Di lain sisi, minoritas Sikh India menyerukan pengikutnya untuk tidak membeli susu dari peternakan milik Muslim karena dikhawatirkan telah terinfeksi Corona.

Jamaah Tabligh, yang dicerca publik India sebagai biang penyebaran Corona, tidak sendirian. Di Korea Selatan, pengikut Gereja Yesus Shincheonji bernasib serupa. Musababnya, seorang pengikut Shincheonji berumur 61 tahun--yang kemudian dikenal sebagai ‘Pasien No. 31’--memilih tetap datang ke gereja untuk melakukan kebaktian di tengah pandemi, sikap yang sebetulnya didukung gereja Shincheonji karena mereka terang-terangan tetap menginginkan pertemuan fisik berlangsung. Masalahnya, pengikut berusia 61 tahun ini telah terinfeksi Corona. Dan karena gereja Shincheonji melarang pengikutnya menggunakan masker dan tetap melakukan kontak fisik dalam beribadah, hingga pekan pertama Maret lalu, hampir 5.000 kasus positif Corona di Korea berhubungan dengan gereja Shincheonji.

Publik Korea, yang biasanya hanya marah ketika idola K-Pop mereka dicerca, kini marah terhadap Shincheonji.

Uniknya, bagai koin yang memiliki dua sisi, pandemi Corona bukan cuma menghadirkan publik yang marah kepada suatu agama atau kepercayaan, tetapi juga membuat publik lebih giat beribadah. Pandemi, tulis Henry Mance dalam tulisannya untuk Financial Times, “telah memicu pencarian ilahiah” sebagian penduduk Bumi.

Pew Research Center menyebutkan bahwa selama pandemi 55 persen penduduk dewasa Amerika Serikat mengaku berdoa meminta Tuhan segera mengakhiri wabah. Mayoritas (86 persen) mengaku berdoa setiap hari. Di sisi lain, orang AS yang mengaku tidak berdoa hanya berjumlah sekitar 15 persen. Lebih jauh, seperempat orang Amerika Serikat mengatakan pandemi telah menguatkan iman mereka, sementara hanya 2 persen mengatakan pandemi melemahkannya imannya.

Infografik Religius di Tengah Wabah

Infografik Religius di Tengah Wabah. tirto.id/Fuadi

Mengintip tren di tengah masyarakat melalui Google Trends, selama pandemi berlangsung, terjadi peningkatan pencarian dengan kata kunci/kueri yang berhubungan dengan religiusitas. Pencarian kata kunci “Nabi Muhammad”, misalnya, meningkat di Google sejak 28 Maret 2020. Pencarian yang kemungkinan tidak berhubungan dengan bulan suci Ramadhan karena puasa barub dimulai pada 24 April.

Lalu, kata kunci “Yesus” meningkat dicari di Google mulai 30 Maret 2020. Sangat mungkin pencariannya tidak berhubungan dengan Paskah karena perayaan itu terjadi pada 12 April. Kata kunci “Musa” meningkat dicari di Google mulai 5 April 2020.

Khusus di wilayah maya Indonesia, Google Trend mencatat kueri gabungan religiusitas dan corona memang meningkat. Pencarian kata kunci “doa virus corona”, “doa terhindar virus corona”, “doa mencegah corona”, dan bahkan “shalat corona”, misalnya, meningkat dan akhirnya oleh Google diberi label breakout, menunjukkan tingginya rasa ingin tahu dari masyarakat tentang suatu kueri.

Wesley J. Wildman, dalam editorial untuk jurnal Religion, Brain, and Behaviour edisi 2/2020 menyatakan bahwa peningkatan religiusitas pada sebagian penduduk saat pandemi berlangsung terjadi karena agama dianggap sebagai pelipur lara. Dan karena hingga kini obat Corona belum ditemukan, sosok ilahiah jadi satu-satunya harapan sebagian masyarakat untuk keluar dari penderitaan yang diakibatkan Corona. Pandemi corona, tegas Wildman, dianggap sebagai cobaan Tuhan. Pasrah dan menerima takdir atas Corona dianggap “sebagai pembuktian iman mereka”. Keyakinan ini seturut dengan kisah-kisah klasik keagamaan, misalnya tentang kisah Genesis, pengusiran dari Surga, permusuhan antara manusia dan ular. Pendeknya: penderitaan yang dihadirkan pada manusia hanya sebatas cobaan dan pada akhirnya kesenangan akan diterima.

Alasan ini sebetulnya, kembali merujuk Mance, bukan hanya terjadi ketika pandemi corona kini berlangsung. Pada 1918, ketika flu Spanyol muncul, Gereja Katolik menegaskan bahwa wabah “adalah hukuman dari Tuhan” dan “pengabdian adalah jalan satu-satunya keselamatan”.

Baca juga artikel terkait AGAMA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf