Menuju konten utama
Dampak Pandemi Corona

Di Balik Jokowi Minta Program Cetak Sawah usai Gusur Lahan Rakyat

Program cetak sawah Jokowi di lahan gambut demi mencegah ancaman krisis pangan akibat pandemi COVID-19 padahal sudah menggusur lahan rakyat untuk proyek infrastruktur.

Di Balik Jokowi Minta Program Cetak Sawah usai Gusur Lahan Rakyat
Presiden Joko Widodo memberikan arahan pada pembukaan Rakornas Investasi 2020 di Jakarta, Kamis (20/2/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membuka lahan persawahan baru demi mencegah ancaman krisis pangan yang terjadi akibat COVID-19 atau pandemi virus corona.

Hal itu dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto. Ketua Umum Partai Golkar itu menerangkan saat ini lahan basah dan gambut di Kalimantan Tengah lebih dari 900 ribu hektare (ha).

"Sudah siap 300 ribu hektare. Juga yang dikuasai BUMN ada sekitar 200 ribu hektare," kata Airlangga dalam video conference, Selasa (28/4/2020).

Jokowi menekankan, manajemen pengelolaan beras penting selama pandemi COVID-19. Ia berpendapat, pengelolaan beras penting dalam rangka mengantisipasi dan mitigasi krisis pangan di Indonesia sebagaimana peringatan dari Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di sisi lain, Jokowi tetap meminta Bulog membeli gabah petani dengan insentif harga layak selama pandemi. Mantan Wali Kota Surakarta ini juga meminta agar pemerintah mewaspadai kemungkinan kemarau panjang. Ia tidak ingin Indonesia kekurangan beras selama pandemi berlangsung.

"Tolong juga dikalkulasi kemungkinan terjadi kemarau panjang di 2020 ini walau prediksi BMKG tidak ada cuaca yang ekstrem. Namun, tetap harus diwaspadai terutama yang berkaitan dengan ketersediaan beras nasional kita," kata Jokowi saat rapat terbatas via teleconference, Selasa (28/4/2020) .

Jokowi sebelumnya meminta jajarannya untuk menghitung betul ketersediaan sembako. Sebab, beberapa daerah mulai mengalami defisit sembako. Ia memasukkan beras sebagai salah satu daftar sembako yang defisit di tujuh provinsi.

Presiden Jokowi berharap Indonesia bisa memproduksi sekitar 5,62 juta ton beras dalam panen raya pada April 2020. Hal tersebut berdasarkan laporan yang diterimanya.

"Kami berharap puncak panen raya di April ini, produksi beras kita kemarin saya mendapatkan laporan bisa mencapai 5,62 juta ton. Ini sangat bagus," kata Jokowi.

Cetak Sawah Usai Gusur Lahan Rakyat

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai keinginan Presiden Jokowi untuk mencetak sawah di lahan gambut itu membuktikan pemerintah tengah keteteran menghadapi krisis yang ditimbulkan akibat COVID-19. Yakni ketakutan akan kekurangan stok pangan.

Namun, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial WALHI Wahyu Pradana mengkritisi wacana Presiden Jokowi untuk mencetak sawah itu. Lantaran sebelumnya, Jokowi bersama jajarannya telah menggusur lahan rakyat demi membangun infrastruktur.

Misalnya saja pembangunan Bandara New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura I yang telah menggusur sejumlah lahan warga secara paksa lewat ekskavator dan pengerahan ratusan pasukan gabungan polisi, TNI, dan Satpol PP. Bahkan rumah ibadah sampai rata dengan tanah.

Padahal, lahan tersebut digunakan oleh warga untuk bertani, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan sisanya baru dijual.

"Kami masih ingat betul bagaimana argumentasi sedulur Kulon Progo menghadapi penggusuran. Mereka berhitung dan membandingkan bahwa ekonomi cukup baik dengan pertanian," kata dia kepada Tirto, Jumat (1/5/2020).

Tak hanya itu, sejumlah kasus penggusuran lainnya atas nama pembangunan kerap terjadi. Seperti pembangunan proyek jalan tol Jakarta-Cikampek II sisi selatan. Proyek tersebut menggusur bangunan warga di tiga kelurahan di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi.

Kemudian pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga menggusur sejumlah lahan warga yang dilakukan oleh PT Kereta Commuter Indonesia China (KCIC).

Wahyu menjelaskan, dampak penggusuran lahan warga, terutama yang sebelumnya digunakan untuk bertani, akan mengikis persediaan pangan yang dihasilkan dari wilayah tersebut.

Sebelum pemerintah menggusur dan menggunakan lahan untuk pembangunan infrastruktur, kata dia, seharusnya mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang. Seperti akan terjadi krisis pangan apabila lahan untuk bertani terus-terusan digusur untuk membangun infrastruktur.

Selain itu, pemerintah juga harus memikirkan hak asasi manusia. Sebab penggusuran bukan hanya merugikan korban, tetapi bangsa Indonesia pun ikut terdampak.

"Saat ini kita dihadapkan pada fakta, kebutuhan mendasar tidak bisa digantikan," ucapnya.

Kemudian Wahyu pun meminta agar pemerintah tidak lagi mengulang kesalahan masa lalu dan berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi.

Pemerintah, kata dia, seharusnya berhenti menambah kerugian negara dengan mencetak sawah di lahan gambut. Pasalnya, langkah serupa sudah pernah dilakukan pemerintah sebelumnya, proyek “lahan gambut sejuta hektar” pada masa orde baru (Orba), dimulai tahun 1995 dan diputuskan berakhir 2001.

Hal tersebut dilatarbelakangi ketidakpahaman akan ekosistem gambut, sehingga akibatnya pada masa akhir proyek tersebut setidaknya sudah menyedot APBN Rp1,6 triliun, dan tidak punya dampak signifikan pada ketersediaan pangan.

Ketidakpedulian dan ketidakpahaman akan ekosistem rawa gambut, menyebabkan bencana ekologis yang makin meningkat. Rusaknya ekosistem gambut juga jadi biang karhutla. Dalam catatan olah data Walhi sepanjang 2019, sebanyak 36.952 hotspot terekam berada pada Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG).

Dia mengatakan, ekosistem gambut memiliki fungsi hidrologis esensial. Akibatnya jika ekosistem ini kekeringan punya potensi kebakaran dan banjir pada musim penghujan.

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kata dia, 98 persen bencana hidrometeorologi terjadi pada Januari sampai Oktober 2019.

"Belum lagi karbon yang terlepas dari ekosistem gambut yang rusak memperbesar resiko bencana ekologis," tuturnya.

Selanjutnya, dia meminta terkait pangan, agar pengerjaannya dikembalikan kepada petani dengan memberikan hak atas tanah. Seperti mengerjakan secara serius program perhutanan sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

Menurut Wahyu, selama ini, kegiatan yang digadang-gadang menjadi program unggulan Presiden Jokowi tersebut tidak berbanding lurus dengan capaian di lapangan. Begitu juga program cetak sawah dengan TNI yang dikerjakan Kementan.

"Pada saat yang sama petani kesulitan lahan, dan tidak jarang berhadapan dengan konflik agraria," pungkasnya.

Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan menilai rencana Jokowi mencetak sawah di lahan gambut merupakan upaya yang bagus demi cegah krisis pangan.

"Tapi sejauh mana BUMN siap dan bisa bekerja cepat," kata dia kepada Tirto.

Oleh karena itu, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu meminta kepada pemerintah agar menjalankan proyek tersebut secara sungguh-sungguh.

Seperti menyiapkan anggarannya, peralatan, pekerja, teknis pengerjaan, serta pengairan air hingga ke lahan.

"Semua fokuskan untuk amankan pangan," pungkasnya.

Anggaran Telah Direalokasi

Kementerian Pertanian melalui Ditjen Prasarana dan Saran Pertanian mengatakan telah menghilangkan anggaran untuk program cetak sawah sebagai salah satu komponen penghematan dalam rangka realokasi anggaran dan refocusing kegiatan untuk percepatan penanganan COVID-19.

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Sarwo Edhy menjelaskan dalam postur anggaran Tahun 2020, alokasi untuk program cetak sawah dan Survei, Investigasi dan Desain (SID) sebesar Rp209,8 triliun dengan target luas 10.000 hektare. Dalam rancangan penghematan Ditjen PSP, anggaran tersebut dipangkas menjadi tersisa Rp10,8 miliar.

"Anggaran cetak sawah juga dihilangkan, dari Rp209 miliar, kita sisakan menjadi hanya Rp10,8 miliar. Tetapi itu hanya untuk SID sudah jalan di lima provinsi yang nilainya Rp10,8 miliar," kata Sarwo Edhy dalam rapat dengar pendapat virtual bersama Komisi IV di Jakarta, Rabu lalu.

Sarwo Edhy menjelaskan bahwa anggaran cetak sawah dihilangkan, sementara anggaran SID tetap dipertahankan karena telah dilakukan di lima provinsi, yakni Lampung, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Tengah.

Baca juga artikel terkait DAMPAK PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri