tirto.id - Renault, Nissan, dan Mitsubishi tengah merasakan manisnya sebuah aliansi dalam industri otomotif. Seperti yang dilansir dari The New York Times, pada 2017 lalu kelompok ini secara global berhasil menjual 10,6 juta mobil, unggul atas Volkswagen Group yang mencatat 10,1 juta mobil dan Toyota yang hanya mampu mengirimkan 9 juta mobil.
Selain aliansi Renault – Nissan – Mitsubishi, Toyota – Daihatsu, serta Volkswagen Group yang membawahi banyak merek ternama seperti Porsche, Audi, Skoda, Seat, Bentley, Bugatti, Lamborghini, Scania, Ducati, juga merek kendaraan komersial MAN.
Masih ada beberapa aliansi perusahaan otomotif di dunia yang cukup besar, misalnya Fiat Chrysler Automobiles yang mengasuh merek Fiat, Jeep, Dodge, Chrysler, Alfa Romeo, Abarth, Lancia, dan Maserati. Kemudian ada aliansi antara BMW dan MINI, juga Tata Motors dan Jaguar Land Rover yang rupanya telah menjalin kerja sama sejak 2008.
Kerja sama yang dilakukan beberapa merek tadi terasa wajar di mata industri. Sebab di antara mereka ada yang dimiliki oleh satu perusahaan yang sama, maupun aliansi yang sudah terjalin sejak masa lampau, atau juga satu kepemilikan saham.
Namun, ada juga beberapa merek yang melakukan kerja sama di luar aliansi grupnya bahkan dengan kompetitor, seperti yang dilakukan sejumlah merek otomotif belakangan ini.
Kolaborasi dengan Pesaing, Kenapa Tidak?
Pada masa lalu, aliansi di antara kedua perusahaan otomotif yang saling bersaingan tak mungkin terjadi. Sampai akhirnya teknologi baru mengubah wajah industri otomotif, alih-alih berkompetisi dengan cara lama, beberapa merek yang berseberangan justru berkolaborasi dalam bidang tertentu.
Misalnya kerja sama antara Honda dan General Motors (GM), dikutip dari autonews.com, kedua perusahaan telah menyatakan untuk membuat komponen baterai kimia canggih untuk proyek autonomous vehicle. Termasuk sel dan modul guna mempercepat rencana kedua perusahaan untuk kendaraan listrik. Bahkan sebelumnya, GM dan Honda telah lebih dulu mengembangkan sistem sel bahan bakar hidrogen.
Lalu ada Ford dan Volkswagen yang telah mengumumkan untuk mengembangkan van komersial dan pickup berukuran sedang yang dimulai pada 2022. Menurut laporan CNN, kedua perusahaan juga telah setuju untuk mengembangkan kendaraan generasi berikutnya, seperti mobil listrik dan autonomous vehicle.
Kemudian Mercedes-Benz dan BMW secara mengejutkan telah mengumumkan kerja sama strategis dalam bidang kendaraan alternatif. Khususnya pada pengembangan mobil self-driving atau otonom ke level yang lebih tinggi. Melihat dari The Drive, kedua raksasa otomotif Jerman memandang perjanjian ini sebagai kerja sama strategis jangka panjang dengan tujuan membuat teknologi tingkat selanjutnya tersedia secara luas hanya dalam beberapa tahun.
Paling terkini tentu saja kerja sama yang dilakukan Toyota dan Suzuki, yang berencana memproduksi kendaraan listrik serta mobil kompak agar lebih bersaing dalam industri global. Saat ini Toyota adalah pemimpin dalam teknologi hibrida dan telah berinvestasi banyak di sektor autonomous driving, sementara Suzuki mengkhususkan diri pada mobil kompak yang terjangkau.
Dilaporkan oleh Reuters, kedua perusahaan akan melakukan proses manufaktur pada pertengahan 2019. Dari kesepakatan itu, kendaraan yang dibuat Suzuki akan diganti namanya menjadi mobil Toyota, sedangkan kendaraan Toyota akan menggunakan merek Suzuki.
Belum untuk di Indonesia
Punya hubungan yang bersahabat di tingkat global, rupanya bukan jaminan perusahaan otomotif yang saling bersaing ini bisa akur di Indonesia, Toyota dan Suzuki contohnya.
Henry Tanoto, Vice President Director PT Toyota Astra Motor, mengatakan kerja sama kedua merek di level global tidak akan terjadi dalam skala domestik. “Di Indonesia, kami tidak ada kerja sama. Sejauh ini tidak ada perencanaan juga seperti yang disebutkan rekan-rekan jurnalis. Jadi, ya seperti sekaranglah,” ujar Henry seperti yang dikutip dari Suara.
Suzuki pun melontarkan pernyataan yang senada. “Itu ranah kantor pusat kami, saya tidak berwenang untuk bicara kerja sama antara Suzuki dan Toyota di global khususnya di India,” terang Donny Ismi Saputra, Direktur Pemasaran 4W PT Suzuki Indomobil Sales kepada GridOto.
Kenapa makin banyak perusahaan otomotif yang beraliansi?
Kesepakatan yang terjalin antara perusahaan otomotif, baik yang sebelumnya sudah bekerja sama maupun yang masih berkompetisi, dinilai sebagai langkah untuk menekan biaya riset dan pengembangan. Hal ini diungkap oleh Prof. Peter Wells, Direktur Pusat Riset Industri Otomotif di Cardiff Business School kepada BBC.
“Penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan teknologi baru ini juga menelan biaya miliaran, jadi masuk akal untuk berbagi beban daripada menggandakan,” ujarnya. Termasuk saat menyambut era mobil listrik serta mobil otonom, tantangan bagi industri otomotif menurut Peter Wells telah berubah.
Hal ini membuat produsen kendaraan konvensional perlu kerja sama untuk mempersiapkan diri menghadapi era yang ia sebut belum jelas arahnya ke mana. “Tidak ada yang tahu persis apa yang akan terjadi dengan mobilitas masa depan, jadi mereka saling kerja sama untuk menurunkan risiko,” terang Profesor asal Inggris ini.
Perusahaan otomotif akhirnya harus berjuang untuk tetap relevan, terutama karena perusahaan teknologi seperti Uber dan Google dirasa bakal mengambil alih bisnis mereka. Ancaman yang lebih besar, menurutnya adalah soal kepemilikan mobil yang bisa turun. Sebab saat kendaraan otonom sudah dirilis, banyak orang yang diprediksi bakal memilih untuk menyewa atau meminjam mobil ketimbang membelinya.
“Ada banyak kekhawatiran tentang perusahaan teknologi mengambil alih industri, tetapi ini sedikit surut karena perusahaan teknologi melihat betapa sulitnya membuat mobil. Lihatlah Tesla, mereka baru saja menghasilkan keuntungan setelah 15 tahun beroperasi. Ini bukan industri yang mudah untuk menghasilkan uang,” tutup Peter.
Aliansi pabrikan otomotif seolah sedang mengekor dari bisnis ride-sharing yang kini mendisrupsi banyak bisnis era digital. Untuk melawan disrupsi, mereka memang butuh aliansi, sekalipun dengan lawan mereka sendiri.
Editor: Suhendra