tirto.id - Kehadiran tempat penampungan hewan swasta menjadi andalan di tengah terbatasnya Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) milik pemerintah. Namun begitu, keberadaan shelter hewan semacam ini kerap menciptakan ketegangan dengan warga sekitar.
Warga RT 02/RW 08, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, belum lama ini dilaporkan mendesak Pejaten Animal Shelter ditutup usai insiden babi hutan lepas dan masuk ke permukiman warga, pada Rabu (25/6/2025).
Alasan yang dilontarkan masyarakat bukan karena membenci hewan, melainkan meminta tak adanya penampungan hewan di lingkungan permukiman.
Pemilik Pejaten Shelter, Susana Somali, mengaku sebenarnya pihaknya tak membuat penangkaran atau peternakan babi. Akan tetapi, saat mau merelokasi babi yang ada di shelter, ada seekor yang kabur. Babi itu disebut tak sampai masuk rumah, melainkan hanya di pinggiran jalan.
“Ya beberapa (rumah warga) potnya kesenggol, ketabrak. Terus motor yang (penyok karena) ketabrak dikit diperbaiki semua. Sudah saya perbaiki semua, pot-pot juga sudah,” ungkap Susana ketika dihubungi Tirto, Senin (30/6/2025).
Ia justru bertanya-tanya dengan maksud “penutupan”. Lantaran Susana merasa tak pernah membuka akses terhadap tempat penampungan hewannya, seperti layaknya kebun binatang. Semua hewan yang dia tangani, menurut dia, ada di dalam halaman rumah dan diberi pagar.
Menurut Susana, hewan-hewan yang ada di Pejaten Shelter juga sudah divaksin lengkap, plus vaksin rabies. Hewan tersebut kebanyakan merupakan anjing dan kucing, kemudian ada juga sedikit kera yang belum direlokasi.
Beberapa monyet itu dikatakan Susana sedang menunggu kolonisasi. Kolonisasi membantu monyet dalam melindungi dirinya, berkembang biak, serta membantu melakukan aktivitas lainnya seperti melakukan grooming.
“Penutupan penampungan hewan peliharaan itu bisa, tapi kan kita masih menunggu perencanaan Gubernur DKI untuk bikin Puskeswan 15 (unit). Dan kita mengundang Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten, karena apa yang di Pejaten itu kan limpahan mereka sebetulnya,” ujar Susana.
Di Jakarta sendiri, menurut informasi dari Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta, puskeswan kini masih berjumlah satu unit, yang berlokasi di Ragunan, Pasar Minggu. Di dalam puskeswan tersebut terdapat shelter yang dapat difungsikan sebagai tempat penampungan hewan dengan kapasitas untuk anjing sebanyak 150 ekor.
Sementara Pejaten Shelter menjadi tempat tinggal, lebih dari 10x jumlah tersebut. Pada tahun 2020 lalu, mereka masuk daftar Museum Rekor Indonesia (MURI) karena menampung 1.500 ekor anjing, 250 ekor kucing, dan 52 ekor kera.
Saat ini, Pejaten Shelter telah menampung dan mengasuh hampir lebih dari 1.500 ekor anjing, 250 ekor kucing, dan 52 ekor kera.#muriuntukindonesia#PejatenShelter
— Rekor MURI (@MURI_org) October 4, 2020
Kepala Dinas KPKP DKI Jakarta, Hasudungan Sidabalok menekankan perlunya proses komprehensif dan diskusi dengan berbagai elemen atau instansi terkait agar bisa menemukan solusi.
“(Penutupan) tidak bisa diputuskan dengan gegabah, mengingat populasi anjing liar yang ditampung (Pejaten Shelter) jumlahnya sangat banyak. Untuk solusi jangka pendek kami meminta Pejaten Shelter untuk berhenti rescue atau mengambil hewan liar agar tidak menambah populasi dan mengurangi populasinya secara bertahap,” ungkap Hasudungan lewat keterangan tertulis, Senin (30/6/2025).
Kelola Shelter Bukan Perkara Mudah
Eksistensi tempat penampungan hewan seperti Pejaten Shelter sebenarnya sungguh signifikan. Tak sekadar merawat hewan liar dan terlantar, menurut Hasudungan dari Dinas KPKP DKI Jakarta, organisasi nirlaba untuk kegiatan penyelamatan dan penampungan hewan rentan rabies (HRR) liar dan terlantar itu, sangat mendukung kinerja pihaknya dalam membantu pengendalian hewan liar, terutama anjing liar.
Apalagi, mengingat kapasitas shelter di Jakarta sangat terbatas. “Tetapi pengelolaan shelter tersebut menjadi tanggung jawab dari Pejaten Shelter, agar menerapkan manajemen shelter yang baik,” ujar Hasudungan.
Berdasarkan Keputusan Kementerian Pertanian nomor 566/Kpts/PD.640/10/2004, ia menyebut, Jakarta merupakan daerah bebas rabies sejak tahun 2004, tetapi statusnya adalah bebas terancam lantaran masih dikelilingi oleh daerah yang belum bebas.
“Salah satu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan DKI Jakarta sebagai daerah bebas rabies adalah pengendalian hewan rentan rabies,” ungkap Hasudungan.
Founder Jakarta Cat Lovers, Shinta Saraswati, pun menyatakan kontra jika Pejaten Shelter harus ditutup. Insiden babi hutan yang lepas dikatakan merupakan sesuatu yang tak disengaja dan tidak sebanding dengan jasa yang selama ini sudah dikeluarkan Pejaten Shelter.
“Nggak sebanding pengorbanan penjagaan shelter yang selama ini ngurusin ya. Taruh lah ada alpa-alpanya. Memangnya kalau kalian seperti Dokter Susana itu, emang bisa lebih bagus? Belum tentu. Masa satu kesalahan aja harus ditutup, nggak fair banget,” ujar Shinta, lewat telepon, Senin (30/6/2025).
Apalagi, menurut Shinta yang juga memiliki shelter kucing di area Kuningan, Jakarta Selatan, mengelola tempat penampungan dan mengurus hewan-hewan terlantar tidaklah mudah. Beberapa tantangan turut menyertai seperti keterbatasan finansial dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Belum lagi jika kucing-kucing yang diserahkan masyarakat ke shelter semakin banyak. Maka kebutuhan untuk menambah SDM jadi semakin besar, namun hal ini tidak mudah dilakukan. Oleh karenanya, Shinta mengaku membatasi jumlah kucing yang masuk ke shelter-nya, untuk memastikan semua bisa terawat dengan baik.
“Jadi kita juga nggak senang dibebankan terus karena apa, kan kita juga harus cari uangnya sendiri. Oke lah bicara donatur, tapi donaturnya bukan tetap,” beber Shinta.
Ia turut mendorong para pemilik shelter di luar sana untuk mengukur kemampuan, alih-alih kemauan. Setiap shelter jangan sampai menampung terlalu banyak binatang tapi sebenarnya tidak sanggup merawatnya.
“Jangan kuantitas, tapi kualitas. Artinya kalau memang kita sanggupnya cuma dua, ya sudah jangan 10. Kasihan (sama hewan itu) awalnya. Tapi ujungnya gimana? Kadang-kadang kan orang ada yang nggak stabilnya ya,” ungkap Shinta.
Perlunya Revisi Perda Pengendalian HPR
Penampungan hewan penular rabies sebenarnya diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 199 Tahun 2016 tentang Pengendalian Hewan Penular Rabies (HPR).
Dalam pasal 12 disebutkan, setiap tempat penampungan HPR harus memenuhi berbagai persyaratan, di antaranya memiliki kandang penampungan HPR, lokasi kandang penampungan dengan bangunan lainnya dibatasi oleh dinding setinggi paling rendah 2,5 meter, dan mempunyai septic tank untuk pembuangan limbah HPR.
Selain itu, penampungan HPR juga mesti memiliki kandang isolasi untuk HPR yang sakit, memiliki sarana penguburan/pembakaran, HPR yang ditampung telah divaksinasi rabies, dan lokasi tempat penampungan sesuai dengan zona keperuntukannya.
Namun begitu, untuk mencapai kota global yang ramah hewan, pemerintah Jakarta perlu merevisi kebijakan tersebut dan aturan terkait lain, seperti Perda Nomor 11 Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies.
Menurut anggota DPRD DKI Jakarta, Francine Widjojo, dalam Pergub 199/2016 tertulis setiap rumah di Jakarta hanya boleh memelihara maksimal 5 HPR tanpa melihat luasan rumah dan lahannya.
"Harus ada kajian yang lebih dalam sebelum menentukan hal-hal semacam ini," ujar Francine dalam diskusi 'Kebijakan Kesehatan dan Kesejahteraan Hewan di DKI Jakarta', seperti dilaporkan Detik, Kamis (31/10/2024)
Ia mengakui masih banyak aturan yang perlu dibuat dan disempurnakan. Tujuannya supaya Jakarta dapat menjadi kota yang ramah hewan.
"Selain itu perlu sosialisasi pada warga agar masyarakat dapat hidup berdampingan secara harmonis dan sehat dengan hewan-hewan di sekitarnya," katanya
Sementara itu, Dinas KPKP menyatakan saat ini sedang membahas rencana pembangunan puskeswan di setiap wilayah kota yang ada di Jakarta, yang nantinya akan dilengkapi dengan fasilitas shelter. Penambahan shelter itu diharapkan bisa membantu pengendalian hewan terlantar.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id

































