Menuju konten utama

Demokrat Sering Kritik Prabowo-Sandi: Ideologis atau Pragmatis?

Kerap mengkritik paslon yang diusungnya sendiri, Demokrat menjalankan prinsip partai atau ingin menggenjot elektabilitas?

Demokrat Sering Kritik Prabowo-Sandi: Ideologis atau Pragmatis?
capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan orasi kebangsaan kampanye akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno saat kamapnye akbar di Jakarta, Minggu (7/4/2019). tirto.id/Andrey gRomicko

tirto.id - Berkali-kali Demokrat mengkritik pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden yang diusungnya sendiri, Prabowo-Sandiaga, atau petinggi Badan Pemenangan Nasional (BPN) paslon itu. Pada Oktober 2018, politikus Demokrat Andi Arief mengatakan dirinya melihat Prabowo Subianto tidak serius menjadi kandidat presiden. Hal demikian disampaikan laki-laki yang kala itu menjabat wakil sekretaris jenderal (wasekjen) Demokrat tersebut karena Prabowo tidak kunjung menyambangi daerah untuk menyapa masyarakat.

Lewat akun Twitter-nya, Andi berkata "Ini otokritik: Kalau dilihat cara berkempanyenya sebetulnya yang mau jadi Presiden itu @sandiuno atau Pak Prabowo ya. Saya menangkap kesan Pak Prabowo agak kurang serius ini mau jadi Presiden."

Pada November 2018, giliran Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang geram. Melalui akun twitternya, SBY mengatakan, "Saya pernah 2 kali jadi Calon Presiden. Saya tak pernah menyalahkan & memaksa ketum partai-partai pendukung untuk kampanyekan saya *SBY*.”

Tweet SBY menanggapi pernyataan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani yang menagih janji SBY dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengampanyekan Prabowo-Sandiaga. Menurut Muzani yang juga wakil ketua BPN Prabowo-Sandiaga, SBY dan AHY belum menepati janji itu.

“Sebenarnya saya tak harus tanggapi pernyataan Sekjen Gerindra. Namun, karena nadanya tak baik & terus digoreng terpaksa saya respons *SBY*,” cuit SBY.

Yang termutakhir, SBY mengatakan rencana kampanye akbar Prabowo-Sandiaga di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Minggu (7/4) kemarin, tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif. Presiden keenam Indonesia itu pun melayangkan surat berisi kritiknya terhadap Prabowo-Sandiaga ke tiga petinggi Demokrat pada penghujung hari Sabtu (6/4). Tiga petinggi itu antara lain Sekjen Hinca Panjaitan, Ketua Dewan Khormatan Amir Syamsudin, dan Wakil Ketua Umum Syarief Hassan.

"Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, melalui sejumlah unsur pimpinan Partai Demokrat saya meminta konfirmasi apakah berita yang saya dengar itu benar. Malam hari ini, saya mendapat kepastian bahwa informasi yang didapat dari pihak lingkaran dalam Bapak Prabowo, berita yang saya dengar itu mengandungi kebenaran," sebut SBY.

Hinca lantas menghubungi Muzani. Menurutnya, pesan SBY sudah dilaksanakan dengan baik oleh Prabowo-Sandiaga.

"Kami Punya Cara Lain"

Hinca mengklaim sikap SBY kemarin berlandaskan pada prinsip Demokrat yang nasionalis-religius. Karena prinsip itulah, menurut Hinca, Demokrat dipandang sebagai partai tengah.

"Pada saat seperti inilah, kami ingin mengingatkan: kalau kau terlalu ke kiri ayo kita kembali ke tengah, kalau kau terlalu ke kanan ayolah kembali ke tengah. Itu fungsi penyeimbang. Teman-teman mungkin melihatnya kami tidak punya pendirian, tapi kami pastikan negeri ini membutuhkan Demokrat," ujar Hinca kepada Tirto di Kantor DPP Demokrat, Senin (8/4).

Berdasarkan riset Edward Aspinall, dkk mengenai corak ideologi partai di Indonesia, secara umum tidak ada pembelahan ideologi yang berarti antar-parpol kecuali dalam isu Pancasila dan Islam. Demokrat cenderung condong ke Pancasila.

Riset Aspinall dkk didasarkan pada hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Australia National University (ANU) pada akhir Desember 2017 hingga awal Januari 2018. Responden survei tersebut ialah 508 anggota DPRD Provinsi di 31 provinsi di Indonesia. Responden diminta memberi skor 1 hingga 10 untuk menjawab pertanyaan terkait ideologi partai.

Rata-rata skor Demokrat dalam menjawab pertanyaan “Apakah partai Anda berbasis Pancasila (skor 1) atau Islam (skor 10)?” sebesar 3,41. Skor pelbagai partai yang digolongkan nasionalis—PDIP, Nasdem, Golkar, Gerindra, Hanura—lebih kecil dari Demokrat. Sedangkan skor partai-partai Islam—PAN, PKB, PKS, PPP—lebih besar dari Demokrat.

Infografik Pemetaan Spektrum Ideologi Parpol Indonesia

Infografik Pemetaan Spektrum Ideologi Parpol Indonesia

Lantas, ketika ditanya “Apakah parpolnya menghendaki agar Islam punya peran politik lebih kecil (skor 1) atau lebih besar (skor 10)?”, rata-rata skor Demokrat sebesar 5,68. Untuk pertanyaan ini, rata-rata skor tiap partai Islam lebih dari 7,0. Rata-rata skor Demokrat tidak jauh berbeda dengan Gerindra (5,69), Golkar (5,79), atau Hanura (5,85).

Hinca mengatakan Demokrat tidak ingin menggunakan politik identitas di Pemilu dan Pilpres 2019.

"Kami punya cara lain," ujarnya.

Kunci menaikkan elektabilitas Demokrat, kata Hinca, ada di caleg, terutama yang bertarung memperebutkan kursi DPRD Kabupaten/Kota. Mereka telah diberi arahan untuk mengampanyekan 14 program prioritas Demokrat.

Demokrat juga merasa tidak dirugikan ketika SBY mengkritik kampanye akbar Prabowo-Sandiaga di GBK kemarin.

"Bendera kami ada di situ. Toh, juga tidak ada kesempatan untuk pidato. Kami pastikan Demokrat berada di situ dan siap tampil. Teks yang mau disampaikan sudah ada dan itu dari Pak SBY. Saya siap, Pak Syarief siap, Mas AHY siap," ujar Hinca.

Infografik Pemetaan Spektrum Ideologi Parpol Indonesia

Infografik Pemetaan Spektrum Ideologi Parpol Indonesia

Cara SBY Kampanyekan Demokrat

Direktur Riset Populi Center Usep S. Ahyar tidak menampik sikap SBY kemarin sebagai perwujudan prinsip "nasionalis-religius" Demokrat. Menurutnya, prinsip tersebut berbeda dengan politik identitas yang selama ini kerap dijalankan kubu Prabowo-Sandiaga. Namun, peneliti politik itu juga memandang hal tersebut sebagai cara SBY menggenjot suara Demokrat.

"Bagi saya ini bentuk kampanyenya SBY. Walaupun dia sibuk dengan segala keterbatasannya karena Ibu Ani [sedang sakit], dia ingin tetap eksis dibicarakan," ujar Ahyar saat dihubungi Tirto, Senin (8/4).

Demokrat memang sempat merajai perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada Pemilu 2009, partai ini memperoleh suara sebesar 20,85 persen dan karena itu mendapat jatah 150 kursi DPR. Namun, di Pemilu 2014, suara Demokrat turun drastis, yakni hanya 10,19 persen. Walhasil, sekarang perolehan kursi Demokrat di DPR juga rontok. Sekarang, Demokrat menguasai cuma 61 kursi DPR.

Meski demikian, Demokrat menguasai 264 kursi DPRD Provinsi di seluruh provinsi di Indonesia—tidak termasuk Kalimantan Utara. Hanya perolehan kursi DPRD Provinsi PDIP dan Golkar yang lebih besar dari Demokrat. Bahkan, di pelbagai DPRD Provinsi, Demokrat bahkan menguasai lebih dari 10 kursi. Sebagian besar DPRD Provinsi itu ada di luar Jawa, seperti Sumatera Utara (14 kursi), Sumatera Selatan (11 kursi), Lampung (11 kursi), Sulawesi Selatan (11 kursi), dan Papua (16 kursi). Selain di lima provinsi itu, Demokrat juga menguasai 12 kursi di DPRD Provinsi Jawa Barat Jabar dan 13 kursi di DPRD Provinsi Jawa Timur.

Sementara itu, Demokrat berhasil merebut 1823 kursi DPRD Kabupaten/Kota di Pemilu 2014. Sebanyak 31,6 persen di antaranya diperoleh Demokrat di DPRD Kabupaten/Kota di provinsi Jawa Timur (186 kursi), Sumatera Utara (149 kursi), Jawa Barat (122 kursi), dan Jawa Tengah (119 kursi).

Pada Pemilu 2019, laju Demokrat tidak semulus PDIP dan Gerindra sebab tidak mendapat limpahan efek ekor jas (coattail effect) kandidat calon presiden dan wakil presiden. Para petinggi Demokrat pun sadar betul mengenai ini.

"Kami sadar bahwa efek ekor jas itu tidak terjadi pada Demokrat, makanya kami menerapkan dual track. Mendahulukan Pileg dan Pilpres," ujar Waketum Demokrat Syarief Hassan, pekan lalu.

Dual track atau rel ganda yang dimaksud Syarief, sebagaimana disebut Ketua Komando Gabungan Bersama (Kogasma) Pemenangan Pemilu 2019 Demokrat AHY sejak awal Maret 2019, ialah memberi jalan kader Demokrat untuk memenangkan partainya sekaligus memilih paslon yang sesuai yang diinginkan, entah Jokowi-Ma'aruf atau Prabowo-Sandiaga.

Infografik Demokrat di Pemilu 2014

Infografik Demokrat di Pemilu 2014

Tidak heran, banyak pemilih Demokrat justru memilih Jokowi-Ma'ruf, meski mayoritas berlabuh ke Prabowo-Sandiaga. Menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia per Maret 2019, pemilih Demokrat yang berencana mencoblos Jokowi-Ma'ruf sebesar 31,7 persen. Sedangkan hasil survei Libang Kompas pada 22 Februari-5 Maret 2019 menunjukkan pemilih Jokowi-Ma'ruf Amin sekaligus Demokrat sebesar 31,5 persen. Menurut survei yang sama, 66,3 persen pemilih Demokrat bakal mencoblos Prabowo-Sandiaga. Sementara menurut survei indikator, jumlahnya 65,3.

Di satu sisi, elektabilitas Demokrat masih berada di papan tengah. Survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan elektabilitas Demokrat berdasarkan simulasi surat suara sebesar 8,7 persen. Angka ini mendudukkan Demokrat di peringkat lima dari delapan partai yang diperkirakan lolos ambang batas parlemen ke DPR.

"Dia lebih peduli pada Demokrat ketimbang pada capres. Melihat kondisi partai, posisinya [Demokrat] di papan tengah bawah. Perlu kerja keras. Di satu sisi, Pak SBY melihat kok paslon 02 [Prabowo-Sandiaga] secara ideologis kurang sepaham dengan Demokrat. Ya, saya kira Pak SBY juga melihat pelbagai hasil survei. Demokrat tidak satu dalam aspirasi terhadap Pilpres," ujar Ahyar.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf