Menuju konten utama

Demokrasi Bancakan: Ketika Parpol Saling Rangkul & Bagi Kuasa

Usai pemilu, parpol-parpol malah lebih sibuk bagi-bagi kekuasaan ketimbang memprioritaskan kesejahteraan rakyat.

Demokrasi Bancakan: Ketika Parpol Saling Rangkul & Bagi Kuasa
Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto (tengah) menyalami warga saat kampanye di kawasan Masjid Agung Banten, Kota Serang, Banten, Minggu (3/12/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

tirto.id - Panggung politik negara ini semakin mirip opera sabun. Saat pemilu, partai-partai dan para politikus saling beradu gagasan dengan ngotot. Namun, mereka lantas berpeluk mesra setelah muncul pemenang.

Rakyat tentu tak ingin menonton elite-elite parpol itu adu jotos. Namun, rakyat patut curiga. Ketika parpol yang kalah pemilu lantas berkompromi dengan parpol pemenang, jangan salahkan rakyat jika bertanya: kepentingan siapa sebetulnya yang sedang mereka perjuangkan?

Singkatnya, usai pemilu, sederet visi-misi, gagasan, serta aspirasi konstituen partai bisa jadi hanya sekadar manis bibir belaka.

Koalisi parpol pemenang pemilu juga tak malu-malu mengajak parpol yang kalah berkongsi. Koalisi pemerintahan nan gemuk pun terbentuk. Di sisi lain, oposisi hadir dengan lesu.

Fenomena itulah yang berpotensi terjadi pada pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka lima tahun ke depan.

Gejalanya sudah semakin kuat terasa. Beberapa parpol Koalisi Perubahan pengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mulai menunjukkan gelagat bergabung ke barisan koalisi pemenang pemilu.

Padahal, Koalisi Indonesia Maju pendukung Prabowo-Gibran sudah diisi oleh empat parpol besar. Itu belum lagi menghitung parpol gurem yang tak lolos parlemen. Oleh karena itulah, koalisi gemuk pendukung Prabowo-Gibran malah dikhawatirkan bakal mengancam iklim demokrasi Indonesia.

Mencari Oposisi

Analis sosio-politik dari ISESS, Musfi Romdoni, menyebut bahwa praktik politik bagi-bagi jatah tersebut memang sudah lumrah di kalangan elite politik Indonesia. Kiwari, partai-partai lazim menerapkan politik spoils system: bagi-bagi kue kekuasaan ke barisan pendukung.

“PKS, PKB, dan Nasdem ya mengincar kue-kue itu. Ini sudah jadi kebiasaan yang lumrah. Kalau mendukung, akan diberi imbalan kue [kekuasaan],” kata Musfi, Kamis (25/7/2024).

Dalam studi politik, kata Musfi, koalisi pemerintahan yang gemuk dikenal dengan istilah big tent atau tenda besar. Praktiknya dilakukan dengan merangkul semua parpol, meskipun ideologi dan arah dukungannya berbeda di gelanggang pemilu.

Tujuan pembentukan koalisi gemuk adalah membendung polarisasi ideologi dalam pemerintahan. Dengan bergabungnya banyak parpol dalam satu “tenda”, pemerintah baru tentu berharap proses pengambilan kebijakan bisa jadi lebih efisien. Terlebih, di Indonesia, parpol yang kalah pemilu pun tidak otomatis menjalankan peran sebagai oposisi.

“Di Indonesia, banyak partai masuk pemerintahan di tengah jalan. PAN, misalnya, jelang Pilpres 2019 mereka pamit mundur, kemudian gabung lagi [ke pemerintahan] dan diberi kursi menteri. Golkar sama, di Pilpres 2014 dukung Prabowo, tapi kemudian masuk pemerintahan Jokowi,” ucap Musfi.

Setelah Pilpres 2024, setidaknya ada dua parpol yang sempat digadang-gadang bakal jadi oposisi ideal di pemerintahan Prabowo-Gibran, yakni PKS dan PDIP. Dua parpol itu setidaknya punya pengalaman panjang berada di luar pemerintahan.

Namun, PKS di beberapa waktu belakangan tampaknya mulai pegal berlama-lama tak menduduki kursi kekuasaan.

Hal itu terlihat jelas ketika elite-elite parpol melakukan persamuhan di acara harlah ke-26 PKB, Selasa (23/7/2024), di JCC Senayan, Jakarta. Elite-elit parpol itu pun saling memberi kode agar dapat jatah masuk kabinet Prabowo-Gibran.

Itu dimulai oleh Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, yang mengajak si empunya hajat untuk masuk dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Kita adalah cinta lama. Kami tunggu PKB untuk masuk dalam pemerintah bersama-sama," kata Dasco.

Tak lama berselang, giliran Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, yang berkelakar di podium. Dia bertutur agar PKS diikutsertakan masuk kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran. PKS sendiri punya rekam jejak perkongsian dengan Gerindra saat mengusung Prabowo Subianto di Pilpres 2014 dan 2019.

“Saya kira, untuk Pak Dasco khususnya dan Gerindra, ajak-ajaklah PKS,” ujar Syaikhu.

Padahal, saat Pilpres 2024, Koalisi Perubahan merupakan antitesis KIM yang membawa gagasan keberlanjutan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sikap Nasdem dan PKB pun tak jauh berbeda dengan sikap PKS. Kedua paprol itu pun memberi kode siap mendukung jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Terima kasih atas ajakan Pak Dasco. Semua siap bersama-sama Pak Dasco dan Pak Prabowo di masa [pemerintahan] yang akan datang,” ucap Cak Imin.

Di sisi lain, merespons dinamika tersebut, PDIP mengklaim siap menjadi oposisi. PDIP menyatakan punya pengalaman mumpuni sebagai oposisi.

“Jika harus sendirian jadi oposisi ya kita enggak ada masalah. Apa yang menjadi fokus adalah tegak lurus dan tetap pada ideologi, gagasan, dan visi-misi kami,” kata Juru bicara PDIP, Chico Hakim, Kamis (25/7/2024).

Kendati demikian, Chico menegaskan bahwa PDIP saat ini belum secara resmi memutuskan ikut dalam kabinet atau menjadi oposisi pemerintah Prabowo-Gibran. Dia berdalih PDIP saat ini masih disibukan dengan persiapan Pilkada 2024.

“Kami tidak mau berandai-andai karena kami masih terus fokus pada persiapan kontestasi Pilkada,” sambung Chico.

Demokrasi Bancakan

Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menyatakan bahwa kekuatan PDIP tidak akan ideal untuk mengimbangi dominasi kabinet pemerintah selanjutnya jika menjadi oposisi sendirian. Berkaca pada hasil pemilu sebelumnya, fraksi parpol di luar pemerintahan tidak cukup kuat untuk membuat sebuah pandangan alternatif ketika terjadi proses pembentukan undang-undang.

“Misal PKS dan Demokrat sebelumnya juga tidak cukup kuat melawan fraksi-fraksi parpol pemerintahan. Misal terkait pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Arfianto, Kamis (25/7/2024).

Dalam metafora Arfianto, kekuasaan itu terasa “manis” sehingga tak heran akan banyak “semut” yang mengerubunginya. Ditambah lagi, partai yang bergabung ke kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran juga mendapat banyak keuntungan untuk keberlangsungan parpol.

“Masuk dalam kabinet mungkin dapat tambahan operasional. Ini bukan rahasia umum lagi, bahwa pejabat publik yang berafiliasi parpol pasti memberikan sumbangsih pada partainya. Makanya kue kekuasaan banyak parpol yang menginginkan,” jelas Arfianto.

Narasi “keberlanjutan” atau “persatuan” merupakan dalih klise koalisi parpol pemenang pemilu untuk membentuk koalisi gemuk pendukung pemerintah. Padahal, kata Arfianto, kita tidak sedang mengalami kedaruratan berupa ancaman disintegrasi bangsa.

Dengan kata lain, persatuan terjadi hanya di level elite parpol demi kepentingan segelintir elite pula, alih-alih untuk kepentingan rakyat banyak.

“Ketika disebut pilpres [menjadi] semacam dramaturgi, ya istilah itu sangat menjelaskan keadaan saat ini bahwa ujung-ujungnya adalah [bagi-bagi] kekuasaan,” ucap Arfianto.

Idealnya, parpol yang kalah pemilu harus bersiap diri menjaga posisi dan gagasannya di luar pemerintahan. Mereka mestinya kembali memperjuangkan gagasannya lewat jalur parlemen sehingga terjadi prinsip check and balance.

“Parpol di luar pemerintahan sama terhormatnya dengan yang ada di dalam pemerintahan,” tutur dia.

Arfianto memandang demokrasi Indonesia hari ini tersandera kepentingan segelintir elite. Rakyat dibiarkan menjadi “pemilih mengambang” yang bisa diombang-ambing untuk melegitimasi kepentingan elite parpol. Elite pun menciptakan klientelisme lewat gelontoran bansos dan politik uang sehingga kekuasaan dapat diamankan.

Ketika menjadi pemenang pun, patronase di kalangan elite parpol masih eksis sehingga ada jatah kekuasaan yang mampu dipertukarkan dengan dukungan dari parpol lawan.

Bagi-bagi jatah terjadi dari level parpol hingga masyarakat dan diorkestrasi oleh pemegang status quo. Tak berlebihan, kata Arfianto, jika demokrasi kita hari ini berubah jadi “demokrasi bancakan”.

“Demokrasi kita hanya berbagi-bagi (bancakan) saja. Padahal, demokrasi itu bukan cuma mengakomodasi kepentingan, tapi harus ada check and balance di sana dan itu sangat penting,” ujar Arfianto.

Urgensi Reformasi Parpol

Peneliti dari Perludem, Annisa Alfath, memandang sebutan demokrasi bancakan memang tepat untuk menggambarkan situasi demokrasi Indonesia hari-hari ini. Pasalnya, parpol-parpol malah lebih berfokus pada pembagian keuntungan dan kekuasaan dibanding memprioritaskan kesejahteraan rakyat.

Sebagai akibatnya, nilai-nilai demokrasi substantif jadi terabaikan. Visi-misi dan janji-janji kampanye pun seakan menguap begitu saja usai pemilu.

“Jadi, selama kampanye, yang terpenting bagi kandidat adalah menyampaikan program sepopulis mungkin untuk menarik suara,” kata Nisa.

Praktik berdemokrasi macam ini tentu punya sisi buruk: masyarakat jadi semakin pragmatis dalam memandang pemilu. Masyarakat melihat bahwa partai politik dan pemimpin mereka hanya berorientasi keuntungan pribadi sehingga memantik sikap apatis terhadap pemilu atau bahkan terhadap proses politik secara keseluruhan.

“Masyarakat lebih pragmatis dan akan fokus ke money politics daripada ke program-program yang ditawarkan, visi-misi, ideologi partai sehingga mengakibatkan biaya politik yang tinggi,” ujar Nisa.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang bahwa koalisi gemuk pemerintahan Prabowo-Gibran hanya akan menguntungkan oligarki. Kelompok oposisi akan semakin lemah dan disandera dengan rayuan stabilitas politik.

“Oposisi yang kita butuhkan, yang dapat mengimbangi jalannya rezim atau pemerintahan. Kalau oposisi lemah, ya enggak ada gunanya,” ujar Herdiansyah.

Menurutnya, reformasi lembaga partai politik di Indonesia memang sudah saatnya dilakukan. Saat ini, parpol umumnya dikuasai oleh segelintir oligark dan pemodal sehingga di tubuh mereka sendiri tidak terjadi demokratisasi.

“Penting dilakukan reformasi partai politik seperti kebijakan internal yang demokratis, tidak dikendalikan pemodal, dan memberi ruang sama pada kader berkompeten yang sering kali disingkirkan,” ujar Herdiansyah.

Elite politik partai saat ini, menurut Herdiansyah, hanya berpolitik sebatas kepentingan pragmatis. Mereka berpolitik tanpa memakai kompas etika dan moralitas. Maka tak heran politik semakin dianggap kotor sebab elite menghalalkan segala cara agar dapat jatah kekuasaan.

“Makanya ada ujar-ujar sekarang: orang lebih percaya ada kehidupan lain di planet Mars, ketimbang pada partai politik,” canda Herdiansyah.

Baca juga artikel terkait PRABOWO-GIBRAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi