tirto.id - Pada 1923, sastrawan Lebanon Kahlil Gibran menuliskan buku The Prophet. Salah satu puisinya yang paling terkenal ada di sana, "On Children". Dalam Bahasa Indonesia, karya itu kerap diterjemahkan dengan judul "Anakmu Bukan Milikmu". Ini adalah puisi yang mendorong para orang tua untuk membebaskan jalan hidup anak-anak mereka.
"Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra-putri sang hidup, yang rindu akan dirinya sendiri... Berikan mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri," begitu beberapa bait yang sering dikutip.
Pada perjalanan waktu, puisi itu acap menjumpai dua takdir yang berbeda. Nasib pertama, puisi itu kerap dipuja oleh anak-anak yang sedang berkembang dan mendamba kebebasan. Mereka begitu berharap mendapat kemerdekaan yang dibilang Gibran, dengan memberontak terhadap jalan yang ditentukan oleh orang tua. Namun, puisi itu juga menemui nasib yang lain: ditertawakan oleh para orang tua. Terutama oleh para pemilik bisnis keluarga berskala raksasa yang menyiapkan generasi penerus.
Dalam dunia bisnis modern yang seakan tak punya sekat dan tak terbatas ikatan darah yang sama, bisnis keluarga ternyata masih punya taji. Pada Juli 2015, Credit Suisse, sebuah perusahaan finansial dan manajemen investasi, merilis senarai bertajuk CS Global Family 900 Universe. Isinya adalah 920 perusahaan keluarga skala besar. Semua perusahaan yang ada di daftar nama itu memiliki nilai perusahaan setidaknya 1 miliar dolar, dan para keluarga memiliki saham setidaknya 20 persen.
Perusahaan keluarga terbesar secara aset adalah Novartis, perusahaan obat yang didirikan pada 1886 oleh keluarga Sandoz. Nilai perusahaannya mencapai 279 miliar dolar. Keluarga Sandoz yang menggunakan nama Sandoz Family Foundation adalah pemilik saham terbesar. Selain itu, Presiden yayasan itu, Pierre Landolt, juga masuk dalam jajaran direksi perusahaan.
Perusahaan keluarga ini tak hanya datang dari mereka yang berusia tua. Perusahaan baru berbasis digital seperti Facebook pun turut serta membawa keluarga. Perusahaan dengan nilai sebesar 350 miliar dolar ini mengajak kakak perempuan Mark Zuckerberg, Randi Zuckerberg sebagai tim pemasaran. Selain itu, Mark juga memberikan 2 juta lembar saham pada sang ayah.
Begitu pula Samsung. Perusahaan asal Korea Selatan yang kini punya nilai sebesar 216 miliar dolar itu, didirikan oleh Lee Byung-chul pada 1938. Tampuk tertinggi perusahaan itu kemudian diwariskan pada anak lelaki ketiganya, Lee Kun-Hee. Dia yang mengubah Samsung dari perusahaan dagang menjadi raksasa di dunia elektronik. Kun-Hee juga mengangkat anaknya, Jay Y. Lee sebagai wakil direktur, dan diproyeksi akan mewarisi jabatan sang bapak. Dua anak perempuan Kun Hee, Boo-Jin dan Seo-Hyun, juga menempati posisi strategis di perusahaan.
Menariknya, dari 920 perusahaan keluarga besar yang didata oleh Credit Suisse, sekitar 64 persennya berasal dari Asia. Ini menandakan banyak perusahaan di Asia masih dibangun berdasar sistem kekerabatan. Meski begitu, semakin banyak perusahaan keluarga yang melibatkan pihak luar.
"Dalam pasar yang lebih berkembang, kami melihat pembagian kepemilikan dan keluarga menjual saham itu sebagai hal yang umum," tulis Credit Suisse.
Selain itu, dari data The Family Business Institute, keterlibatan dan kepemilikan di bisnis keluarga itu semakin menyusut seiring bergantinya generasi. Jika generasi pertama bisa memiliki saham atau bagian besar dalam perusahaan, maka para generasi kedua biasanya cuma memiliki 1/3 bagian perusahaan. Kemudian menurun di generasi ketiga, menjadi hanya 12 persen. Pada generasi keempat, biasanya para keluarga pendiri hanya memiliki 3 persen bagian perusahaan.
Mungkin, para generasi ketiga dan keempat itu kebanyakan membaca Kahlil Gibran.
Bisnis Keluarga di Indonesia
Pada 2014, Pricewaterhouse Coopers (PwC), kantor audit dan konsultasi bisnis, merilis data tentang kerajaan bisnis keluarga di Indonesia. PwC juga membandingkan antara bisnis keluarga di Indonesia dengan di 40 negara lain.
Agar tak melebar, mereka membuat tiga indikator yang membatasi definisi perusahaan keluarga. Pertama, mayoritas “suara” berada di tangan pendiri atau orang yang mengakuisisi perusahaan (atau pasangan, orang tua, anak atau ahli waris).
Kedua, setidaknya ada satu perwakilan keluarga yang terlibat di dalam manajemen atau administrasi keluarga."Ketiga, untuk perusahaan publik (tbk.), pendiri atau orang yang mengakuisisi perusahaan (atau keluarganya) memiliki 25 persen hak atas perusahaan melalui penanaman modal dan ada setidaknya satu orang anggota keluarga dalam manajemen (board).
Temuannya lumayan mengejutkan. Ternyata sekitar 95 persen perusahaan di Indonesia adalah bisnis keluarga. Total kekayaan jejaring bisnis keluarga ini mencapai Rp134 triliun. Sekitar 70 persen perusahaan itu memiliki rencana mewariskan usaha pada generasi penerus, setidaknya untuk sebagian posisi senior.
Bisnis keluarga jadi penting karena melibatkan nilai-nilai yang dianut keluarga. Banyak perusahaan keluarga yang jadi besar, lahir dari sesuatu yang kecil. Ketika perusahaan jadi besar, ada perasaan ingin mewariskan hal itu pada para generasi penerus.
Di beberapa bangsa, ikatan keluarga lebih penting ketimbang apapun. Dalam khazanah kebudayaan Tiongkok misalkan, merupakan hal yang umum jika sebuah keluarga besar tinggal berdekatan, atau malah membentuk usaha bersama, untuk kemudian diwariskan ke anak cucu.
Berbeda dengan Kahlil Gibran yang menekankan pentingnya kebebasan bagi anak, para orang tua Tiongkok banyak yang memilihkan jalan bagi para anak-anaknya agar tak "salah jalan". Seperti dengan cara menanamkan nilai seperti "jika seorang menjadi terhormat, maka keluarganya ikut terhormat, kalau seseorang jadi memalukan, keluarganya akan ikut malu." Para anak-anak juga diajarkan nilai semisal "daun yang jatuh akan kembali pada akar pohon yang membesarkannya."
Hal ini menjelaskan kenapa banyak perusahaan keluarga di Indonesia memberikan porsi besar dan jabatan tinggi bagi keluarga atau penerus generasi. Dari hasil survei PwC, 100 persen perusahaan keluarga di Indonesia memiliki anggota keluarga yang memegang jabatan eksekutif senior dalam perusahaan. Lalu sekitar 60 persen perusahaan mempunyai generasi penerus yang bekerja sebagai eksekutif senior dalam perusahaan.
Namun, menurut riset CS dan juga PwC, ada satu kesamaan dari perusahaan keluarga ini. Sejak generasi ketiga, kepemilikan dan keterlibatan keluarga mulai menurun, atau malah hilang sama sekali. Jika riset CS menemukan bahwa kepemilikan di generasi ketiga hanya tinggal 12 persen dan di generasi keempat tinggal 3 persen, maka di Indonesia angkanya jauh lebih kecil.
Menurut PwC, tak ada perusahaan keluarga, alias nol persen, yang bisa bertahan hingga empat generasi. Hal ini bisa dikarenakan mismanajemen, atau generasi baru yang mencoba bisnis lain. Sama seperti yang terjadi di generasi penerus perusahaan rokok.
Generasi Ketiga Imperium Rokok
Bagaimanapun dicerca dan diserang, industri rokok di Indonesia masihlah industri raksasa yang bisa mempekerjakan banyak orang sekaligus menghasilkan pundi uang yang amat besar. Dalam daftar 5 keluarga terkaya Indonesia yang dirilis Forbes pada 2015 silam, ada setidaknya dua keluarga terkaya yang berasal dari industri rokok.
Nama pertama adalah Hartono Bersaudara, Michael dan Budi, yang merupakan anak pendiri Djarum, Oei Wie Gwan. Dua orang ini mewarisi Djarum saat sang ayah meninggal pada 1963. Saat itu Michael baru berusia 24 tahun, dan Budi baru 23 tahun. Saat mereka mengambil alih tampuk pimpinan, Djarum sedang babak belur. Beberapa bulan sebelum Oei meninggal, pabrik rokok Djarum ludes karena kebakaran.
Dua bersaudara ini mewarisi gen pengusaha yang ulet dan liat. Di tangan mereka, Djarum menjadi raksasa kretek di Indonesia. Sekarang, produksi rokok mereka mencapai 148 juta batang per hari. Produk rokok dan kretek mereka juga menyasar pangsa pasar luar negeri. Industri Djarum ini membuat Michael dan Budi jadi taipan terkaya di Indonesia. Michael diperkirakan punya Rp112 triliun, dan Budi punya Rp116 triliun.
Selain keluarga Hartono, keluarga lain yang mewarisi bisnis rokok adalah adalah keluarga Wonowidjojo yang mendirikan Gudang Garam. Sama seperti banyak perusahaan rokok, Gudang Garam didirikan oleh Surya Wonowidjojo dalam skala kecil, pada 1958. Perlahan perusahaan asal Kediri ini menjadi besar. Setelah Surya meninggal, tampuk pimpinan diserahkan pada putra sulungnya, Rachman Halim.
Rachman sebelumnya dididik lama oleh Surya sejak 1969, saat dia masih berumur 22 tahun. Pekerjaan awalnya adalah pengawas bangunan. Setelahnya, dia diajarkan perihal rasa rokok khas Gudang Garam. Dari membedakan rasa tembakau, hingga cara mencampur saus tembakau. Dari sana kariernya menanjak. Pada 1984, dia menjadi Direktur Utama Gudang Garam.
Saat Surya meninggal pada 1985, omzet Gudang Garam mencapai Rp1,1 triliun. Dibayangi kesuksesan sang ayah, Halim mulai mencoba produk baru dengan perangkat modern. Dia lebih menggiatkan produk Sigaret Kretek Mesin yang lebih efisien, juga memperluas area produksi. Di tahun 1988, Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia mencatat Gudang Garam meraih 45 persen pangsa pasar kretek, menjulang di antara 10 pabrik rokok lain.
Pendekatan bisnis modern juga dilakukan oleh Halim ketika pada 1990 Gudang Garam menjadi perusahaan terbuka dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Pada tahun 2004, majalah Forbes menobatkan Halim sebagai orang terkaya keempat di Asia Tenggara.
Pada 2008, Halim meninggal dan digantikan oleh adiknya, Susilo Wonowidjojo. Pada 2015, namanya nangkring di peringkat dua orang terkaya di Indonesia. Susilo menggerakkan Djarum dengan kesadaran bahwa industri rokok sering diserang, karenanya perlu menggiatkan bisnis di bidang lain.
Mencoba Pindah ke Lain Hati
"Pasar rokok nyaris stagnan, seperti itu saja. Tetap tumbuh, namun cukai selalu naik dan aturannya sangat ketat," kata Victor Hartono, Chief Operating Officer (CEO) Djarum dalam sebuah wawancara bersama Kontan pada 2015 silam.
Baik Djarum maupun Gudang Garam sadar bahwa industri rokok semakin ditekan. Naiknya cukai tiap tahun, juga alasan kesehatan, membuat masa depan rokok di Indonesia tak lagi secerah dulu. Karena itu, mereka perlahan merambah sektor bisnis lain di luar rokok.
Pada 1993 Gudang Garam mendirikan anak perusahaan, PT Matahari Kahuripan Indonesia. Perusahaan ini bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Di Sumatera dan Kalimantan, lahan sawit mereka mencapai 140.000 hektare. Saat ini mereka juga sedang mengembangkan perkebunan cengkeh di Sulawesi Utara di bawah bendera PT Kawanua Kahuripan Pantera.
Gudang Garam juga mempunyai usaha jasa, seperti hotel melalui saham di PT Surya Raya Indah yang mengoperasikan hotel Grand Surya dan Hotel Merdeka di Kediri. Mereka turut membentuk PT Suryawisata yang bergerak dalam jasa pariwisata. Di bidang properti, ada anak perusahaan PT Suryaduta yang membangun proyek gedung-gedung perkantoran, juga PT Taman Mustika Doho yang mengembangkan bisnis real estate.
Di bidang makanan dan minuman, ada saham di PT Perkebunan Lijen yang bergerak di bidang pengelolaan kebun kopi arabica di Banyuwangi. Juga di PT Lotte Indonesia. Belum lagi dengan adanya PT Tirtamas Megah yang lokasinya ada di Pasuruan.
Selain itu, ada pula usaha bisnis kertas dengan nama PT Surya Pamenang. Pabrik ini menempati lahan seluas 40 hektare di luar Kediri dan mempekerjakan sekitar 1.000 orang. Produksinya mencapai 150.000 ton per tahun, dengan nilai perusahaan sebesar 100 juta dolar dan total investasi sebesar 200 juta dolar.
Begitu pula dengan Djarum. Salah satu bisnis sampingan lain mereka, tetapi nyaris sama besarnya dengan Djarum, ada di dunia perbankan. Pada 2010, Michael dan Budi Hartono membeli 515 juta lembar saham BCA senilai Rp3,4 triliun melalui dua anak usahanya, Tricipta Mandhala Gumilang dan Caturguwiratna Sumapala. Dengan itu, Hartono bersaudara menguasai 50,24 persen saham di BCA. Kini, BCA menjadi bank dengan nilai perusahaan terbesar di Asia Tenggara, mencapai 24,5 miliar dolar.
Djarum juga bergerak di bidang perkebunan dan tanaman industri. Dengan bendera PT Hartono Plantation Indonesia, Djarum punya sekitar 30.000 hektare kebun kelapa sawit di Kalimantan Barat. Selain itu, Djarum juga mengembangkan hutan tanaman industri seluas 20.000 hektare di Kalimantan Timur.
Menariknya, kini generasi ketiga Djarum sudah berani bermain jauh, bahkan dari sektor perkebunan yang biasanya merupakan bisnis utama kedua selain rokok. Tokoh utamanya adalah Martin Hartono, anak kedua Budi Hartono. Setelah menyelesaikan studi di Amerika Serikat dan kembali ke Indonesia pada 1998, dia sempat menjalani karier sebagai Business Technology Director di Djarum.
Setelah bekerja di Djarum selama 10 tahun, Martin memilih untuk mendirikan anak perusahaan Djarum yang bergerak di bidang internet dan bisnis online. PT Global Digital Prima (GDP) Venture. Sebagai generasi ketiga yang melek perkembangan teknologi, wajar kalau Martin punya ketertarikan di bidang itu.
"Aku selalu punya gairah terhadap teknologi," ujar Martin kepada Forbes. "Mulainya dari permainan komputer, dan ketika aku di Amerika Serikat, internet muncul dan aku suka berselancar di situs."
Sebagai anak dari orang terkaya di dunia, bisa dibilang senjata Martin tak main-main. Menurut Forbes, GDP Venture dibekali modal 100 juta dolar, yang membuat mereka jadi perusahaan investasi internet terbesar di Indonesia. Salah satu akuisisi mereka yang paling fenomenal adalah ketika membeli Kaskus, situs anak muda yang dikunjungi 20 juta pengunjung unik setiap hari. Nominalnya diperkirakan mencapai 4,8 juta dolar. Setelahnya, GDP Venture juga mengakuisisi situs belanja online Blibli.
Sama seperti tradisi perusahaan keluarga, Hartono Bersaudara sudah menyiapkan penerus gurita bisnis mereka. Selain Martin yang kini mengawal GDP Venture, ada pula Armand Hartono, putra bungsu Budi Hartono, yang kini menjabat sebagai Wakil Direktur Utama BCA. Sedangkan sang kakak, Victor Hartono, kini menjabat sebagai CEO PT Djarum.
Jadi, sejauh-jauhnya anak cucu Hartono bersaudara bertualang, toh mereka akan kembali ke induk mereka: perusahaan keluarga bernama Djarum.
Makan itu, Kahlil Gibran.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti