tirto.id - Satu dasawarsa sebelum Indonesia merdeka, Sutan Takdir Alisjahbana, Sanuse Pane, R. Soepomo, Poerbatjaraka, Djamaluddin Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara beradu pendapat di media massa. Mereka memperkarakan konsep ideal perihal orientasi kebudayaan bangsa Ibu Pertiwi.
Dalam esainya di Pujangga Baru edisi Agustus 1935, Sutan Takdir, si pemantik polemik, menekankan pentingnya untuk mengarahkan pandangannya ke Barat. Dasar argumen Takdir, “Sebab semangat keindonesiaan yang menghidupkan kembali masyarakat bangsa kita, yang berabad-abad seolah mati ini, pada hakikatnya kita peroleh dari Barat: Budi Utomo lahir di kalangan rakyat yang mendapat didikan Barat dan bergaul dengan Barat.”
Sebulan kemudian, Sanusi Pane menyatakan penolakannya atas gagasan Sutan Takdir. Ia pun memberi ide agar kebudayaan Indonesia ditopang oleh kekayaan budaya dari Timur maupun Barat.
“Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dengan Arjuna. Memadukan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme,” ungkap Sanusi, dalam Polemik Kebudayaan: Pergulatan Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (Suara Umum, 4 September 1935).
Yang menarik dari cerita di atas adalah betapa kesadaran dan cita-cita akan nilai-nilai kebudayaan berkembang jauh sebelum kemerdekaan dinyatakan.
Bahkan dalam pidato peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tahun 1964, Presiden Sukarno menekankan pentingnya bangsa ini berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan. Tiga komponen itulah yang dikenal dengan konsep Tri Sakti Bung Karno.
Persoalannya, sekalipun Bung Karno berpandangan bahwa ketiga unsur punya peranan sama penting dalam pembangunan bangsa, entitas kebudayaan justru jarang sekali dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Itu pula yang menjadi keresahan K.H. Mustofa Bisri, ulama kharismatik dari Rembang, saat memberikan sambutan pada pembukaan pameran Lima Rukun di Bandung, September 2013 silam.
“Sekali-kali, kebudayaanlah yang menjadi panglima. Jangan politik dan ekonomi terus,” ungkap kyai yang akrab disapa Gus Mus itu.
Menjadikan kebudayaan sebagai panglima boleh jadi terasa semacam utopia. Namun, bukan berarti hal itu tidak mungkin.
Di tengah berbagai tantangan global seperti pemanasan iklim, kecerdasan buatan, hingga kesenjangan sosial yang berujung pada konflik bersenjata, kebudayaan diyakini punya kemampuan menjawab persoalan. Hal demikian disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam opini “Paradigma Baru Kebijakan Kebudayaan”.
Hilmar menerangkan bahwa para peserta Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan (Mondiacult) di Meksiko tahun 2022 silam menyadari pentingnya pendekatan baru untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Faktor kebudayaan dikemukakan sebagai jawaban.
“Penetapan kebudayaan sebagai barang publik di tingkat global adalah terobosan yang signifikan karena menempatkan kebudayaan di jantung pembangunan berkelanjutan dan bukan sekadar sektor pelengkap dalam pembangunan,” ungkap Hilmar.
UU Pemajuan Kebudayaan, Peta Jalan Kebudayaan Nasional
Dengan sedikit ironi, Peneliti Badan Riset Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam membandingkan “sikap pilih tanding” pemerintah dalam mengurusi agama dan kebudayaan.
“Walau belum ada kesepakatan di sidang BPUPK dan PPKI 1945, Kementerian Agama dibentuk sejak Januari 1946 untuk melayani penganut 6 agama yang resmi diakui negara. Namun, sejak Indonesia merdeka belum pernah ada kementerian yang mengurus ratusan etnis, budaya, adat istiadat, tradisi, dan bahasa daerah yang tersebar di Tanah Air,” tulis Asvi dalam opini “Pentingnya Kementerian Kebudayaan”.
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah perbedaan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Dengan amanat demikian, syukurlah pada 2017 lalu, Tanah Air akhirnya punya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UU PMK). UU tersebut terbit setelah menunggu lebih dari tiga dasawarsa.
“Pembahasan tentang perlunya sebuah undang-undang mengenai kebudayaan telah dimulai sejak 1982,” melansir majalah Jendela edisi 65/Juni 2023.
Tentu bukan tanpa alasan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan adanya sebuah beleid yang mengatur pemajuan kebudayaan. Bagi Jokowi, kebudayaan adalah kepribadian Indonesia, DNA masyarakat Indonesia. Kebudayaan mesti diberi kewenangan besar untuk, paling tidak, mengimbangi pembangunan fisik yang begitu gencar.
Menurut Hilmar Farid, UU PMK dibuat bukan untuk mengatur kebudayaan, sebab kebudayaan adalah milik masyarakat. “Yang bisa diatur adalah tata kelolanya, sehingga dia (kebudayaan) enggak kemudian hilang, tetap terlindung, tetap terjaga, terdokumentasi dengan baik, dan setelah itu bisa digunakan oleh masyarakat,” ungkap Hilmar.
Pemerintah adalah Fasilitator
Jika paradigma baru kebudayaan di tataran global menempatkan entitas ini sebagai jantung pembangunan berkelanjutan, sudah semestinya kebudayaan ditempatkan sebagai landasan pembangunan nasional. Kemudian, menjadikan pemerintah bukan hanya regulator tetapi juga fasilitator.
Direktur Kreatif Pabrikultur, Hikmat Darmawan, Hilmar Farid menjelaskan bahwa, sebelum UU Pemajuan Kebudayaan disahkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang diusulkan DPR selama dua periode selalu dipenuhi dengan semangat “mengatur” dan menguatkan “kebudayaan nasional” untuk menangkal ancaman budaya asing.
“Semangatnya masihlah sama dengan semangat Orde Baru (Orba) memperlakukan kebudayaan, yakni pengendalian negara atas kebudayaan, dan pada gilirannya adalah kendali total negara atas warga,” tulis HikmatHilmar Farid dalam sebuah esai tandingan yang ditujukan kepada Radhar Panca Dahana.
Semangat mengatur semacam itu kini tiada lagi, berganti dengan semangat fasilitasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 UUD 1945. Sebagai fasilitator, kebijakan pemerintah terkait kebudayaan tidak lagi datang dari atas seperti yang sudah-sudah, melainkan datang dari gagasan serta pelibatan masyarakat (bottom up).
Pelaksanaan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 menjadi salah satu contohnya. Negara hanya memberikan dukungan, sedangkan perkara konsep dan teknis sepenuhnya diserahkan kepada para pelaku kebudayaan.
Selain itu, pemerintah lewat Direktorat Jenderal Kebudayaan juga membuka kesempatan seluas mungkin bagi terciptanya ruang-ruang interaksi budaya, baik di dalam dan luar negeri.
Lewat Dana Indonesiana, dana abadi kebudayaan, perhatian pemerintah untuk memajukan kebudayaan Indonesia tidak melulu tertuju pada pelaku pencak silat atau tari kecak belaka, tapi menyasar segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat.
Di masa lalu, para pelaku seni kontemporer semisal filmmaker atau band sukar mendapat dukungan pemerintah. Sekarang, fenomena demikian tidak berlaku lagi.
Pendek kata, sebagai fasilitator, pemerintah tidak lagi sekadar ‘melap-lap hasil kebudayaan lama sampaiberkilat’, tapi memberi ruang bagi publik dan pelaku seni budaya agar dapat menjadi inisiator dan penggerak pemajuan kebudayaan.
Contoh mengenai keterangan di atas terlihat dari dukungan pemerintah pada band lokal G-Pluck Beatles. Band yang kerap membawakan karya-karya The Beatles tersebut mendapat bantuan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk melakukan tur di Inggris Raya dan daratan Eropa pada Agustus 2023.
"Sangat berharga bagi kami mendapat dukungan dari Kemendikbudristek dalam program fasilitasi bidang kebudayaan interaksi budaya. Kami berhasil menebar pesona di sana dan mendapat respons yang sangat luar biasa," ujar Awan Garnida, bassist G-Pluck Beatles.
Di masa lampau, jangankan mendapat dukungan, band dengan musik ngak-ngik-ngok begini bahkan sukar mendapat izin dari negara, bukan?
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis