tirto.id - Setelah dibekuk pasukan Belanda pada 1829, Kyai Mojo (ada yang menulis Kyai Modjo dan Kyai Madja) harus ikhlas jadi orang buangan. Kyai Mojo tak diasingkan ke Sri Lanka atau Afrika Selatan seperti musuh-musuh Belanda di Hindia Belanda zaman VOC. Dua daerah itu hilang setelah Revolusi Perancis berkobar.
“Lepasnya dua koloni ini telah membuat gubernemen Belanda di Hindia Timur kehilangan tempat pengasingan bagi para pembesar Jawa dan Nusantara di luar negeri,” tulis Roger Allan Christian Kembuan dalam tesisnya Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2016: 109). Pemerintah kolonial Belanda pun memilih sebuah daerah yang mampu mengisolasikan orang-orang macam Kyai Mojo.
Terpilihlah Sulawesi Utara untuk Kyai Mojo beserta 62 pengikutnya. Tepatnya di tepi Danau Tondano. Daerah itu bukan daerah kosong. Ada orang-orang Tondano lebih dulu di danau itu. Letaknya di tengah-tengah Minahasa di jazirah utara pulau Sulawesi. Daerah ini juga menjadi daerah asal dari Pasukan Tulungan pimpinan Mayor Dotulong pada akhir Perang Jawa (1825-1830).
Belanda memiliki garnisun militer yang cukup besar untuk mengawasi orang-orang buangan itu. Hal paling penting, tentu daerah itu jauh dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sangat sulit bagi orang-orang yang terbiasa dengan kehidupan feodal agraris itu untuk kabur dan berlayar sendiri ke Jawa.
Roger Allan Kembuan mencatat daerah itu semula milik Kepala Walak Tondano-Toulimambot. “Sumber kolonial juga mencatat kepindahan itu, yaitu surat Residen Manado Pietermaat kepada [Johannes] van den Bosch tanggal 18 Oktober 1831, satu tahun sesudah kedatangan rombongan Kyai Mojo,” tulis Kembuan.
Dalam tesisnya, dicatat pula sejarah lisan soal pemilihan tempat itu. "… untuk menentukan tempat menetap baru ini Kyai Modjo menyembelih seekor sapi dan sebagian potongan-potongan daging tersebut diletakkan di beberapa tempat di sekitar Tonsea Lama. Tempat di mana daging paling lama membusuk dipilih menjadi tempat menetap permanen,” tulisnya. Tempat terpilih itu kini telah menjadi Kampung Jawa Tondano, sekitar 1palatau 1,5 km dari Tonsea Lama.
Kebanyakan orang Tondano kala itu belum beragama Kristen. Mereka masih menganut kepercayaan lokal. Orang-orang bule menyebut mereka sebagai "orang-orang liar" atau "penyembah berhala." Sebutan untuk mereka adalah Alifuru. Tak hanya orang-orang Tondano maupun Minahasa saja yang disebut sebagai Alifuru, tapi juga orang-orang dengan kepercayaan lokal di daerah yang dulu termasuk Keresidenan Ternate.
Johann Friedrich Riedel tercatat sebagai pendeta Kristen pertama yang masuk ke Tondano pada 1831, beberapa waktu setelah Kyai Mojo dan pengikutnya tiba. Menurut catatan Jessy Wenas dalam Sejarah dan kebudayaan Minahasa (2007: 51), anak perempuannya Maria Riedel menikah dengan Outford Pelenkahu (hakim besar Tonsea), sedangkan anak lelakinya, Johan Gerard Friedrich Riedel, lahir di Tondano pada 1831. J. G F. Riedel inilah yang kemudian banyak menulis mengenai Minahasa.
“Kyai Mojo sering berkunjung pada pendeta zendeling Riedel [J.G. Riedel] dan berbicara banyak dengannya. Ia menerima darinya sebuah Injil,” tulis Pendeta Nicolaas Graafland dalam Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya (1991: 458-459).
Semua pengikut Kyai Mojo yang dibuang ke Tondano adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat, kawin-mawin, dan dari dua kebudayaan inilah lahir Kampung Jawa Tondano.
Jaafar T. Buchari menulis, "hanya Kyai Mojo yang tidak menikah di Tondano. Istrinya dari Jawa menyusul beliau.” Namun, putra Kyai Mojo, Kyai Gazali Mojo, menikahi Ingkingan Tombokan, tulis Buchari dalam Sejarah Silsilah Keturunan Pahlawan Kyai Modjo dan Pahlawan Nasional Kyai Haji Abdul Rifa’i (2009: 29).
Kembuan menulis, pada Januari 1831 saja, ada delapan orang buangan yang menikah dengan perempuan setempat, yang masih beragama Alifuru. Budayawan Jawa Tondano Wahid Koesasie mengatakan laki-laki Jawa itu, yang bukan dari kalangan jelata (jika bukan priayi mereka adalah ulama), menikahi anak perempuan dari kepala walak (distrik).
Mendirikan Masjid Al-Falah
Sebagai orang-orang Islam, rupanya mereka tak nyaman dengan babi dan anjing, hingga muncul sengketa dengan penduduk setempat. Maka, pada pertengahan 1831, mereka berpindah ke seberang sungai Tondano. Seperti dikutip Kembuan dari Pietermaat, “Kebanyakan dari orang-orang Jawa ini menikahi wanita Alifuru yang kemudian masuk Islam.”
Ternyata, “Di sini mereka tidak meninggalkan kebiasaan lama (Islam) dan berusaha hidup sebaik mungkin,” tulis Graafland. Mereka tak hanya membangun masjid dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa, tapi menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini.
Di Kampung Jawa Tondano setidaknya ada istilah bidodareni (dari istilah: midodareni) dalam prosesi pernikahan. Bahkan setelah Hari Raya Idulfitri, orang-orang di kampung ini merayakan Lebaran Ketupat.
Menurut Wahid Koesasie, perkawinan dengan perempuan Tondano itu terjadi hanya pada masa awal pembuangan. Setelahnya, terjadi perkawinan hanya antar-keluarga orang buangan. Tak heran jika identitas sebagai Jawa Tondano terjaga.
Semula, menurut Wahid, orang-orang buangan itu mengira hanya sementara tinggal di sana, meski mereka juga tak tahu kapan diizinkan pulang oleh pemerintah kolonial. Sebagai orang Islam, mereka butuh tempat salat berjamaah. Semula hanya sebuah musala, lalu dibangunlah masjid terkenal di Jawa Tondano: Masjid Al-Falah (dalam bahasa Arab, Al-Falah berarti kemenangan.)
Kyai Koesasie, seorang guru asal Karang, leluhur dari Wahid Koesasie, disebut-sebut sebagai pemahat ukiran kaligrafi di mimbar dan di saka guru Masjid Al-Falah. Hingga kini masjid itu mengalami empat kali pemugaran. Semula masjid tersebut terbuat dari kayu. Saat ini masjid berdinding batu, tapi tiang utamanya tetap kayu.
Orang-orang buangan itu semula membuat rumah seperti di Jawa, yang hanya beralaskan tanah. Sementara rumah-rumah orang Minahasa berbentuk besar, dan tiap rumah dihuni beberapa kepala keluarga. Namun, gempa bumi pada 29 Juni 1845 ikut mengubah bentuk rumah.
Rumah-rumah Jawa dan rumah besar orang Minahasa terganti dengan rumah-rumah yang lebih kecil, tapi bergaya Minahasa, yang berbentuk panggung. Di masa itu Pendeta Graffland bahkan menilai: "Penampilan luar yang khas Minahasa tetapi dengan tata hiasan rumah yang khas Jawa di dalamnya.”
Belakangan, rumah-rumah panggung di Kampung Jawa Tondano semakin sedikit, tergantikan rumah-rumah batu. Rumah-rumah di kampung Jawa umumnya besar dan punya pekarangan luas. Jalan-jalan di kampung itu kini teraspal dan bisa dilalui kendaraan roda empat.
Saat ini orang-orang Jawa Tondano bukanlah penutur bahasa Jawa, tak seperti leluhur mereka. Setelah perkawinan dengan perempuan setempat, mereka punya anak. Orang-orang Jawa yang menikahi perempuan setempat ini, menurut Wahid Koesasie, tak punya waktu sebanyak istri mereka dalam mengurus anak. Mereka harus bekerja di ladang. Jadi, anak mereka kerap bersama ibu mereka dan bicara dalam bahasa ibu.
“Perkawinan dengan penduduk setempat menyebabkan anak-anak hasil perkawinan tersebut lebih menguasai bahasa ibunya ketimbang dari ayah,” tulis Roger Allan Kembuan (2016: 189). Bahasa sehari-hari mereka saat ini umumnya bahasa Indonesia dengan dialek setempat, yang tak berbeda dari penduduk Minahasa.
Penghuni Kampung Jawa Tondano kemudian tak hanya orang-orang Jawa keturunan Kyai Mojo dan pengikutnya. Kembuan mencatat ada punakawan dari Pangeran Diponegoro, Kiai Hasan Maulani, Pangeran Suryaningrat, Pangeran Ronggo Danupoyo, Raden Syarif Abdullah Assegaff, Abdul Gani Ningkaula, Pangeran Perbatasari, aktivis pemberontakan Petani Banten (1888), serta Panglima Perang Aceh, Tuanku Muhamad Batee. Mereka berbaur dengan penghuni Kampung Jawa. Terjadi perkawinan antara keturunan mereka dengan penghuni sebelumnya.
“Tidak ada keraguan bahwa mereka akan membentuk sebuah ras baru di Minahasa,” tulis A.F. Spreewenberg dalam A Glance at Minahasa dalam The Journal of India Archipelago (1848: 836). Spreewenberg adalah seorang inspektur pertanian yang dikirim ke Tondano sekitar awal dekade 1840-an.
Melahirkan Generasi Jaton
Nyatanya, Jawa Tondano kini menjadi sebuah komunitas yang punya identitas sendiri. Tak hanya merujuk pada nama kampung, tapi juga pada suatu masyarakat. Mereka lebih kerap dikenal Jaton—akronim dari Jawa Tondano.
“Kita bukan lagi Jawa. Bukan juga Minahasa. Kita ini Jaton,” kata Salim Thayeb.
Ishak Pulukadang dalam Fakta Sejarah Kepahlawanan Kyai Modjo (2017: 97) menulis: “Dari segi etnis, komunitas Jaton menjadi salah satu subetnis Minahasa sebagai hasil asimilasi melalui perkawinan antara pengikut Kyai Mojo dengan keke’ (gadis) anak para Walak sejak Januari 1831.” Minahasaraad (dewan Minahasa) mengakui Jaton sebagai subetnis pada 1919 dan Jaton tunduk pada hukum adat Minahasa.
Kampung Jawa Tondano alias Jaton tentu menjadi fenomena menarik. Menurut Profesor Ishak Pulukadang, Jaton termasuk kawasan strategis provinsi dan sudah jadi Desa Budaya. Desa ini kerap dikunjungi pejabat keturunan Jawa. Menurut warga setempat, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah berkunjung ke sana.
Makam Kyai Mojo, yang masih terjaga, tentu jadi sasaran ziarah. Lurah Jawa Tondano saat ini, Surianto Mertosono, pernah berkata desanya adalah "desa penelitian." Banyak sarjana datang meneliti, termasuk di antaranya dari mahasiswa pascasarjana teologi. Kampung ini, menurut Mertosono, berpenduduk 2.593 jiwa. Ini belum termasuk Tegalrejo, yang secara administratif masuk ke dalam Desa Tonsea Lama.
Kembuan mencatat, setelah Amal Modjo, cucu Kiai Mojo dari anaknya bernama Gazali, lulus Kweekschool (sekolah guru) di Tondano pada 1902 lalu menjadi guru di Gorontalo, sebagian penduduk Kampung Jawa Tondano pada 1904 berpindah ke Gorontalo, untuk bertani. Kembuan menulis: "Mereka membuka sebuah kampung yang baru, dinamakan Kampung Jawa Yosonegoro ... Gelombang berikutnya berpindah ke sebuah daerah di dekat Limboto dan membentuk Kampung Jawa Reksonegoro.”
Sama seperti orang Minahasa, orang-orang Jaton pergi merantau. Tak hanya ke Gorontalo, ada yang ke Jawa. Di antaranya ada yang sukses di pemerintahan seperti Kusno Dupoyono, yang pernah menjadi gubernur di Lampung—salah satu provinsi di Sumatera yang dipenuhi orang Jawa.
Seperti orang Minahasa lain juga, yang terpengaruh Belanda, orang-orang Jaton mencantumkan nama marga, dengan merujuk nama leluhur yang tiba kali pertama di Tondano.
Penerus keturunan Kyai Mojo biasa memakai nama Kiay Modjo. Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi: Julaiha Kiay Modjo. Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Hanya saja, ia bilang, banyak marga Kiay Modjo yang tinggal di Gorontalo.
=========
Editor: Fahri Salam