tirto.id - Tak jauh dari makam Kyai Mojo di Kampung Jawa Tondano, terdapat sebuah makam atas nama Rachmad Pulukadang. Di nisannya tercatat dia kelahiran 29 September 1917. Akar keluarga Pulukadang, menurut Roger Allan Christian Kembuan, adalah Tumenggung Reksonegoro (keponakan Kyai Mojo) dan Kyai Wiso alias Kyai Ngiso. Mereka berasal dari Desa Pulo Kadang di wilayah yang kini menjadi Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Sewaktu Perang Jawa (1825-1830), keluarga itu terlibat, dan bersama Kyai Mojo, mereka dibuang ke Tondano. Di pembuangan, Reksonegoro menikah dengan Wurenga Tumbelaka, sementara Kyai Ngiso dengan Linow Pakasi Lengkong. Keturunan kedua pengikut Kyai Mojo itu memakai nama Pulukadang di belakang nama berdasarkan garis ayah sebagai marga.
“Pulukadang terkenal sebagai keluarga guru,” ujar Ishak Pulukadang, salah seorang sepupu dari Rachmad Pulukadang.
Ishak adalah pensiunan dosen di Universitas Sam Ratulangi, Manado, dan pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Sulawesi Utara. Ia termasuk golongan Angkatan 1966. Ishak kerap bolak-balik Manado-Tondano, berjarak sekitar 1 jam perjalanan dengan mobil. Di masa tuanya, ia memimpin sebuah sekolah Islam Yayasan Tarbiyah di Kampung Jawa Tondano.
Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi ini menulis buku soal Pancasila dan sejarah Kyai Mojo. Ia berkata sedari zaman kolonial, anggota keluarga Pulukadang sudah ada yang bersekolah guru. Ibunya, Fatima Kangiden, pernah belajar di Hofdenschool. Ada juga familinya, Ismail Pulukadang, yang dulu jadi guru gambar di SMA Tomohon.
Ketika Indonesia merdeka, Rachmad Pulukadang, yang saat itu menginjak usia 28 tahun, terlibat revolusi bersama para pemuda Minahasa, dari pelbagai subetnis dan agama. Nama Rachmad Pulukadang (kerap ditulis Rachmat Pulukadang) setidaknya tercatat dalam buku sejarah perjuangan daerah Sulawesi Utara.
Buku Minahasa di awal perang kemerdekaan Indonesia: peristiwa Merah-Putih dan sebab-musababnya (1997: 125), yang disusun Richard Zakarias Leiriza, menyebut Rachmat adalah guru yang hendak mengajar di sekolah menengah pertama di Tondano, Sekolah Menengah Rendah Kebangsaan. Rapat pendirian sekolah itu terjadi pada 5 Oktober 1945 di kediaman dr. Senduk di Tondano.
Rachmad terlibat dalam Peristiwa Merah-Putih, yakni perebutan kekuasaan di Manado, yang melibatkan serdadu KNIL Minahasa pada 14 Februari 1946. Setelah suksesi itu gagal, Rachmad ditahan.
"Di Tomohon terdapat pula tempat tahanan khusus pada Markas Komando Setempat untuk para pengajar (pendidik) dari Sekolah Menengah Kebangsaan, seperti Engel Parengkuan, Jo Kumauang, Andi Masengi, Ben Matulandi, John Walalangi, Rachmad Pulukadang, Bus Tombeng, dan lain-lain,” tulis Ben Wowor dalam Peristiwa Patriotik (Merah-Putih): 14 Pebruari 1946 di Manado, Dalam Rangka Revolusi Kemerdekaan Bangsa Indonesia (1972: 29).
Belakangan, Rachmad Pulukadang pernah jadi Kepala Sekolah SMP di Tondano, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Minahasa, dan pernah menjadi Ketua Legiun Veteran.
Peristiwa Merah Putih
Tak hanya Rachmad Pulukadang. Ada Kusno Danupojo, keturunan Jawa Tondano lain, yang terlibat pergerakan nasional. Kusno menjadi pemimpin dalam Peristiwa Merah Putih di Gorontalo, bersama Nani Wartabone. Menurut Laurens Manus dkk dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sulawesi Utara (1992: 14), rumah Kusno menjadi tempat rapat rahasia untuk peristiwa tersebut.
Mereka membentuk Komite Dua Belas, yang menunjuk Wartabone sebagai ketua dan Kusno sebagai wakil ketua. Mereka tak menyukai aksi pembumihangusan oleh pasukan sabotase Belanda, Algemen Vernielings Corps. Perusakan bangunan vital oleh Belanda yang mendekati kalah melawan Jepang itu merugikan penduduk sipil.
Tak hanya itu, Komite Dua Belas juga melakukan penahanan terhadap pejabat-pejabat Belanda seperti controleur (pengawas) Dancoma, Asisten Residen J. Korn, dan Hoofdagent Staatsdpolitie (Kepala Agen Polisi Kota) R. Couper.
“Mulai hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita sudah bebas dari penjajahan Belanda. Bendera kita Merah-Putih, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya,” ujar Nani Wartabone. Peristiwa di Gorontalo itu dikenal sebagai Peristiwa Merah Putih.
Setelah Indonesia merdeka, peran Kusno Danupojo menjadi pembantu setia Gubernur Republik Gerungan, Saul Samuel Ratulangi, yang belakangan tertawan pihak militer Belanda.
Dalam Dr. Gerungan Saul Samuael Jacob Ratulangi: Pahlawan Nasional (1975: 89), yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyebut: “Gubernur (Ratulangi) yang ingin mengadakan kontak dengan pejuang-pejuang di Sulawesi Utara itu telah mengirimkan Kusno Danupojo untuk menghubungi mereka. Akan tetapi, usaha ini gagal karena Kusno telah disergap oleh tentara Belanda, dan ditahan di rumah penjara Ujung Pandang.”
Danupojo, menurut MP Sugiono dalam Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1988), sebagai salah satu tokoh Indonesia Timur—bersama BW Lapian dan John Rahasia, untuk bertemu Presiden Sukarno pada 22 Desember 1949.
Kusno adalah keturunan Pangeran Ronggo Danupoyo, cucu dari Sunan Pakubuwono IV. Menurut catatan Roger Kembuan, sang pangeran dibuang ke Tondano oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1848, atas kemauan Pakubuwono VII. Di Jawa Tondano, ia menikah dengan putri dari Suratinoyo—bernama Saniah Suratinoyo. Mereka punya sebelas anak, yang salah satunya kembali ke Jawa.
Menurut Ishak Pulukadang, leluhur Kusno ikut pindah ke Gorontalo pada awal abad 20. Keterlibatannya dalam Peristiwa Merah Putih 1942 itu membuatnya terkenal. "Ada Jalan Kusno Danupoyo,” kata Ishak.
Belakangan Kusno menjabat Gubernur Lampung pertama. Buletin Djembatan Kawanua, Masalah 16-27 (1967: 439) memberitakan: “Hari Sabtu, tanggal 6 Mei l967 jam 10.00, Gubernur Kusno Danupojo telah meninggal dunia dalam usia 52 tahun, setelah menderita sakit jang agak lama.” Ia dikuburkan pada 7 Mei jam 10.00 di pemakaman Karet, Jakarta.
Terlibat Permesta
Tak hanya pergerakan kemerdekaan melawan Belanda. Dalam pemberontakan Permesta, ada juga orang-orang dari Kampung Jawa Tondano yang terlibat. Menurut Rachmad Pulukadang, ada juga yang menjadi letnan dalam pasukan militer Permesta. Meski begitu, menurut Wahid Koesasie, ada saja faksi pasukan Permesta yang anti-Jawa yang menaruh curiga pada orang-orang Jawa Tondano.
“Mereka selalu menjadi kambing hitam dan dapat diserang oleh orang-orang Minahasa lain selama masa kerusuhan,” tulis Tim Babcock dalam Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity (1989: 50).
Wahid Koesasie menyebut orang-orang dari Kampung Jawa Tondano itu dicurigai oleh faksi Permesta sebagai orang-orang yang pro pada tentara pemerintah. Suatu kali pernah ada usaha pembakaran kampung tersebut oleh faksi Permesta. Namun, mereka justru membakar kampung di luar Jawa Tondano karena tak tahu persis posisi kampung Jawa.
Ishak Pulukadang ingat beberapa kejadian pada masa Permesta. Saat anggota Permesta dari orang-orang Ambon kehilangan senjata, seorang pemuda bernama Salman, yang masih kelas 3 SMA, kena tuduh. Ia ditahan dan beberapa bulan kemudian beredar kabar bahwa Salman ditembak pasukan Permesta.
“Tidak tahu, karena ingin lari atau disuruh lari lalu ditembak,” ujar Ishak Pulukadang kepada saya di rumahnya, April lalu.
Pernah satu kejadian semua lelaki di Kampung Jawa Tondano dikumpulkan di depan kantor lurah dan masjid. Pasukan Permesta lantas memaksa warga menyerahkan pelaku yang bertanggungjawab atas hilangnya senjata itu. Bahkan Lurah Kampung Jawa periode 1950-1958, Kamdani Zees, hilang dan tak jelas rimbanya setelah dibawa Permesta.
Barbara Sillars Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984: 175) menulis bahwa di antara pasukan Permesta, ada yang terdiri bekas gerombolan Pasukan Pembela Keadilan yang dipimpin Jan Timbuleng dan para pelajar sekolah yang masih belia. Disiplin dan didikan militer dari pasukan ini tergolong paling payah di antara semua pengikut Permesta.
Pasukan Permesta macam inilah yang beraksi di Kampung Jawa Tondano.
Editor: Fahri Salam