tirto.id - Hingga saat ini, kuda untuk dokar, serta kerbau untuk membajak sawah di Tondano, hanya tahu satu kosakata Jawa. Untuk menghentikan dua hewan itu, kusir bendi dan pembajak sawah cukup bilang: Wes. Dan dua hewan itu pun menurut. Kata wes tak berasal dari bahasa Tondano. Bendi masih menjadi alat angkut dari Kampung Jawa ke pusat kota Kabupaten Tondano saat ini.
“Penggunaan istilah ini telah membudaya pada masyarakat Minahasa sampai sekarang,” tulis Ishak Pulukadang dalam Fakta Sejarah Kepahlawanan Kyai Modjo (2017).
Begitulah pengaruh orang-orang Jawa di Tondano pada masa silam kepada orang-orang setempat. Kedatangan Kyai Mojo beserta pengikutnya, menurut Ishak, mengajarkan teknik bercocok-tanam. Salah satunya terkait dengan membajak.
Dalam menyebut bajak di Tondano, seperti dicatat Roger Allan Christian Kembuan, dikenal istilah luku—berasal dari bahasa Jawa. Ada pula istilah kalen—meluruskan jalan sapi atau kerbau saat membajak sawah. Dari penelusuran Kembuan, bajak adalah hal baru di Minahasa pada 1846.
“Di Kampung Jawa Tondano saat itu terdapat 13 buah bajak, dibandingkan hanya 7 bajak yang dimiliki oleh penduduk asli di seluruh Minahasa … Kiai Modjo dan pengikutnya menjadi guru mengenai hal pembuatan sawah modern,” tulis Kembuan dalam Bahagia di Pengasingan (2016).
Pengikut Kyai Mojo, menurut Ishak, “sudah berpengalaman dalam menggarap sawah, dari antara lain daerah Yogyakarta, Klaten, Delanggu, Boyolali sampai ke Pajang dan Surakarta. Maka, mereka dengan mudah menggarapnya walaupun baru bisa menggunakan alat-alat sederhana dari sekop kayu.”
Masalah alat bajak itu kemudian membuat pemerintah kolonial, melalui Gubernur Maluku, mengajukan biaya sebesar 500 gulden (mata uang Belanda) untuk pembelian sapi dan bajak.
Orang Jawa terbiasa menggunakan kerbau. Menurut inspektur pertanian A.F. Spreewenberg, yang pernah ditempatkan di Minahasa, orang-orang Jawa dengan mudah mengendalikan kerbau. Tapi tidak bagi orang-orang di Tondano, “[yang] takut kepada kerbau, dan tidak tahu bagaimana mengendalikannya.”
Sebelumnya, kerbau tidak ada di Tondano, dan pernah gagal dikembangbiakkan dari Gorontalo. Begitu juga kuda. Dari Gorontalo, harga seekor kuda antara 35-50 gulden, tetapi saat sampai dataran tinggi di Minahasa, harganya bisa mencapai 200 gulden.
Gerard Juliaan Vink dalam Dasar-Dasar Usaha Tani di Indonesia (1984: 198) menyebut, “Di dataran sekitar Danau Tondano, saya melihat orang membajak dengan kuda, menurut contoh yang diberikan oleh sekolah pertanian yang dahulu ada di daerah itu.”
Tondano sebenarnya termasuk kota pendidikan di Minahasa. Kuda dianggap lebih cepat dalam bekerja dibandingkan kerbau. Namun, mereka menyadari bahwa kuda bukan hewan pembajak yang tepat. Kuda lebih perasa dan butuh perawatan lebih ketimbang kerbau. Soal pemakaian kerbau itu, orang-orang Jawa Tondano punya andil besar di daerah-daerah tepi Danau Tondano.
Ishak Pulukadang menulis, tanah yang diberikan kepada pengikut Kyai Mojo itu dijadikan “percontohan kepada penduduk setempat“ dalam hal pertanian. Meski orang-orang buangan hanya melakukannya di Tondano, menurut Kembuan, “tapi contoh penanaman padi ... [dengan] mengajarkan cara membajak, setidaknya memberikan stimulus bagi perkembangan pertanian di Minahasa."
Menyebarkan Islam di Minahasa
Selain urusan sawah, orang-orang Jawa Tondano, yang 100 persen muslim di masa pembuangan, dianggap pembawa ajaran Islam di daerah Kabupaten Minahasa, meski Islam telah berkembang di jazirah Sulawesi pada abad ke-16, menurut Monografi DaerahSulawesi Utara (1978: 45). Pada abad itu Islam lebih berkembang di pesisir, dan kurang menjangkau ke pedalaman yang masih kuat kepercayaan aslinya.
Ketika Kyai Mojo dan pengikutnya dibuang pada 1930-an sesudah Perang Jawa, banyak orang di Minahasa belum se-Kristen sekarang. Mereka menganut kepercayaan lokal: Alifuru atau Alfur, yang kerap dikonotasikan negatif oleh pemerintah kolonial dengan sebutan "bebas tak terkendali, liar, atau buas".
Kyai Mojo dan pengikutnya lebih dulu datang ketimbang Pendeta Johann Friedrich Riedel, yang membawa misi zending Belanda, Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), penyebar agama Kristen di Minahasa. Meski berbeda, dua agamawan itu berkawan. Menurut Pendeta Nicolaas Graafland dalam Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya (1991), “Kiai Mojo sering berkunjung kepada Pendeta zendeling Riedel dan berbicara banyak dengannya. Ia menerima sebuah Injil".
Meski Islam belakangan bukan agama utama di daerah Tondano, setidaknya Kyai Mojo dan pengikutnya telah memperkenalkan agama Nabi Muhammad tersebut. “Penduduk setempat yang masih Alifuru melihatnya dengan sikap heran karena belum pernah melihatnya,” tulis Ishak Pulukadang.
Suara azan, kentongan, dan beduk bergema di sekitar Kampung Jawa. Sudah tentu mereka membangun masjid, bernama Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo. Menurut Monografi, "Kyai Mojo adalah pemimpin Islam yang pertama-tama di daerah Minahasa. Beliau oleh masyarakat Kampung Jawa Tondano biasa disebut Mbah Guru atau Kyai Sepuh atau Kyai Muslim Mojo Kawetan.”
Sewaktu dibuang, Kyai Mojo juga membawa kesenian Jawa yang bernafas Islam. Salim Thayeb, seorang warga Kampung Jawa Tondano, menyebut di kampungnya itu ada "Salawat Jawa," yakni membacakan salawat dengan langgam Jawa. Kesenian lain adalah Rodet (Hadrah), Dana-dana (tarian Arab), dan Dames.
Saat Ramadan, menurut Lurah Surianto Mertosono, jalan raya yang melewati masjid sangat ramai. Tetangga dan saudara mereka dari agama Kristen berkunjung dan turut memeriahkan bulan suci umat Islam tersebut. Hingga kini orang-orang Jawa Tondano masih mengenal dan merayakan Lebaran Ketupat, sekitar seminggu setelah Idulfitri.
Di kampung Jawa saat ini, banyak perempuan memakai jilbab. Ada juga kebiasaan orang-orang Kristen berusaha menghindarkan orang-orang Islam Tondano dari makanan yang dalam Islam digolongkan haram. Ketika ada orang asing seperti saya yang datang ke sana pada April lalu, dan berkunjung ke sebuah pasar, para pedagang bertanya mengenai agama saya. Tujuannya agar saya tidak salah beli daging, dan menjaga saya dari makanan "haram".
Soal preferensi politik, partai seperti Partai Bulan Bintang cukup populer saat ini. Sewaktu Pemilu 1955, menurut budayawan setempat Wahid Koesasie, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang punya kaitan dengan Bulan Bintang, cukup jaya di Kampung Jawa Tondano.
Roger Kembuan menulis bahwa Kampung Jawa Tondano termasuk daerah yang menentukan dalam pemilihan kepala daerah. Kampung ini juga jadi medan pemilih bagi partai seperti Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada awal Orde Baru, menurut catatan Tim Babcock dalam Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity (1989: 174), Golkar berjaya di sana, sebagaimana seluruh daerah lain di Indonesia.
Namun, apa pun pilihan politiknya, orang-orang Jaton—akronim Jawa Tondano—tidaklah bisa lepas dari akar Islam, yang dibawa oleh leluhur mereka, orang-orang buangan Kyai Mojo dalam Perang Jawa. Banyak warga Jaton bahakn memakai nama Kiay (dari kata kyai) sejak lahir.
Editor: Fahri Salam