tirto.id - Setelah sekian lama diperjuangkan bersama-sama, oleh orang-orang berbagai latar-belakang etnis dan agama, Indonesia nyaris pecah bahkan sebelum diikrarkan. Sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta, yang ditandatangani 22 Juni 1945 itu, menyebutkan: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Bunyi sila ini memancing reaksi yang cukup tajam dari berbagai kalangan yang punya latar belakang non-muslim.
“Orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis, secara serius menolak satu ungkapan dalam piagam tersebut,” tulis Nurcholish Majid dalam Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995). Belakangan redaksional sila pertama pun dipangkas setelah kaum minoritas Indonesia Timur keberatan. Sila itu berubah menjadi: “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Di masa Sukarno menjadi presiden, juga Soeharto, sila pertama ini tidak berubah. Setelah Soeharto lengser pada 1998, isu merealisasikan Piagam Jakarta sempat menguat lagi. Kembali orang-orang di Minahasa, Sulawesi Utara, yang mayoritas Kristen, bereaksi lagi. Orang-orang Minahasa, termasuk tokoh masyarakat dan pejabat lokal setempat, seperti Wakil Gubernur F.H. Sualang dan Bupati Minahasa Drs. Dolvie Tanor hadir dalam Forum Kongres Minahasa Raya pada sabtu, 5 Agustus 2000 di Tomohon, Sulawesi Utara.
“Forum Kongres Minahasa Raya yang berlangsung Sabtu lalu itu sepakat mengultimatum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahwa jika Sidang Tahunan itu mengamandemen UUD '45 dengan memasukkan Piagam Jakarta ke dalamnya, tanah Toar Lumimuut akan merdeka,” tulis Manado Post (07/08/2000).
Poin ketiga yang dihasilkan kongres tersebut menyebut, “Menolak segala kecenderungan dan usaha yang hendak memecah-belah keutuhan dan kebersamaan bangsa Indonesia di dalam NRI dengan cara memasukan gagasan Piagam Jakarta dan bentuk-bentuk sejenisnya dalam bentuk apa pun ke dalam UUD 1945 - Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Keinginan politik sektarian berbasis agama seperti ini hanya akan membatalkan seluruh komitmen kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan NKRI bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.”
Jika Piagam Jakarta itu dipaksakan, demikian bunyi kongres tersebut, “maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depan". Meski mengancam berpisah dari NKRI, “Kita berdiri negara sendiri dengan tetap berasaskan Pancasila,” ujar Dolfie Maringka.
Enam tahun kemudian, setelah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu—kebetulan beragama Kristen—dieksekusi terkait kerusuhan di Poso, Dolfie Maringka lagi-lagi menjadi berita. Bersama Revly O.A. Pesak, pada 25 September 2006, dia mendeklarasikan Gerakan Kemerdekaan Minahasa. Nama gerakan yang diinisiasi Dolfie tentu mudah dianggap separatis. Namun, seperti dalam Kongres Minahasa Raya di tahun 2000, Gerakan Kemerdekaan Minahasa lagi-lagi tak bisa lepas dari Pancasila.
“Merdeka dari ketidakbebasan menjalankan ibadah, termasuk penistaan terhadap berbagai simbol ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan pemaksaan penerapan tatakrama menurut ajaran agama tertentu bagi semua masyarakat di berbagai daerah yang bertentangan dengan Pancasila dan prinsip-prinsip Ke-Bhineka Tunggal Ika-an,” demikian bunyi salah satu paragraf deklarasinya.
Beberapa hari terakhir, setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dibui karena pasal karet penodaan agama, muncul isu “Minahasa Merdeka” di Sulawesi Utara. Terkait atau tidak, pada 13 Mei 2017 lalu, barisan massa bergerak di bandara Sam Ratulangie untuk menolak kedatangan politikus dan wakil ketua DPR Fahri Hamzah yang dianggap oleh peserta aksi sebagai pemecah-belah.
Pada 15 Mei pun muncul gerakan Referendum Minahasa. Benderanya mirip bendera pasukan konfederasi Amerika dalam Perang Saudara Amerika (1861-1865). Bedanya jika Konfederasi bentuk barisan bintangnya diagonal, sementara itu Minahasa Merdeka silang barisan bintangnya berbentuk salib. Keduanya berwarna dasar merah.
Menurut Sejarawan Sulawesi Utara Bode Talumewo, momen ini muncul di awal Desember 2016 dan Mei 2017 dengan koordinator Rocky Oroh.
Terkait dengan Minahasa Merdeka yang dikait-kaitkan dengan Ahok, pengajar sejarah Universitas Sam Ratulangie, Roger Allan Kambuan, angkat bicara. Katanya: “Bagi orang Minahasa bukan soal Ahok. Tapi (masalahnya) lebih kompleks.”
Setidaknya, Roger Allan Kambuan melihat: “Di sini juga, kan, ada Kristen fundamental. Dan (ada) yang ingin membangkitkan adat.” Bagi Allan, “Merdeka itu pembebasan.” Baginya, isu Minahasa Merdeka yang muncul sekarang bukan berarti makar. “Cuma ekspresi budaya dan (pe)rasa(an) terpinggirkan,” ujar Allan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS