tirto.id - Aroma anyir menyeruak dari balik terpal mobil bak terbuka di sudut Jalan Trans Sulawesi, Bolaang Mongondow pada Selasa (19/12/2023). Aparat gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara menemukan puluhan kilogram daging kelelawar, babi hutan, ular piton, hingga seekor anjing yang masih hidup yang dikurung secara terpisah. Daging-daging ekstrem tersebut hendak diperjualbelikan ke Kota Manado.
Mobil itu diperiksa secara teliti oleh seorang petugas BKSDA menggunakan alat pelindung diri. Meski bak mobil telah dilapisi es balok, namun bau busuk tak bisa tertutupi. Menjadi indikasi bahwa daging-daging yang seharusnya tak dikonsumsi ini sudah berada di jalanan dalam waktu lama.
Sang empunya, Agustina Dwi, hanya bisa tertunduk lesu saat dia dimintai keterangan terkait muatannya. Dia bercerita sudah 10 tahun lamanya menjalani bisnis ini sebagai pengepul, menerima aneka hewan dari pemburu dan menghantarkannya ke pedagang di Manado dan sekitarnya. Para penikmat aneka daging ekstrem.
Meski sudah sering melakukan aksi jual beli, Agustina tidak dikenai proses hukum. Dia hanya dimintai keterangan dan diperingatkan agar tidak mengulangi perbuatannya, mengingat aksinya membahayakan ekosistem dan kelestarian alam.
Pihak BKSDA juga tidak menyita maupun menahan daging-daging ekstrem hasil buruan. Agustina beserta dua anak buahnya hanya diminta untuk pulang kembali dengan membawa muatan mereka. Para petugas meyakini Agustina tidak akan kembali ataupun mencari jalan lain ke arah Manado. Mengingat tidak ada jalan lain, selain Trans Sulawesi. Ataupun, apabila harus memutar dengan jarak tempuh lebih jauh ongkos BBM yang dikeluarkan akan melonjak dan tak sebanding dengan omset yang dihasilkan.
Kami mewawancarai Kepala BKSDA Sulawesi Utara, Askhari Dg Masikki, mengenai fenomena peredaran daging ekstrem di Sulawesi Utara, terutama yang mengarah ke Manado. Kami pun menanyakan mengenai ketiadaan tindaklanjut pasca temuan hewan ekstrem yang tidak ditahan namun hanya diimbau untuk kembali.
Askhari mengungkapkan pihaknya enggan menahan hewan-hewan tersebut karena ketiadaan lemari pendingin untuk menampungnya. Selain penahanan, keterbatasan tenaga juga menjadi kendala. Askhari kekurangan orang untuk memverifikasi daging sitaan apakah berasal dari hewan dilindungi atau bukan. Sehingga menjadi landasan hukum berikutnya.
"Ini kami lakukan pendataan terutama terhadap satwa-satwa liar yang dilindungi. Itu yang kami fokuskan ke sana," kata Askhari saat ditemui di kantornya.
Upaya razia bukan satu-satunya cara untuk mencegah hewan-hewan yang dilindungi menjadi hidangan meja makan. Askhari memprioritaskan pada tindakan preventif, sosialisasi, dan edukasi. Sembari berharap agar adanya perubahan gaya hidup dan tidak lagi menjadikan konsumsi daging ekstrem sebagai tradisi.
"Kami (BKSDA) tidak sendiri, kami punya mitra yang cukup banyak dan membantu kami untuk bagaimana kita edukasi masyarakat secara bertahap. Agar ayo kita berhenti makan satwa liar," kata Askhari.
Selain itu, dia berharap adanya penguatan kerja sama lintas sektor dalam pengawasan hukum[FA1] satwa liar baik peredaran dagingnya maupun pelestariannya di alam bebas. Askhari berargumen bahwa satwa-satwa yang masuk ke Manado maupun kota dan kabupaten lain di Sulawesi Utara disuplai dari provinsi lain di Sulawesi. Bahkan hewan seperti babi hutan kerap didatangkan dari Pulau Kalimantan ataupun kelelawar dari Nusa Tenggara Timur.
“Kalau kita terus makan daging satwa liar, khawatirnya kita di alam ini, barang ini akan habis. Kalau satwa liar habis di alam berarti keseimbangan alam akan terganggu nantinya," kata dia.
Tindakan serupa juga telah dilakukan Pemda Sulawesi Utara. Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, mengklaim telah melaksanakan upaya hukum dan penjagaan maksimal di perbatasan wilayahnya dari masuknya daging satwa liar ilegal.
"Di perbatasan kita juga menjaga pintu masuk [FA2] virus babi yang dibawa dari luar termasuk babi hutan. Penjualan hewan yang dilindungi kita juga melarang," kata Olly saat dihubungi Tirto, Selasa (19/12/2023).
Esok harinya reporter Tirto melakukan penelusuran di Pasar Tomohon dan Pasar Bersehati Hebat di Kota Manado, masih ditemukan satwa liar seperti babi hutan, ular hingga anjing diperjualbelikan dengan bebas.
Pasar Ekstrem yang Kian Ramai Jelang Natal dan Tahun Baru
Tak semua daging esktrem berakhir gagal seperti yang dialami Agustina Dwi. Di antara pengepul ada yang berhasil sukses menembus barikade petugas pengawas di kala mereka lengah atau saat mereka tak berjaga[FA3] . Terlebih yang pasokannya berasal dari pengepul lokal di kawasan Sulawesi Utara.
Akhirnya daging dari satwa liar maupun daging ekstrem seperti anjing dan kucing berhasil masuk di area pasar. Sebagian besar hewan-hewan tersebut disajikan dalam keadaan dibakar karena memiliki bulu.
Tirto berkesempatan mengunjungi Pasar Tomohon, di Kota Tomohon pada Rabu (20/12/2023). Pasar ini telah ramai sedari pagi, namun sayangnya saat itu bukan hari paling ramai untuk bertransaksi. Sejumlah lapak masih kosong dari pedagang.
Tak semua pedagang mau diajak bicara mengenai daging ekstrem yang mereka tawarkan. Mereka khawatir kembali viral dan dipersepsikan sebagai sosok yang bengis karena menjual hingga memakan binatang yang memiliki komunitas dan segmentasi penggemar yang tinggi, seperti anjing hingga kucing.
Salah seorang pedagang bernama Atox mengenalkan kepada kami suasana pasar. Menurut dia, jual beli daging anjing menjadi kian hati-hati setelah Pemkot Tomohon melarang peredaran dan konsumsinya. Meski demikian, masih ada orang yang mau menjual bila ada konsumen yang memesan.
Dia menerangkan bahwa konsumsi daging anjing diyakini menjadi obat bagi penyakit tertentu seperti saat terjangkit demam hingga malaria. Namun, saat ini penjualan daging anjing sedang menurun, bukan karena kesadaran masyarakat, akan tetapi dikarenakan harga cabai yang melonjak tajam.
"Masak daging anjing harus dengan cabai karena daging itu memiliki karakter yang panas sehingga harus dimasak pedas," kata Atox.
Pasar Tomohon akan ramai pada Sabtu. Menurut dia, di hari sebelumnya para pengepul masih mengumpulkan satwa-satwa buruan dari berbagai pemburu sebelum menjualnya dalam satu waktu.
“Kami di sini ramainya hari Sabtu. Nanti kalian bisa lihat ada banyak tikus dari hutan yang berjajar di sini," kata dia.
Menurut dia, konsumsi daging anjing, kucing, dan daging lain yang dianggap tak lazim sudah menjadi tradisi di Tomohon dan wilayah Sulawesi Utara lainnya. Dia menganggap hal itu sebagai bagian dari budaya, dan mengonsumsinya adalah upaya melestarikan budaya Minahasa.
"Konsumsi anjing, tikus ataupun kucing tidak setiap hari. Hanya di hari tertentu, seperti thanksgiving yang biasa dilakukan setelah panen kebun. Ataupun di hari natal dan tahun baru saat semua orang sedang berkumpul,” kata dia.
Benarkah Konsumsi Daging Ekstrem Kebiasaan Warga Minahasa?
Baju adat khas Minahasa, Kabasaran memiliki corak tengkorak di bagian depan. Tengkorak yang berukuran kecil tersebut diyakini sebagai wujud dari Yaki atau monyet hitam satwa endemik Sulawesi. Budayawan sekaligus Dosen Universitas Sam Ratulangi, Fredy Sreudeman Wowor, mengenalkan baju itu sebagai salah satu pertanda atas pola konsumsi warga Minahasa yang mayoritas bermukim Sulawesi Utara.
Dahulu, tengkorak itu asli berasal dari Yaki. Namun, seiring punahnya populasi Yaki, penggunaannya juga kian dikurangi dan diganti bahan imitasi. Berikut juga kebiasaan konsumsinya.
Dia juga mengisahkan bahwa kebiasaan masyarakat Minahasa mengonsumsi banyak satwa liar bukan dimulai dari kebiasaan berburu. Namun, kebiasaan saat membuka kebun dari hutan. Masyarakat Minahasa meyakini bahwa setiap satwa yang masuk ke dalam kebun yang mereka buka, merupakan rezeki dari Yang Maha Kuasa.
"Sehingga tidak mungkin orang berburu ular, karena itu sulit. Tetapi kalau ada ular masuk itu sudah menjadi pertanda bahwa itu rezeki," kata Fredy.
Seiring perkembangan waktu, masyarakat yang aktif berkebun mulai mengenal perniagaan. Saat itu pula komoditas kebun mulai ditukar dengan ikan milik masyarakat tepi laut. Tidak hanya sayuran saja yang dibawa, namun juga hewan lain yang masuk ke dalam kebun mereka. Sehingga mulailah satwa liar menjadi komoditas dagang di Minahasa.
Akibatnya, seiring waktu konsumsi satwa liar tidak hanya menunggu pada hewan yang masuk ke kebun. Bahkan sudah diburu ke dalam penjuru hutan. Bahkan saat ini, daging-daging satwa liar bukan lagi didatangkan dari Bumi Minahasa namun dari wilayah Sulawesi lainnya bahkan sampai luar pulau.
"Ini bahkan sudah dipasok dari luar. Bukan dari Minahasa lagi," kata dia.
Hal serupa juga disampaikan oleh Tokoh Agama Katolik, Paul Richard Renwarin. Dia mengklaim bahwa kebiasaan konsumsi daging ekstrem di Minahasa bukanlah kegiatan rutin seperti halnya memakan daging ikan ataupun makanan pokok.
Menurut dia, perspektif publik mengenai konsumsi satwa liar di Tomohon terlalu berlebihan. Karena, baginya, masyarakat Minahasa hanya memakan daging anjing, kucing, tikus hutan ataupun ular hanya di saat tertentu dan tidak disajikan kepada khalayak banyak.
"Coba kalian ke pesta-pesta tidak akan kalian menemukan daging anjing ataupun kucing. Kalian akan menemukan itu kalau dipesan secara khusus dan biasanya menjadi cemilan saat meminum minuman keras. Itu hanya rekreatif," kata Renwarin.
Di balik atas nama budaya, kebiasaan mengonsumsi daging ekstrem terutama dari satwa liar memiliki implikasi bahaya bagi kesehatan. Konsumsi daging dari alam liar berpotensi membawa mikroorganisme yang dapat menjadi zoonosis, penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
Dosen Biodiversitas Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, John Tasirin, menemukan konsumsi satwa liar yang selama ini diyakini menjadi obat alternatif malah memberi efek sebaliknya. Seperti konsumsi kelelawar dalam temuan, John Tasirin dapat merusak fungsi otak bila dilakukan dalam jangka waktu lama.
"Suku-suku di Hawai itu memiliki insiden penyakit-penyakit degradasi fungsi otak. Mereka berasal dari suku-suku yang mengonsumsi kelelawar," kata John.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz