tirto.id - Prabowo Subianto ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Sejarah mencatat, Soeharto yang tidak lain adalah mantan mertua Prabowo, pernah menjabat Menhan sebelum resmi menjadi Presiden RI ke-2.
Di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/10/2019) pagi, nama-nama menteri Kabinet Indonesia Maju di bawah rezim Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin diumumkan. Nama benar-benar Prabowo Subianto ada di kabinet. Presiden Jokowi menunjuknya sebagai Menteri Pertahanan.
Sebelumnya pada Senin (21/10/2019), Prabowo menjadi salah satu tokoh yang dipanggil Presiden Jokowi menghadap. Kepada media, Ketua Umum Partai Gerindra ini mengakui bahwa dirinya diminta Jokowi untuk membantu di kabinet periode 2019-2024. Prabowo pun menyatakan siap.
“Hari ini resmi diminta dan kami sudah sanggupi membantu. Saya akan bekerja mungkin mencapai sasaran yang ditentukan," ungkap mantan Danjen Kopassus ini usai bertemu dengan Presiden Jokowi.
Bersama Prabowo Subianto, hadir pula Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi. Edhy Prabowo ternyata juga memperoleh satu tempat di Kabinet Indonesia Maju, yakni sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan Susi Pudjiastuti yang kali ini harus tersingkir.
Dengan masuk kabinet, asa politik Prabowo Subianto yang sebelumnya diramalkan redup setelah kalah di Pilpres 2019 pastinya belum akan usai. Bisa saja ia kembali maju ke Pilpres 2024 mendatang dan berharap mampu mengulang sejarah gemilang mantan mertuanya, Soeharto.
Soeharto: Menhan Jadi Presiden
Soeharto menjabat sebagai Menteri Pertahanan setelah terjadi guncangan politik akibat Gerakan 30 September (G30S). Sebelumnya, jabatan ini diemban oleh Jenderal A.H. Nasution yang berhasil lolos dari peristiwa berdarah itu, kemudian sempat dilanjutkan oleh Jenderal M. Sarbini.
M. Sarbini menjabat Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan di Kabinet Dwikora II yang berlangsung amat singkat, dari 24 Februari-28 Maret 1966. Saat itu, dikutip dari Membongkar Supersemar (2009) karya F.X. Baskara Tulus Wardaya, Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat dan Kepala Staf Komando Tertinggi.
Di Kabinet Dwikora III yang diresmikan pada 28 Maret 1966 tidak ada posisi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan seperti sebelumnya. Jabatan ini diganti menjadi Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan yang dipegang oleh Soeharto.
Tanggal 25 Juli 1966, tulis Sulastomo lewat buku Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru (2008), susunan Kabinet Ampera I diumumkan. Selain selaku ketua presidium, Soeharto juga merangkap dua jabatan lain, yakni Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan serta Menteri/Panglima AD.
Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada Maret 1967 menjadi momen bersejarah bagi Soeharto. Setelah menerima kenaikan pangkat jenderal bintang empat, ia ditetapkan sebagai pejabat presiden menggantikan Sukarno yang dicabut mandatnya oleh MPRS.
Di Kabinet Ampera II sejak 17 Oktober 1967, catat Harsya W. Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia (1988), Soeharto masih menjadi pejabat presiden serta Menteri Pertahanan dan Keamanan, plus satu jabatan lagi yakni Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Posisi Soeharto semakin kuat setelah ia ditetapkan sebagai Presiden RI sejak 26 Maret 1968 selain tetap menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima ABRI. Tiga jabatan utama ini diembannya hingga akhir Kabinet Pembangunan I pada 28 Maret 1973.
Selanjutnya, Soeharto tetap berkuasa sebagai Presiden RI dalam waktu yang sangat lama, hingga akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998 akibat terjangan gelombang reformasi.
Asa Prabowo Belum Usai
Prabowo, yang pernah menjadi menantu Soeharto setelah menikahi Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto kendati kemudian bercerai, berkali-kali mencoba peruntungan meraih kursi presiden meskipun belum tercapai sejauh ini.
Dimulai dari 2003 ketika ia mengikuti konvensi capres Partai Golkar jelang Pemilu 2004. Kala itu, Prabowo harus bersaing dengan tokoh-tokoh sentral penghuni beringin lainnya macam Akbar Tandjung, Wiranto, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, hingga Sultan Hamengkubuwana X.
Akbar Faisal dalam The Golkar Way (2007) mengungkapkan, Prabowo Subianto lolos hingga babak akhir bersama 6 kandidat lainnya setelah menyingkirkan puluhan peserta. Prabowo saat itu mendapatkan dukungan dari 14 provinsi, terendah kedua setelah Sultan HB X yang disokong 7 provinsi
Di putaran berikutnya, Prabowo terdepak. Pemenangnya adalah Wiranto dan berhak mewakili Partai Golkar sebagai capres di Pilpres 2004 berpasangan dengan Solahuddin Wahid (Gus Solah), adik Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Lima tahun kemudian, Prabowo yang sudah hengkang dari partai beringin dan mendirikan Partai Gerindra kembali tampil. Kali ini ia menjadi cawapres mendampingi capres Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Pilpres 2009. Duet ini terkenal dengan sebutan MegaPro.
Hasilnya? Kandas lagi. Pasangan MegaPro, dikutip dari Rapor Capres (2014) yang ditulis Guruh Dwi Riyanto dan Pebriansyah Ariefana, menempati urutan kedua di Pilpres 2009, kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono yang tampil sebagai pemenang.
Berlanjut ke Pilpres 2014. Prabowo bersama Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN) menantang pasangan Jokowi-JK, dan kembali kalah. Cita-cita menjadi presiden belum tercapai.
Prabowo tak menyerah. Menggandeng Sandiaga Uno di Pilpres 2019, ia bertarung lagi melawan Jokowi yang kali ini berpasangan dengan K.H. Ma’ruf Amin. Untuk kesekian kalinya, Prabowo tersungkur.
Sempat kecewa dengan hasil Pilpres 2019, Prabowo kemudian justru semakin intim dengan Jokowi yang berbuah penunjukannya sebagai Menteri Pertahanan. Dengan demikian, karier politik Prabowo bakal terus berlanjut.
Lantas, mau dan mampukah Prabowo selaku Menteri Pertahanan terbaru mengikuti jejak gemilang sang mantan mertua, Soeharto, jika memutuskan kembali maju ke Pilpres 2024 mendatang?
Editor: Agung DH