tirto.id - Langit biru menjadi pemandangan yang dirindukan di Riau. Sudah sejak Agustus langit di provinsi bersemboyan “Bumi Bertuah Negeri Beradat” itu, menjadi kelabu bercampur kuning. Sebabnya dicemari rutinitas tahunan: kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Bagaimana imbasnya terhadap warga? Made Ali menganalogikan, seperti dikurung dalam sebuah ruangan tertutup bersama tungku kayu bakar yang menyala.
"Bagaimana rasanya? Hidung tersumbat, pusing, mata perih, kan? Nah itu lah yang kami alami setiap hari," kata koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) itu saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (15/9/2019).
Polusi udara itu berdampak lebih buruk terhadap bayi. Akibatnya, anak Made Ali yang berusia delapan bulan, menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Made Ali mengungkapkan, dinas kesehatan setempat baru sudah membuka posko kesehatan sejak Agustus, tetapi baru membagi-bagikan masker sejak, Jumat (13/9/2019). Masker yang dibagikan pun hanya masker biasa, bukan masker N95 yang lebih manjur menangkal polutan.
Kini, dia berharap pemerintah pusat segera menetapkan Riau sebagai daerah darurat bencana. Sehingga layanan pemenuhan kebutuhan warga bisa lebih cepat dan masif. Dia pun ingin Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkantor di Riau, setidaknya selama 1 bulan. Sebab ada fenomena menarik di Riau: hujan selalu turun menjelang kedatangan pejabat.
"Kemarin kan turun hujan tuh, ternyata menteri mau datang. Menteri LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan], panglima TNI dan kepala Polri mau datang," sindir Made.
Aktivitas Warga Lumpuh
Keadaan serupa juga dialami Fitri Yannedi. Lelaki berusia 40 tahun itu, sudah dua minggu "tersandera" di rumahnya, daerah Pekanbaru. Makanan sehari-harinya tak jauh-jauh dari mie instan. Yannedi pun tak bisa beli lauk matang karena sebagian besar rumah makan tutup. Pemiliknya mengungsi.
Biasanya rutin seminggu sekali, Yannedi dan istrinya ke pasar untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Namun akibat kabut asap pasar tutup. Anak dan istrinya pun terpaksa mengungsi ke Sorkam, Sumatera Utara.
"Selesai pengumuman pemenang Pilpres 2019 [Selasa, 21 Mei], tak lama setelah itu mulai berasap," kata Yannedi.
Kabut asap sudah tak asing lagi bagi pria kelahiran Dumai itu. Setiap tahun, kabut asap selalu datang. Ini tentu membuat Nedi geram. Dia menganggap tak pernah ada tindakan konkret dari pemerintah.
Omongan itu bukan tanpa dasar, saat debat Pilpres 2019 putaran kedua pada Februari 2019 lalu, Presiden Jokowi pernah sesumbar: Berhasil menyeret 11 perusahaan ke meja hijau lantaran membakar hutan. Pengadilan kemudian memvonis 11 korporasi itu bersalah terkait kebakaran hutan antara 2012-2015. Mereka dihukum denda mencapai Rp18,3 triliun. Organisasi nirlaba Greenpeace mengungkap, denda itu belum sepenuhnya dibayarkan.
Warga Siapkan Gugatan ke Pemerintah
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati pun menilai, pemerintah masih setengah-setengah menegakkan hukum. Perempuan yang akrab disapa Yaya itu menyebut, ada tiga upaya hukum yang bisa ditempuh negara terhadap perusahaan pembakar hutan. Pertama, gugatan perdata yang berujung pada denda; kedua, gugatan pidana terhadap elite perusahaan; dan ketiga, pemberian sanksi administratif berupa pencabutan izin konsesi.
Namun, pemerintah cenderung memilih salah satu jenis penindakan dan meninggalkan dua cara menegakkan hukum lainnya. Mestinya, kata Yaya, pemerintah berani melakukan penegakan hukum berlapis. Mulai dari individu penanggung jawab perusahaan sampai ke perusahaan induk.
Kini asap di Riau semakin pekat. Yannedi dan warga Riau sudah tak kuat berlama-lama di luar ruangan. Meski sudah bertahan di rumah bukan berarti dia bebas dari ancaman asap. Belakangan kondisi kesehatan Yannedi memburuk. Ia pusing, batuk-batuk, dan badan kian lemas.
Tak tahan dengan keadaan, Yannedi bersolidaritas dengan sesama alumni almamaternya, Universitas Riau. Mereka menyiapkan gugatan warga negara (class action) melawan wali kota, gubernur, sampai ke presiden. Sebabnya karhutla terus berulang tanpa ada solusi yang menyentuh akar masalah. Terlebih karhutla terjadi karena ada unsur kesengajaan.
"Riau ini bukan terbakar tapi dibakar. Sudah jadi rahasia umum, perusahaan-perusahaan biadab itu kerjanya bakar hutan," kata Yannedi.
Kini sudah ada 40 pengacara yang bergabung dalam koalisi itu. Mereka membuka posko pengaduan untuk menampung keluhan warga yang dirugikan akibat kabut asap.
Ia mafhum, kalaupun menang di pengadilan, pemerintah belum tentu akan menebus hukuman yang dijatuhkan. Ia berkaca pada gugatan serupa atas kebakaran hutan di Kalimantan tahun 2015. Saat itu pemerintah sudah dinyatakan kalah oleh Pengadilan Negeri Palangkaraya hingga ke Mahkamah Agung. Tetapi pemerintah ogah disalahkan dan malah ajukan upaya hukum peninjauan kembali.
"Yang jelas kami akan berusaha yang terbaik, Mas. Keyakinan itu harus ada walau sekecil apapun. Kami harus berbuat sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat dan lingkungan," pungkasnya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Widia Primastika