Menuju konten utama

Cinta dan Benci di Pasar Tanah Abang

Murah dan banyak pilihan jadi alasan utama para pembeli mendatangi kawasan Pasar Tanah Abang meski semrawut.

Cinta dan Benci di Pasar Tanah Abang
Pedagang kaki lima di Jalan Jatibaru Raya, kawasan Tanah Abang, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Satu siang Mei 2018, pedagang kaki lima menjajakan barang dagangan di trotoar Jalan Jatibaru Raya, tepatnya di pertigaan Gang Jatibaru II yang berseberangan dengan pintu keluar Stasiun Tanah Abang. Semrawut, tumpah ruah di trotoar agaknya selalu jadi kesan umum terhadap sentra grosir terbesar se-Asia Tenggara ini.

Suara teriakan para pedagang, bunyi klakson mobil dan motor saling bersahutan. Para pengendara saling berebut jalan dengan sopir angkutan umum di salah satu lingkar jalan, titik macet di kawasan ini.

Meski begitu, tak peduli macet maupun semrawut, pasar tekstil terbesar di Indonesia ini tetap menjadi daya tarik besar bagi warga Jakarta dan kota-kota terdekatnya menjelang Ramadan.

Kurniasari, seorang pembeli dari Ciputat, Tangerang, berkata kepada saya bahwa alasannya tetap membeli pakaian ke Pasar Tanah Abang karena murah ketimbang pasar lain. Ia membeli 6 setel pakaian untuk menyambut Lebaran, pernikahan, dan wisuda karena di pasar ini bisa mendapatkan harga grosir.

Dengan Rp150 ribu, misalnya, ia bisa mendapatkan dua potong baju di Tanah Abang ketimbang membeli di Pasar Ciputat, yang mendapatkan sepotong baju dengan kualitas yang sama, meski jaraknya tentu lebih dekat dari rumahnya.

Alasan lain, katanya sembari tertawa, "Kalau pedagang Tanah Abang dibeli syukur, enggak beli ya sudah. Beda sama Pasar Ciputat dan Kebayoran Lama. Kalau enggak jadi beli, abang-abang pedagang suka ngejar-ngejar minta ditawar ulang."

Hal serupa diungkapkan Fitria, yang datang dari Depok. "Apakah ada tempat lain yang lebih murah dan banyak pilihan selain Pasar Tanah Abang?" katanya, lalu dijawab sendiri, "Enggak ada!"

Sebagaimana juga dikeluhkan Kurniasari, Fitria mengatakan ruang untuk pejalan kaki semakin sempit. Sejak kebijakan Gubernur Anies Bawesdan pada akhir tahun lalu, trotoar di Jalan Jatibaru Raya yang sebenarnya jadi jalur pejalan kaki ke Blok A-G hampir seluruhnya diduduki pedagang kaki lima.

"Lebih padat dan sempit, hampir tidak ada ruang buat orang jalan. Jadi enggak beraturan gitu," ujar Fitria.

Pengawasan di Jalan Jatibaru ala Satpol PP

Satu hari sekitar jam 3 sore enam personel satuan polisi pamong praja berjalan di trotoar Jalan Jatibaru Raya. Seorang di antara mereka, yang memakai kacamata hitam dengan alat komunikasi genggam di pundak kanan, mengatur bagaimana trotoar di depan mereka terlihat bersih. Kedatangan Satpol PP itu agaknya dipahami oleh para pedagang, yang segera menggeser lapak mereka ke pinggir toko, sehingga trotoar tampak lengang.

Seorang Satpol PP lantas memotret rekannya yang berjalan di atas trotoar tersebut. Sesudah mereka berlalu, dua sampai tiga menit kemudian lapak-lapak para PKL kembali memenuhi badan trotoar. Panjang trotoar ini, dari Jalan Jatibaru sampai Blok B di Jalan Kebon Jati, sekitar 900 meter. Dan semuanya diisi oleh PKL. "Pengawasan" oleh Satpol PP hanya sebatas 90 meter.

Seorang PKL yang mengenalkan nama "Bob" kepada saya berkata bahwa tingkah Satpol PP itu sudah lazim diketahui rekan pedagang lain setiap hari. Para pedagang tidak menampakkan raut cemas karena umumnya sudah tahu maksud tindakan Satpol PP tersebut.

"Laporannya dengan foto tiga kali sehari, jam 8.30, setelah salat Zuhur, dan menjelang Asar. Mereka lapor kepada komandan bahwa wilayah sudah bersih," kata Bob, yang terlihat kembali memindahkan lapak ke badan trotoar.

Apa yang disebut "pengawasan" dari Satpol PP itu berbeda dari masa "dulu", ujar Bob, yang "main sikat barang dagangan para PKL yang ketahuan berjualan di trotoar."

Seorang PKL bernama Soni, satu dari 400 PKL di badan Jalan Jatibaru Raya, mengatakan bahwa PKL sebenarnya dilarang menggelar lapak di trotoar setiap Sabtu dan Minggu. Ia mengaku baru melihat PKL-PKL yang berjualan di trotoar sejak empat bulan terakhir ia berdagang di lokasi tersebut.

Toh, ucapan Soni tak terbukti ketika saya datang pada hari Sabtu dan Senin ke kawasan Pasar Tanah Abang. Trotoar diduduki oleh PKL. Ironisnya lagi, trotoar di depan pos pemadam kebakaran Tanah Abang juga dipadati para PKL, yang bisa menghambat kerja petugas damkar bila terjadi kebakaran.

Yani Wahyu, Kepala Satpol PP DKI Jakarta, segera membantah saat dikonfirmasi mengenai langkah pengawasan anak buahnya. Ia mengklaim bahwa anggotanya sudah beberapa bulan bertugas menjaga kawasan Tanah Abang agar bisa "tertib, nyaman, dan dimanfaatkan semua orang."

"Enggak ada namanya pencitraan. Pokoknya kami kendalikan agar trotoar bersih. Pedagang diedukasi terus. Nanti, kalau sudah kami edukasi tapi tetap enggak dengar, kami angkat, tertibkan. Yang main kucing-kucingan, kami tertibkan juga," ujar Wahyu, 8 Mei lalu.

Wahyu berkata pada awal pemberian izin PKL di badan jalan, anak buahnya yang diterjunkan di kawasan Tanah Abang mencapai 350 orang. Tapi, karena kondisinya relatif kondusif, anggotanya dikurangi menjadi 200-225 orang. Wahyu tak menjelaskan maksud dari kata "kondusif" saat saya bertanya balik.

Toh, dari apa yang saya lihat selama dua hari mendatangi Pasar Tanah Abang pada awal Mei lalu, rekan-rekan Wahyu lebih banyak mengobrol dan memainkan ponsel.

"Satpol PP itu kerjanya apa? Cuma ngobrol, plonga-plongo, doang. Geregetan sendiri lihatnya. Kecewa lihat Tanah Abang sekarang," kata Kurnisari saat saya meminta kesannya terhadap situasi jalan di Pasar Tanah Abang.

Infografik HL Indepth Tanah Abang Ramadan

Perkara PKL Tak Pernah Usai

Sejak era Sutiyoso pada akhir 1990-an hingga Anies Bawesdan, tak ada satu pun gubernur Jakarta yang benar-benar menyelesaikan masalah pedagang kaki lima di kawasan Pasar Tanah Abang. Mengapa sulit menertibkan PKL?

Yayat Supriatna, pengamat perkotaan dan dosen planologi dari Universitas Trisakti, mengatakan persoalan Tanah Abang tak cuma persoalan pasar, bukan hanya perkara parkir, tapi ia menyebutnya juga "ada kelembagaan lain, ada struktur organisasi yang memiliki kuasa."

"Jadi ibaratnya ada negara dalam negara, ada pasar di dalam warung," kata Supriatna dalam satu tayangan Najwa Shihab bertajuk "Uang Haram Trotoar Tanah Abang".

Yayat menilai tidak becusnya masalah PKL di kawasan itu karena ada kekuatan besar yang mengaturnya, bahkan telah terjadi kolaborasi dan sudah saling mengerti. Mengutip laporan tim Najwa, bisnis lapak di sana menggiurkan: ada 950 lapak PKL di Jalan Jatibaru Raya-Kebon Jati; Ada 475 lapak di trotoar bagian dalam seharga Rp2 juta per bulan; dan 475 lapak bagian samping jalan seharga Rp 1 juta per bulan. Total, menurut perhitungan itu, bisnis jual-beli trotoar di Tanah Abang mencapai Rp1,42 miliar per bulan. Ini belum termasuk pungutan harian sebesar Rp20 ribu per lapak.

Seorang pedagang di Blok C yang bernama Amek mengatakan ada jual-beli lapak di trotoar Tanah Abang. Malahan, katanya, ada orang yang berkeliling ke setiap blok untuk menawarkan lapak baru di Pasar Parmin, tempat relokasi PKL selanjutnya, dengan harga Rp300 ribu per meter.

Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Abdullah Mansuri tak menampik ada transaksi gelap macam itu di Pasar Tanah Abang. Menurutnya, tak beresnya masalah PKL Tanah Abang bukan karena pedagang, tetapi "oknum yang bisa menangguk keuntungan besar dari proses kebijakan pemerintah daerah." Sayangnya, Mansuri tak menerangkan secara detail siapa pihak peraup keuntungan tersebut.

Kembali marak PKL di trotoar maupun badan jalan menyulut perpecahan kelompok pedagang. Mereka, kata Mansuri, sama-sama keras; satu kelompok menyatakan banyak orang baru di dalam blok sehingga PKL tak diterima. Artinya, ada isu yang dipelihara agar ada alasan pedagang berjualan di pinggir jalan.

"Kalau di luar PKL berkeliaran, di dalam pasti akan berkurang karena pembeli secara psikologis lebih baik (membeli) paling dekat dibandingkan masuk di dalam pasar (Blok A-G)," kata Mansuri.

Bukan tak mungkin para pedagang di dalam blok kembali berdagang di pinggir jalan, seperti Bob, pedagang celana yang semula berjualan di Blok F. Malahan ada PKL seperti Soni yang memiliki toko di Blok F dan Abdul Khomar yang memiliki toko di Blok A tapi berjualan baju koko di badan jalan.

Pendapatan yang besar di pinggir jalan menjadi faktor utama. Rerata para pedagang bisa mendapat omzet Rp4 juta per hari kerja dan Rp5-10 juta per hari libur. Jika ada relokasi ke Pasar Parmin, ujar Khomar, ia mengurungkan pindah karena kurang strategis. Ia lebih memilih pindah lagi ke trotoar dan main kucing-kucingan dengan Satpol PP.

Abdullah Mansuri menyatakan membereskan perkara lawas di Pasar Tanah Abang memang "harus ada sentuhan tersendiri." Salah satunya dibuat pasar tematik untuk PKL tapi rentang jaraknya berdekatan dari tempat dagangan sekarang. Karena Ramadan, musim paling ramai di Pasar Tanah Abang, masalah penertiban PKL ditunda dulu, ujar Mansuri. "Nanti setelah Lebaran, baru diselesaikan secara bersama-sama," tambahnya.

"Saya akui enggak mudah menyelesaikan ini, bukan satu-dua kali pertemuan. Mungkin bisa puluhan. Dari dulu sampai sekarang masalah PKL enggak bisa diselesaikan karena pendekatannya fisik," katanya.

Baca juga artikel terkait PASAR TANAH ABANG atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam